Telaah

Akar dan Ruang Penyelesaian Konflik Israel-Palestina

10 Mins read

Entah kapan, cinta dan perdamaian menyentuh seisi dunia, dibalik kelembutan kemerdekaan yang sebagian dari kita rasakan hari ini, ternyata masih ada saudara kita yang dihadapkan dengan perang yang tak berkeseduhan. Air mata duka diiringi harapan yang tak pernah putus, menanti keadilan dan kedamaian untuk Palestina. Kuharap tertoreh luka disetiap hatimu, agar teruntai doamu menghapus penderitaan saudara-saudara kita di tanah Palestina yang ambang kematian adalah realitanya.

Sejak 1915-1917, Palestina dibawah kekuasaan Turki Usmani yang menempatkan Wilayah Palestina yang Mencakup Muttasharifate Jerusalem (Kudüs-i Şerif Mutasarrıflığı) dan Kota Kota di Sekitarnya seperti Jaffa, Hebron & Betlehem ke dalam Wilayah Provinsi Syria. Pecahnya Perang Dunia 1 (1914-1918) yang melibatkan Blok Sekutu (Inggris Raya, Perancis, Rusia, Jepang, Italia, dan Amerika Serikat) melawan Blok Sentral (Jerman, Austria-Hungaria, Turki Utsmani, dan Bulgaria). Pada tahun 1918 perang berakhir dengan kemenangan sekutu yang menjadi penyebab kehancuran kekaisaran Turki Usmani melalui Perjanjian Sevres.

Liga Bangsa-Bangsa juga didirikan, yang salah satu fungsinya adalah untuk memecah Provinsi-Provinsi Utsmani yang ditaklukan. LBB juga menyusun mandat untuk dunia Arab, dimana setiap mandat dikuasai oleh Inggris atau Perancis. Seperti  yang telah disepakati  dalam Perjanjian Sykes-Pycot (1916) bahwa Inggris mendapat mandat atas wilayah Palestina dan Transjordania (Encyclopedia Judaica, Vol. 11, hlm. 862, 1972).

Selama berabad-abad, wilayah Palestina dihuni oleh mayoritas penduduk Arab, termasuk Arab Palestina, masyarakat Yahudi dan Kristen. Ketegangan mulai meningkat di wilayah ini seiring dengan meningkatnya imigrasi Yahudi ke Palestina. Deklarasi Balfour pada tahun 1917, yang dikeluarkan oleh pemerintah Inggris pada Perang Dunia I, menyatakan dukungan untuk pembentukan “rumah nasional bagi orang Yahudi” (national home for the Jewish people) di Palestina.

Deklarasi tersebut dicetuskan oleh Arthur Balfour, Menteri Luar Negeri Inggris. Deklarasi ini merupakan hasil intervensi dari kelompok-kelompok Zionis di Inggris dan Amerika Serikat. Deklarasi  Balfour mulai diberlakukan pada 1923 dan berlangsung hingga 1948. Selama periode itu, Inggris telah memfasilitasi imigrasi besar-besaran etnis Yahudi.

The Balfour Declaration

Pada tahun 1948, negara Israel secara resmi didirikan, berdampak pada pengusiran massal warga Arab Palestina dari tanah mereka dan penciptaan negara mayoritas Yahudi di tanah Palestina. Peristiwa ini, yang dikenal sebagai Nakba (catastrophe; malapetaka),  yang menjadi kenangan pahit bagi Palestina. Sederhananya, Konflik Israel dan Paletina memiliki akar yang bercabang-cabang yang mencakup sejarah, politik, budaya yang telah membentuk Timur Tengah modern dan intervensi Barat. Memahami sejarahnya menjadi krusial untuk menemukan jalan menuju perdamaian dan koeksistensi.

The international community says YES to the establishment of the State of Israel, 1947

Upaya Penyelesaian Konflik

Sejatinya, dunia tidak diam saja dengan konflik ini. Upaya penyelesaian konflik Palestina-Israel telah dilakukan selama beberapa dekade, termasuk Perjanjian Oslo  tahun 1993 antara Israel dan Organisasi Pembebasan Palestina (PLO).

Banyak negara dan organisasi internasional yang mencoba melakukan mediasi dalam konflik ini, termasuk negara-negara Arab, Amerika Serikat. Komunitas internasional telah melakukan banyak upaya untuk menyelesaikan konflik ini.

Inisiatif seperti Rencana Perdamaian Arab (2002) dan Rencana Perdamaian Quad (2003), dengan partisipasi Amerika Serikat, Uni Eropa, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), dan Rusia, mencoba meletakkan dasar solusi damai, namun tantangan dan ketegangan masih ada (Council on Foreign Relations, 2023): 29 November 1947, Palestina dibagi menjadi negara bangsa Yahudi dan bangsa Arab melalui resolusi PBB 181. Dalam resolusi ini, Yarusalem dibawah kendali internasional.

14 Mei 1948, Negara Israel mendeklarasikan kemerdekaannya. Kemerdekaan Israel menjadi pemicu pecahnya Perang antara Israel dengan negara Arab. Konflik terus berlanjut hingga 1949, ketika Mesir, Israel, Yordania, Lebanon dan Syria menandatangani perjanjian gencatan senjata.

11 Desember 1948. Selama perang Israel- Palestina (1948), sekitar 700 ribu warga Palestina meninggalkan tanah kelahiran mereka. Perang ini dimenangkan oleh Israel yang membuatnya mempertahankan teritorinya yang telah ditentukan oleh PBB dan merebut bebarapa wilayah yang diperuntukkan untuk Palestina dimasa depan. Israel menguasai Yerusalem Barat, Mesir menguasai Jalur Gaza, dan Yordania menguasai Tepi Barat dan Yerusalem Timur, termasuk Kota Tua dan kawasan Yahudi yang bersejarah.

1967- 1973: Pendudukan dan Perang Dalam perang 6 hari

Pada Juni 1967. Israel mengalahkan Mesir, Yordania dan Suriah. Israel juga menduduki Yerusalem timur, Tepi Barat, Jalur Gaza dan Dataran Tinggi Golan. Permukiman Yahudi diwilayah jajahan Israel dimulai tidak lama setelahnya dan terus berlanjut hingga sekarang.

1982: Israel invasi menginvansi Lebanon

Israel menginvasi Lebanon untuk menyerang militan Palestina. Milisi Kristen Lebanon yang didukung Israel membunuh ratusan orang Palestina di kamp pengungsi di Beirut ( VOA, 2023).

1987-1993: Intifada Pertama, Perjanjian Oslo

Pemberontakan Bangsa Palestina melawan pemerintahan Israel bergejolak  1987-1993. Pada 1993, Israel dan PLO menandatangani sebuah deklarasi prinsip-prinsip otonomi Palestina setelah melakukan negosiasi rahasia selama enam bulan di Oslo, memulai proses perdamaian yang hingga kini belum tercapai. Pemerintahan mandiri dibentuk untuk pertama kalinya di Jalur Gaza dan Kota Jericho di Tepi Barat.

2002-2005: Intifada Kedua

Menanggapi gelombang bom bunuh diri yang terjadi, Israel pada tahun 2002 menginvasi Tepi Barat. Mahmud Abbas, mengambil alih kepemimpinan Otoritas Palestina pada Januari 2005, setelah kematian Arafat. Pasukan Israel terakhir meninggalkan Gaza pada September 2005, setelah menduduki wilayah itu selama 38 tahun.2007: Peperangan GazaKelompok militan merebut kekuasaan di Gaza setelah bertempur sengit melawan rivalnya, faksi Fatah, yang dipimpin Abbas dan masih berkuasa di Tepi Barat.

Pada 2014, Israel melakukan serangan balik untuk melawan Gaza untuk menghentikan tembakan rudal diwilayah tersebut. 2017: Amerika Serikat Akui Yerusalem sebagai Ibu Kota Israel6 Desember 2017, Amerika Serikat dibawah kepemimpinan Trump mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel yang memicu kemarahan Palestina dan kritik internasional.2021: Gejolak Baru 10 Mei 2021, Hamas menembakkan rudal ke Israel disekitaran kawasan kompleks Masjid Al- Aqsa di Yerusalem Timur yang dibalas dengan serangan udara mematikan di Jalur Gaza.

Perang selama 11 hari kemudian terjadi antara Hamas dan Israel. Pada Agustus 2022, pertempuran selama tiga hari terjadi di antara Israel dan Jihad Islam, di mana para pemimpin militer kelompok itu tewas.

2023: Peningkatan Konflik yang Signifikan

Pemberontakan lain terjadi pada awal 2023, menyusul serangan Israel di kamp pengungsi Jenin, Tepi Barat. 8 November 2023, lebih dari 10.000 orang telah terbunuh di Palestina dan 1.400 orang terbunuh di Israel. 240 warga Israel tertahan di Gaza. Sekitar 1,4 juta warga Palestina mengungsi. 17 Oktober 2023, Amerika Serikat memveto pemungutan suara DK PBB untuk menghentikan konflik kemanusiaan, dengan alasan hak Israel untuk membela diri. Perang pada Oktober 2023 antara Israel dan Hamas menandai peningkatan paling signifikan dalam sejarah konflik Israel-Palestina yang sedang berlangsung dalam beberapa dekade.

2024: Sarangan di Rafah

Militer Israel melakukan serangan terhadap milisi Palestina Hamas di Rafah bagian timur. Perang dimulai ketika pejuang Hamas menyerbu Israel Selatan pada 7 Oktober 2024 yang menewaskan 1200 orang dan menyandera 252 dan lebih dari 34.700 orang terbunuh di Gaza. Operasi militer in terjadi setelah Hamas menerima perjanjian gencatan senjata yang kemudian ditolak oleh Israel karena dianggap masih sangat jauh dalam memenuhi target tuntutan Israel ( BBC Indonesia, 2024).

Status quo yang kita lihat, adalah realita bahwa hampir seluruh wilayah Palestina dikuasai oleh Israel. Bukan lagi upaya mendirikan dua negara berdaulat namun  telah berangsur-angsur membentuk one-state reality yakni kondisi perebutan wilayah yang didominasi oleh satu negara. Meskipun ada Hamas dan Fatah yang bersikukuh mempertahankan wilayah di tepi barat, namun yang memiliki power  atas wilayah daratan, udara dan perairan adalah Israel. Hal ini juga yang menghambat tercapainya pembagian wilayah yang adil dan memicu terjadinya settled colonization  atau penjajahan yang terus berlangsung hingga saat ini.

Tujuan dibentuknya PBB adalah untuk mewujudkan ketertiban dan perdamaian dunia. Mengambil tindakan kolektif untuk menciptakan perdamaian, menghilangkan ancaman dan penindasan, mencegah terjadinya perselisihan internasional yang memicu konflik atau perang dengan berdasar pada prinsip keadilan dan hukum internasional. Organisasi dunia ini, juga bertanggungjawab untuk memastikan negara yang belum menjadi anggota untuk bertindak berasaskan prinsip dan hukum internasional untuk menjaga keamanan internasional ( UN, 2024). PBB juga memiliki ICJ (International Court Justice) untuk menyelesaikan sengketa negara berkonflik ini.

PBB telah mengeluarkan sejumlah resolusi guna penyelesaian konflik diantaranya; Resolusi A/RES/ES-10/21, Resolusi A/RES/77/208, Resolusi A/RES/77/247,  Resolusi A/RES/ES-10/21, Resolusi A/RES/77/208, Resolusi A/RES/77/247, dan lain-lain. Sejumlah resolusi yang dikeluarkan oleh Dewan Keamanan &  Majelis Umum  PBB menjelaskan bahwa PBB juga berupaya menyelesaikan sengketa ini.

Namun perlu kita ketahui bahwa resolusi Majelis Umum PBB tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat (non-binding) ( Jamaludin Muhammad, 2023).  karena hanya akumulasi dari keinginan internasional yang hanya memiliki kekuatan moral dan politik saja.  Resolusi PBB yang mengutuk tindakan Israel juga selalu gagal dikeluarkan, karena adanya veto dari salah satu anggota tetap Dewan Keamanan PBB yaitu Amerika Serikat yang selalu membela Israel dengan menggunakan hak veto nya. Hal ini dikarenakan salah satu arah kebijakan luar negeri Amerika Serikat yakni memandang bahwa keamanan Israel sama dengan keamanan Amerika Serikat.

Sehingga, sumber daya dana, politik, persenjataan diberikan dengan sangat besar kepada Israel ( Gilpin, 2005, 16). Kelompok Neo- Konservatif yang memiliki andil dalam perumusan kebijakan Luar Negeri Amerika Serikat menginginkan restrukturisasi radikal hubungan geopolitik di kawasan Timur Tengah untuk mendorong keamanan jangka panjang Israel.

Keamanan Negara Israel, telah lama menjadi landasan kebijakan luar negeri Amerika Serikat. Dukungan ini didorong dengan adanya perjanjian kerjasama (MU) 10 tahun senilai US$ 38 miliar (Rp 543,8 triliun) yang ditandatangani oleh Amerika Serikat dan Israel pada tahun 2016. Dalam aspek keamanan, Amerika Serikat berpartisipasi dalam berbagai pertukaran dengan Israel, termasuk latihan militer gabungan, penelitian, dan pengembangan senjata.

Lebih lanjut, melalui Kelompok Kontraterorisme Gabungan tahunan dan dialog strategis rutin, Amerika Serikat dan Israel bekerja sama untuk melawan berbagai ancaman regional ( U.S. Department of State, 2021).Kolaborasi yang teroganisir antar negara diusung agar bisa bersama-sama memikul beban dari suatu permasalahan yang akan mengancam kesejahteraan bersama ( Claude, 1969. Hal. 3).

Kolaborasi dalam upaya bersama untuk mengcekal aksi agresi adalah tindakan nyata yang bisa membantu suatu bangsa untuk menjaga keamanan negara.  Dalam teori keamanan kolektif, mengisyaratkan aksi bersama dalam naungan organisasi perhimpunan ” PBB” yang menegakkan kepentingan bersama dalam stabilitas dan integritas persetujuan bersama  (Claude, 1969. Hal. 4).

Teori Instituonalize Collective Security, menjelaskan doktrinnya bahwa; “Aksi agresi adalah suatu perlawanan melawan international commnunity, dan perlawanan terhadap aksi agresi tersebut adalah tanggungjawab bersama seluruh bangsa”. Dalam teori collective security juga menjelaskan bahwa seluruh sistem internasional terancam dengan adanya tindakan dari negara anggotanya yang tidak sejalan dengan tujuan organisasi.

Kekerasan itu menular, keberhasilan agresi akan terus berulang, dalam kondisi ini perdamaian tidak bisa dibagi. Oleh karenananya, semua negara akan terpengaruh dengan adanya aksi agresi dimanapun itu. Dibutuhkan upaya bersama untuk mencegah terjadinya kerusakan sistem internasional untuk menjaga stabilitas sistem global. Dalam skema ini, isu permasalahan global harus menjadi bagian dari kepentingan nasional setiap negara, sehingga akan terwujud aksi kolektif  ( Claude, 1969. Hal. 7).

Palestina, pernah menyerukan agar semua negara melancarkan sanksi ekonomi dan politik untuk Israel. Seruan yang sama juga datang dari Menlu Iran, namun sejauh ini belum ada negara yang melancarkan sanksi ke Israel. Pengamat hubungan internasional, fokus pada  kajian Timur Tengah dari Universitas Indonesia Sya’roni Rofi’i, menilai (CNN, Indonesia, 2023) :” Israel bisa saja ketakutan jika ada tindakan terstruktur dan kolektif dari negara-negara arab, tindakan kolektif itu bisa berupa pemutusan hubungan diplomatik dengan Israel Sebagai negara, Israel mustahil sendiri tanpa berhubungan dengan tetangganya. Mengakhiri hubungan membuat Israel berpikir ulang (melanjutkan serangan)”.

Sya’roni sementara itu, memandang aksi boikot ini sebatas gerakan moral dari masyarakat. Sya’roni lantas mengkritik Organisasi Kerja Sama Islam (OKI), sebagai wadah negara-negara Arab. Kelompok ini, tak segarang Barat dan tak ada final komunikasu yang mengucilkan Israel.

Negara anggota OKI mayoritas menolak melakukan embargo terhadap Israel. Mesir berdalih perihal alasan geografi dan politik sehingga menolak embargo minyakt terhadap Israel. Qatar merupakan sekutu AS yang menjadi tuan rumah pangkalan militer besar AS, juga menjadi tuan rumah biro politik Hamas. Karena hubungan dekat mereka, monarki Teluk yang kaya ini telah bertindak sebagai saluran komunikasi dengan Hamas dan memainkan peran penting dalam negosiasi.

Bahrain menjadi negara Arab ketiga yang setuju untuk menormalisasi hubungan dengan Israel, menyusul perjanjian damai Israel dengan Mesir tahun 1979 dan perjanjian tahun 1994 dengan Yordania. Itu menjadikan Bahrain menolak embargo minyak terhadap Israel. Uni Emirat Arab tetap mempertahankan hubungan diplomatik dengan Israel meskipun ada kecaman internasional atas meningkatnya jumlah korban perang di Gaza.

Abu Dhabi berharap untuk memiliki pengaruh yang moderat terhadap kampanye Israel sambil menjaga kepentingannya sendiri. Itulah menjadikan UEA menolak embargo minyak terhadap Israel. Konflik antara Israel dan Hamas menjadi ancaman untuk Yordania, dikarenakan hampir 40 % populasinya adalah keturunan Palestina. Kekhawatiran tentang dampak konflik terhadap hubungan negara tersebut dengan Kerajaan Hashemite, yang telah memiliki perjanjian damai selama hampir 30 tahun, menjadi alasan Yordania menolak embargo minyak terhadap Israel ( Mustaqim, 2023).

Sebagian suku cadang persenjataan Israel juga  dipasok perusahaan di Australia. HTA. Perusahaan ini disebut bagian dari pemasok suku cadang jet F-35.Produsen F-35, Lockhed Martin, menyebut ada 70 perusahaan Australia terlibat dalam produksi dan perawatan F-35. Pada 2016-2023, Australia menerbitkan 322 izin ekspor persenjataan dan peralatan pertahanan ke Israel (Muhammad, 2024).

Perlu dipahami bahwa, tindakan Israel ini, menghancurkan hukum humaniter internasional, tatanan sistem internasional dan menghilangkan nilai-nilai kemanusiaan dan moralitas. Eksistensi organisasi internasional yang memiliki haluan menjaga perdamaian dan mendukung HAM menjadi dipertanyakan. Jika tidak ada lagi sistem yang ” ajeg” yang menjaga perdamaian dunia, maka intervensi dan kesewenang-wenangan terhadap satu negara dengan negara lainnya, akan berpotensi terus terjadi, perang tidak terkendali dan perdamaian menjadi angan-angan yang utopis.

Mensabotase Israel  melalui aksi kolektif global dan tidak melibatkannya dalam interaksi internasional, menghentikan hubungan  kerjasama dan akses dengannya, penulis percaya akan menghilangkan power Israel dalam melakukan intervensi kepada Palestina. Semua negara dibawah naungan PBB juga harus berani memutuskan hubungan  dengan negara yang menopang Israel dalam melancarkan extraordinary crime-nya.

Karena tidak ada yang lebih vital dari keamanan manusia dan penjaminan haknya.Sebagai kesimpulan, konflik Israel dan Paletina, bukan konflik yang hanya sebatas konflik yang memiliki akar sejarah dan agama, namun lebih kompleks berkaitan dengan kepentingan politik, dan intervensi negara adidaya terhadap negara dunia ketiga yang melukai nilai-nilai HAM. Konflik antara Israel dan Palestina telah menciptakan kondisi one-state reality yang didominasi oleh Israel dibawah topangan negara adidaya yang memperkecil peluang kemerdekaan Palestina dari waktu kewaktu hingga saat ini.

Berbagai motif negara lain mendukung Israel mencakup adanya ikatan perjanjian damai, kepentingan nasional karena populasi negaranya, adalah keturunan Palestina, sehingga menjaga hubungan baik dengan Israel adalah cara menjaga keamanan warga negaranya, menjaga keamanan teritori dan kerjasama ekonomi.

Resolusi PBB  yang dikeluarkan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat (non-binding) dan adanya hak veto dari negara yang pro Isreal dari setiap resolusi yang dikeluarkan. Seolah menunjukkan penyelesaian konflik antara Israel dan Palestina hanya menemukan jalan buntu. Aksi kolektif global berupa “isolasi Israel” dari pergaulan internasional, menurut pandangan penulis perlu untuk dilancarkan guna menghidupkan nilai-nilai kemanusiaan dan hak asasi manusia yang seolah sengaja dienyahkan secara perlahan untuk menghidupkan otoritarianisme yang mati suri.

Aksi kolektif dibutuhkan untuk menyelamatkan Palestina yang tertindas, dan seluruh sistem internasional juga terancam dengan adanya tindakan dari negara anggotanya yang tidak sejalan dengan tujuan organisasi.  Jika hal ini terus menjadi pembiaran, maka demokrasi, HAM, keadilan, perdamaian dan nilai-nilai kemanusiaan semuanya berada diujung tanduk.

