Pernah nggak kita menyisakan waktu kita untuk memikirkan status Islam yang kita sandang ? Apakah islam yang saya jalani ini adalah islam yang sudah benar atau perlu di perbaiki ? Jangan-jangan dari lahir anda sudah Islam, namun citra islam itu sendiri belum kita aktualisasikan atau mungkin secara tidak sadar anda merusak citra Islam yang sudah amatlah sempurna tersebut.
Baik, untuk memulai memikirkannya saya harap anda sebagai pembaca ataupun yang mendengar permasalahan ini, mohon disikapi dengan santai, rilex dan tetap dalam pikiran yang terbuka dan fokus menikmati sajian tulisan ini. Bisa juga tuh kalau mau membaca tulisan ini sambil menyeruput secangkir kopi, es teh manis, es doger, es teler, atau apalah yang bikin mood kamu feeling good gitu. Tapi kalau lagi puasa, sabar yah nanti kalau berbuka baru bisa tuh hajar semuanya, he he he.
Oke kembali dalam pokok pembahasan, bicara tentang Islam yang bagaimana dengan penambahan tanda tanya di akhir judul di atas. Sebab tidak sedikit dari kita yang umat Islam belum mampu atau enggan menunjukkan islam yang kita pegang ini bagaimana sih? Mungkin disebabkan karena faktor ketidaktahuan atau bisa saja karena kita enggan menunjukkannya dengan sikap kita yang penuh abai, cuek atau bersikap bodo amat. Padahal, penting bagi kita sebagai seorang muslim untuk menunjukkan islam yang kita peluk ini bagaimana? Jangan sampai karena kesalahan seorang manusia yang mengatasnamakan dirinya itu Islam, malah Islam yang sudah paripurna itu rusak citranya di mata orang lain bahkan dunia.
Malangnya itulah yang terjadi sekarang, hmm… kok bisa? Yah itu tadi sebabnya, umat Islam itu sendiri yang belum mengenal baik Islam yang dia peluk. Kita mungkin lebih tertarik atau excited membahas ta’aruf dengan pujaan hati dibanding membahas ta’aruf kita dengan agama kita. Ta’aruf (perkenalan) dengan agama Islam ini, ini bisa kita lakukan dengan pertama-tama mengetahui esensi atau pengertian Islam itu sendiri.
Islam berasal dari bahasa arab, “assalmu, aslama, saliim dan salaam” yang mempunyai arti “damai, ta’at, bersih, dan selamat.” Pertanyaannya, apakah Islam kita sudah sesuai dengan islam secara artian bahasanya tadi?
Damai adalah keadaan dimana diri kita dan orang lain merasa aman, tenteram dan nyaman. Jadi apakah kita sudah menunjukkan bahwa Islam kita adalah Islam yang menghadirkan rasa aman, tenteram dan nyaman selama ini? Jangan-jangan kita meneriakkan kalimat tauhid, takbir atau jihad di atas penderitaan dan penindasan yang kita buat sendiri kepada saudara kita sesama manusia.
Ta’at adalah senantiasa tunduk dan patuh kepada aturan yang sudah digariskan Allah kepada kita, baik itu ibadah kepada-Nya dan menjalin hubungan sosial dengan sesama makhluk ciptaan-Nya. Jadi apakah kita sudah menjadikan Islam yang kita peluk ini sebagai Islam yang benar-benar kita peluk erat dengan mengaktualisasikannya lewat keta’atan kita berupa beribadah kepada-Nya? Jangan-jangan kita malah menimbulkan konflik dalam permasalahan ibadah sunnah sedangkan ibadah wajib saja kita masih mengabaikan untuk melaksanakannya. Juga apakah kita sudah mengaktualisasikan taat itu menjadi sebuah hubungan sosial yang baik kepada orang-orang di sekitar kita bahkan sesama makhluk ciptaan Allah lainnya seperti hewan dan tumbuhan?
Bersih adalah kondisi dimana sesuatu itu bersih dari noda, tidak tercemar dan suci. Jadi apakah kita yang sebagai seorang muslim sudah menampakkan Islam itu adalah agama yang menampakkan keindahannya melaui kebersihan dan kerapihannya? Jangan-jangan kita secara sadar atau tidak sadar sudah atau sedang mencitrakan Islam ini adalah agama yang jauh dari kebersihan, padahal tidak demikian. Terkadang juga kata rapi itu disematkan pada ketentuan yang seragam, contohnya laki-laki berambut panjang itu adalah laki-laki yang tidak rapi dan yang rapi itu adalah laki-laki yang rambutnya ceper atau pendek. Tunggu, darimana perspektif ini muncul? Kelihatannya mungkin akan sedikit bijak namun sebenarnya aturan seperti itu muncul sebab adanya formalitas yang lebih dikedepankan daripada realitas. Suri tauladan terbaik kita, Rasulullah Muhammad S.A.W. dalam beberapa riwayat dijelaskan bahwa rambut beliau terkadang ukuran panjangnya sampai ke bahu, ujung telinga, pertengahan daun telinga. Bisa dikatakan Rasulullah memiliki rambut yang tidak terlampau panjang serta rapi sebab beliau menyukai menyisir rambutnya dengan menambahkan minyak rambut. Jadi hak seseorang dalam mempunyai rambut panjang dalam suatu instansi atau suatu lingkungan seyogyanya tidak dibuatkan aturan yang seragam yang berpotensi mengikat dan otoriter sebab jika alasannya adalah pembeda antara laki-laki dan perempuan, maka mari kita melihatnya dalam kacamata syariah dalam Islam, pembeda antara laki-laki dengan perempuan bukan terletak pada ukuran rambutnya namun lebih kepada alat yang digunakan untuk menutup rambutnya.
Laki-laki normal akan mengerti bahwa yang dipakainya itu harusnya peci atau topi, dan yang perempuan tentunya jilbab atau kerudung. Hmm…benar atau tepat nih yang saya bilang? he he he.
Salaam artinya selamat. Jadi apakah kita yang mengaku Islam ini sudah menjadikan orang-orang disekitar kita selamat dengan perbuatan serta perkataan kita? Atau justru dengan hadirnya kita dalam suatu lingkungan akan menghadirkan rasa tidak selamat bagi orang lain. Mungkin karena kita ingin dibilang sok jagoan atau berlagak seperti penguasa rimba dalam kehidupan ini. Padahal yang membedakan manusia dengan manusia lainnya adalah taqwa kita kepada Allah. So, diharapkan manusia-manusia yang berjubah kesombongan atau arogansi agar kiranya sadar diri dan berhenti berulah, sebab iblis dilaknat oleh Allah sebab dia memakai jubah yang dimana jubah itu hanya Allah yang bisa memakainnya yaitu kesombongan. Mengapa kesombongan hanya Allah yang bisa memilikinya, ya iyalah kan Allah sang rabbul’alamiin (Tuhan semesta alam) jadi tidak ada yang mungkin bisa menyamai kehebatan-Nya dan jika ada yang mencoba untuk memakai jubah itu maka sebenarnya dia tuh nggak tau diri dan kebablasan serta bersiaplah konsekuensi seperti iblis akan didapatkan, Na’udzubillahi mindzalik.
Nah, setelah kita melihat bagaimana Islam itu secara bahasa dan pertanyaan-pertanyaan di atas yang harusnya kita jawab sendiri dalam diri kita sudah kita pahami seksama. Maka langkah selanjutnya adalah menjadikan ta’aruf kita dengan Islam bisa kemudian kita aktualisasikan dalam kehidupan nyata sehari-hari dan bersama-sama menjadikan islam ini maju. Maju dalam artian apa? Yah tentu saja maju untuk tidak tertinggal lagi dalam urusan pengetahuan, penalaran dan bisa melek teknologi agar cendekiawan-cendekiawan muslim bisa terlahir kembali serta menorehkan prestasi dan manfaat bagi kehidupan di muka bumi ini. Toh dalam Al-Qur’an surah ke-2 Al-Baqarah ayat ke 30, Allah menerangkan bahwa Dia akan menciptakan khalifah di muka bumi ini dan kita lah manusia yang mengemban amanah mulia tersebut.
Khalifah merupakan mashdar dari fi’il madhi khalafa yang berarti menggantikan, dan pengertian lainnya adalah bersifat mengadakan perbaikan atau melakukan pengelolaan. So, jadi jika masih merasa manusia dan masih hidup di bumi Allah ini, buatlah perbaikan demi perbaikan serta kebaikan yang bersifat universal yang diperuntukkan untuk kehidupan manusia dan kelestarian lingkungan alam. Itulah agama Islam, agama yang paripurna nan indah. Di mana setiap permasalahan sosial bisa dipecahkan dengan tuntunannya serta kehidupan manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia, dan manusia dengan sesama makhluk-Nya semuanya diatur secara sempurna, mudah dan penuh hikmah. Untuk mengakhiri tulisan ini maka saya akan mengutip perkataan Ali Mustafa Yaqub, yang di mana dengan itu kita bisa saling sadar dan membuka mindset kita yang mungkin dulunya tertutup atau kaku menjadi mindset yang terbuka dan fleksibel menghadapi permasalahan demi permasalahan umat yang sedang kita hadapi bersama. Beliau mengatakan “Jadi Islam itu sebenarnya lentur. Yang bikin sumpek dan kaku itu adalah sebagian orang Islam yang tasyaddud (mempersulit diri).”
Rijal Asyraf
( Mahasiswa Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar )