ACT ditemukan kerja sama dengan pihak terorisme. ACT pernah bertransaksi dengan pihak-pihak yang terlibat terorisme. Dananya mengalir ke pemerintah Turki yang berafiliasi jaringan terorisme Al-Qaedah.
Mengenai kasus ini, HTI terlihat campur tangan untuk masuk pada gelenggang yang terjadi hari ini. HTI mengomentari yang sebenarnya sangat mendukung apa yang dilakukan ACT mengenai kerja sama dengan pihak terlarang. Mengapa HTI mendukung, karena ia sama-sama mempunyai kepentingan yang sama, yakni menegakkan khilafah.
Jadi, ACT dan HTI sebenarnya mempunyai misi yang sama, dan berjalan di dalam lintasan yang sama: politik Islam atau islamisme. Itu dilakukan karena poros gerakannya untuk kalangan urban. Di mana orang-orang ini mudah dipengaruhi dengan memakai pendekatan agama.
Mereka sama-sama ingin membawa Islam pada pentas politik dan gerakan transnasional. Maka tidak terlalu heran, bilamana ACT terjerumus pada pendanaan terorisme. Produksi paham radikalisme direkayasan untuk bersahutan dengan subyek-subyek kehidupan modern. Dengan itu, sangat mudah untuk mereka lakukan, apalagi di zaman digital.
Fenomena Transaksi Ideologi
Apa yang menarik dalam fenomena ini? mereka mempropagandakan ajarannya dari media sosial. Menurut penilitian, bahkan mereka menguasai media sosial. Ketimbang gerakan komunitas yang moderat.
Dari sini jelas bahwa media digital dapat memberikan keuntungan bagi kelompok teroris dan radikal. Ada tiga keuntungan, di antaranya. Pertama, media daring dapat dijadikan sebagai sarana untuk menunjukkan eksistensi. Semua informasi, terkait program kerja, ide dan aktivitas mereka dapat ditampilkan sehingga dapat menggalang dukungan masif dari luar.
Kedua, sebagai alat propaganda dan perekrutan. Media digital dapat memicu munculnya self-radicalization, tempat orang-orang baru belajar agama mencari informasi tentang agama dilaman daring dan tertarik pada materi-materi radikal. Ketiga, media daring sebagai rantai komando, kontrol, sekaligus distribusi informasi secara internal untuk anggota dan pendukungnya atau mencari sasaran pada yang baru dan awam (Angel Damayanti, Kompas, 27/5/2019).
Fakta yang menarik sekaligus memiriskan adalah bahwa kelompok radikal yang pertama kali berhasil memanfaatkan media daring secara luas untuk kepentingan mereka adalah Zapatistas National Liberation Army (EZLN) dari Chiapas. Organisasi ini dianggap pemberontak oleh Preside Meksiko, Ernasto Zedillo.
Kemudian, organisasi teroris dan radikal seperti Hezbollah, Lashkar-e-Taiba, Al-Qaeda, dan Islamic State (IS), memiliki situs dalam berbagai macam bahasa: Inggris, Prancis, Arab, dan Indonesia. Situs-situs inilah yang menjadi rujukan bagi para teroris dalam mempelajari agama dan pencarian jati diri (Noor Huda Ismail, Kompas, 16/5/2019).
Jadi, ketika dunia digital dijadikan pencarian jati diri dan ajaran agama, maka saat itulah kelompok radikal memanfaatkan peluang untuk memamaparkan ideologi atau pemahamannya. Sesuai contoh diatas ini sangat efektif hasilnya.
Keperluan Mendesak
Fenomena itu membuktikan bahwa generasi milenial yang mencari jati diri dan agama tersebut telah dimanfaatkan sebagai aset berharga. Dijadikan senjata pembunuh paling efektif, kreatif tapi berharga murah oleh kelompok radikal.
Dengan bukti-bukti di atas, sudilah kita hari ini dan seterusnya berkomitmen memberikan counter narasi dan pengajaran atau pencerahan pada seluruh komponen umat di media sosial. Serta, agar, perselingkuhan antara pendanaan teroris yang (seperti kasus ACT) dan donor ideologi seperti HTI dan ISIS, dapat terhindarkan dari Indonesia.
Saya rasa dibutuhkan pada masa kini adalah memperkuat teknologi siber yang kuat, bermuatan situs-situs pencerah dan mengembangkan sebuah program yang mengarah pada penyadaran filosofi bangsa dan agama, meningkatkan rasa kebangsaan-keberagaman dan terhadap perbedaan. Termasuk pula bimbingan kepada berbasis literasi digital dan filantropis sosial.
Agus Wedi, Peminat Kajian Sosial dan Keislaman