Referensi

BBC Indonesia, 2024. Israel serang Rafah usai Hamas sepakati proposal gencatan senjata – Apa yang kami ketahui sejauh ini. Tersedia di: <https://encr.pw/z5BCj> ( Diakses pada 8 Juni 2024).

Council on Foreign Relations, 2023. Timeline from Conflict & Warfare and Contemporary History: Israeli-Palestinian Conflict Timeline. Tersedia di: <https://l1nq.com/poHLU> (Diakses pada 5 Juni 2024).

CNN Indonesia, 2023. “Kenapa Tak Ada Sanksi dan Embargo untuk Israel?”.  Tersedia di: <https://rb.gy/2bqynb.> ( Diakses pada 20 Juni 2024).

VOA, 2023. Sejarah Konflik Israel-Palestina selama 100 Tahun Lebih. Tersedia di: <https://encr.pw/k11j5> ( Diakses pada 6 Juni 2024).

UN, 2024. United Nations Charter, Chapter I: Purposes and Principles ( Article 1-2). Tersedia di: <https://acesse.dev/QQ29X> ( Diakses pada 6 Juni 2024).

Mustaqim, Andika Hendra, 2023. 6 Negara yang Menolak Embargo Minyak ke Israel. Tersedia di: <https://rb.gy/7b7jm5> ( Diakses pada 20 Juni 2024).

Muhammad, Mahdi., 2024. Gelombang Desakan Embargo Senjata ke Israel Terus Menguat. Tersedia di:  < https://rb.gy/jvs3pn> ( Diakses pada 20 Juni 2024).

U.S. Department of state, 2021. U.S. Relations With Israel ” Bilateral Relations Fact Sheet”. Tersedia di: <https://www.state.gov/u-s-relations-with-israel/> ( Diakses pada 20 Juni 2024).

Jurnal: Inis L. Claude, Jr. Autumn 1969. The Collectivist Theme in International Relations. International Journal, Vol. 24, No. 4, pp 639-656. Published by: Sage Publications, Ltd. on behalf of the Canadian International Council. Tersedia di: http://www.jstor.org/stable/40200283 ( Diakses pada 29 Juni 2024)

Jamaluddin, Muhammad & Erik Ilham Habibillah, 2023.  Pengaruh Kebijakan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam Konflik Palestina-Israel. Jurnal Tapis: Teropong Aspirasi Politik Islam, Vol. 19, No. 1, hal. 42.

6 Article 22, The Covenant of the League of Nations and “Mandate for Palestine,” 1972. Encyclopedia Judaica, Vol. 11, hlm. 862, Keter Publishing House, Jerusalem.

Buku: Gilpin, Robert., 2005.  War is Too Important to Be Left to Ideological Amateurs. SAGE Publications, Vol 19 (1): 5–18, hal. 16.

1383 posts

About author
Pilarkebangsaan.com adalah media yang menfokuskan diri pada topik kebangsaan, keadilan, kesetaraan, kebebasan dan kemanusiaan.
Articles
Related posts
Telaah

Benarkah Media Sosial Membentuk Opini Kita?

3 Mins read
Dunia maya kini menjadi medan pertempuran narasi. Isu sosial, politik, bahkan kesehatan, kerap menjadi bahan perbincangan hangat di media sosial. Tak jarang,…
Telaah

Pemilu 1955 dan Asal Mula Demokrasi Liberal dengan Segala Dinamikanya

5 Mins read
Periode demokrasi liberal di Indonesia dimulai dengan Pemilihan Umum (Pemilu) 1955, lalu berakhir dengan diumumkannya Dekrit Presiden 1959 perihal kembali ke Undang-Undang…
Telaah

Sistem Asuransi Nasional: Asuransi Syariah dan Konvensional Sama Saja?

4 Mins read
Apakah asuransi syariah hanya sekadar varian dari asuransi konvensional? Pertanyaan ini sering muncul, terutama bagi masyarakat yang baru mengenal sistem ekonomi berbasis syariah. Untuk menjawabnya, kita…
Power your team with InHype
[mc4wp_form id="17"]

Add some text to explain benefits of subscripton on your services.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *