Pancasila

Aku, Kamu, Kita, Pancasila

4 Mins read

Bangsa yang besar adalah bangsa yang memiliki komitmen dan memahami buah pemikiran dan  cara pandang hidup yang disarikan para pendiri bangsa. Mereka telah membuat rumusan atau intisari yang digali dari jiwa bangsa ini, dari ruh bangsa ini, dari sikap hidup bangsa ini, yang berbhineka dan penuh nilai-nilai luhur.

Apakah rumusan atau intisari tersebut?

Jawabannya adalah lima sila dari Pancasila, dasar negara kita yang akhir-akhir ini semakin dilupakan dan disepelekan oleh generasi baru anak bangsa. Bahkan oleh seorang tokoh intelektual yang lahir, hidup dan sedang menikmati seluruh kebaikan alam Indonesia, dianggap sebagai ideologi yang gagal.

Hari-hari ini Pancasila mulai dipudarkan,  ideologi-ideologi dari luar dianggap lebih menarik dan dipelajari anak-anak muda masa kini. Mengacu pada kenyataan-kenyataan upaya pemudaran nilai-nilai luhur bangsa Indonesia yaitu Pancasila, Balai Pancasila Institute membedah apa yang menjadi rumusan tersebut supaya memberikan sumbangan pemikiran, pijakan dan arah yang jelas bagi bangsa ini untuk menjadi bangsa besar sesuai dengan cita-cita dan tujuan didirikannya bangsa ini oleh semua komponen pendiri bangsa yang mewakili seluruh anak bangsa, tentunya sesuai dan berdasarkan Pancasila.

Setiap bangsa pasti memiliki jalan sendiri sesuai karakter dan sejarah bangsa itu sendiri. Itulah mengapa dunia ini terdiri dari berbagai bangsa, suku dan agama. Apa yang baik bagi bangsa lain belum tentu baik bagi bangsa kita.

Sebenarnya para pendiri kita sudah meletakkan dasar bernegara yaitu Pancasila, sebuah penggalian berdasarkan sejarah kejayaan masa lalu dan karakter bangsa Indonesia yang terdiri dari berbagai macam suku, ras dan agama, tetapi memiliki satu kesamaan dalam hal adat istiadat ketimuran.

Tetapi, kenapa seolah-olah Pancasila itu hanya dianggap jargon semata dan tampak sulit mewujudkannya? Jawabannya adalah karena sebagian besar orang memandang Pancasila tidak secara sederhana, dan tidak melihat dari sudut pandang sebagai rakyat Indonesia yang memiliki adat istiadat ketimuran.

Untuk mewujudkan sebuah negara yang besar sangatlah sederhana hanya dengan syarat setiap warga negara Indonesia melaksanakan Pancasila secara murni dan konsekuen.

Apa maksud dari kata “murni dan konsekuen”? Maksud dari kata murni adalah menerapkan secara sederhana setiap sila yang terdapat di Pancasila, kemudian secara konsekuen yaitu secara berurutan, bertahap dalam pelaksanaannya. Kami melihat bukan kebetulan sila tersebut berurutan dari sila 1 ke sila ke 5.

Pancasila terdiri dari lima sila yang tidak mungkin silanya berdiri sendiri, tetapi sebuah sila yang berurutan dalam pencapaiannya.

Kalau kita melihat Pancasila secara utuh, apa adanya dan sederhana, mudah sekali mewujudkan bangsa yang besar dan memiliki karakter dan kepribadian yang kuat.

Sangat sederhana sekali. Pertama mari kita baca sila kesatu, Ketuhanan yang Maha Esa. Cukup sampai disitu kita membacanya. Di sini tertulis Tuhan dengan awalan Ke- dan akhiran -an. Mari kita bedah maksud dan tujuan awalan ke- dan akhiran -an.

Awalan Ke- dan akhiran -an memberikan kita perspektif dan sebuah pijakan paling dasar yaitu menempatkan Tuhan diatas segalanya, diatas kepentingan manusia, diatas kepentingan golongan. Menyerahkan segalanya kepada Tuhan, menyadari bahwa Tuhanlah pemilik semuanya dan Tuhanlah sebagai saksi semua perbuatan kita.

Inilah arti kata “Esa”. Sebuah konsep semua adalah satu kesatuan dalam kekuasaan Tuhan.

Apabila sudah menempatkan Tuhan diatas segalanya, kita tidak akan memandang manusia Indonesia dengan label-label suku, agama, dan ras (SARA)  di belakangnya, maka terwujudlah sebuah Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Sila ke-2 Pancasila memiliki makna bahwa Manusia Indonesia mengkedepankan nilai-nilai keadilan, nilai-nilai kemanusian, saling menghargai, menghormati sekaligus saling mengasihi, karena cahaya Illahi lah yang mengisi setiap relung hati manusia.

Nilai-nilai Illahi berada diatas semua golongan dan SARA karena sudah tertanam konsep bahwa keaneka ragaman, suku, ras, golongan dan agama adalah semata-mata wujud kekuasaan-Nya.

Sehingga semua warga negara akan merasa diberlakukan adil dan seluruh warga negara akan berlaku saling adil karena pandangan murni sisi kemanusiannya saja tanpa takut ada korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) atau di kucilkan berdasarkan SARA

“Aku kamu kita rakyat Indonesia.”

Setelah menjadi manusia yang adil dan beradab, maka dengan dasar sila ke-2 tersebut kita akan melangkah ke sila yang ke-3 Persatuan Indonesia. Tanpa nilai keadilan, tanpa menjadi manusia yang beradab, sangat sulit mewujudkan toleransi, tepa selira dan  menghargai, karena kita sebagai manusia pada dasarnya selalu mengkedepankan golongannya saja.

Bersatunya seluruh bangsa Indonesia merupakan modal dasar yang ketiga. Tanpa nilai persatuan bagaimana kita akan melangkah ke sila yang ke-4 yaitu Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan Perwakilan?

Bagaimana kita bisa berkumpul apa bila tanpa dilandasi rasa persatuan yang murni apalagi membicarakan kepentingan bersama ?

Yang terjadi sekarang hanya sekedar bagaimana kepentingan pribadi dan golongannya terakomodasi bahkan berujung pada gontok-gontokan dan pemaksaan kehendak melalui cara cara yang kurang baik. Salah satu yang paling mudah adalah “membeli”, sehingga uang menjadi sebuah elemen yang sangat penting dalam persatuan model instan.

Di dasar/sila yang ke-4 bisa kita lihat bahwa penyelenggaraan pemerintahan untuk memimpin rakyat Indonesia adalah melalui sistem musyawarah bersama agar memberikan solusi secara bijaksana, yang dilakukan oleh perwakilan dari seluruh elemen bangsa ini.

Perwakilan terdiri dari wakil semua elemen masyarakat yang dipilih oleh masing-masing golongan, suku dan sebagainya. Kenapa harus wakil? bukannya semua rakyat ikut serta? Karena tidak semua rakyat Indonesia itu mampu baik secara emosi, intelektual, dan fisik.

Juga secara karakter dan sejarah bangsa ini yaitu setiap suku memiliki dewan perwalian adat yang terdiri dari tokoh yang memiliki kapasitas yang mumpuni secara alamiah.

TIDAK TEPAT

Praktik demokrasi yang mengkiblat ke barat terutama demokrasi Amerika Serikat, tidaklah tepat untuk diterapkan di Indonesia.

Karakter bangsa ini sangat jauh berbeda, bangsa Indonesia memiliki akar sejarah sejak ribuan tahun silam, yang sudah terbiasa dengan gotong royong, musyawarah, wali adat, dan sistem kerajaan.

Hal ini berbeda dengan karakter bangsa Amerika Serikat yang baru berusia ratusan tahun. Bangsa Amerika Serikat tidak mempunya kebudayaan asli, mereka terdiri dari berbagai suku bangsa yang merantau, sehingga yang ada adalah suara mayoritas yang memerintah bangsa tersebut. Dampak dari berkiblatnya kita terhadap demokrasi ala barat  bisa dilihat bagaimana bangsa kita menanggung ongkos politik yang sangat besar melalui Pilkada, pemilihan anggota dewan, dan presiden. Hasilnya bangsa kita menjadi terpecah-belah, muncul kerusuhan, bahkan praktik korupsi juga masih dilakukan pejabat publik.

Bangsa kita sebenarnya adalah bangsa yang santun, mengedepankan musyawarah, suka gotong royong, patuh pada tokoh masyarakat seperti dewan adat, kiai dan sebagainya. Tokoh-tokoh masyarakat itulah yang secara turun temurun membimbing bangsa ini. Sebenarnya para pendiri bangsa ini sangat memahami karakter bangsa Indonesia.

Setelah 4 dasar/sila tersebut kita jalankan, maka tercapailah apa yang dicita-citakan oleh kita semua, yaitu sila ke-5 Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.

Apakah itu Keadilan sosial? Keadilan sosial adalah keadilan yang sesuai dengan hak dan kewajiban setiap rakyat Indonesia, bukanlah keadilan sama rasa sama rata, atau keadilan yang berdasarkan besaran modal, tetapi keadilan dalam hukum, keadilan dalam mencari penghidupan, keadilan dalam pendidikan, keadilan yang bersifat sosial antar rakyat, dan pemerintah ke rakyat juga sebaliknya.

Keadilan untuk kemakmuran yang sebesar-besarnya untuk seluruh rakyat Indonesia. Sebuah bentuk negara yang saling mengayomi, saling berbagi dan saling melayani.

Apakah ini utopis? Tentu tidak, diberbagai banyak daerah di Indonesia, terutama di desa-desa,  sikap Pancasila secara tidak sadar dilaksanakan oleh warganya. Contohnya lumbung desa adalah bentuk dari keadilan sosial, gotong royong memperbaiki rumah merupakan implementasi dari persatuan.

Setiap anak bangsa akan merasa mempunyai induk, yaitu sebuah negara yang akan mengayomi dan merangkul siapapun dan bagaimanapun sesuai hak dan kewajibanya berdasarkan konstitusi.

Maka jadilah kita bangsa yang besar yang bangga dan mempunyai karakter yang sangat kuat. Jayalah bangsaku!

Bayu Putra & Jimmy Mahardika

Founder Balai Pancasila Institute

selengkapnya baca di I

2121 posts

About author
Pilarkebangsaan.com adalah media yang menfokuskan diri pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan kenegaraan
Articles
Related posts
Pancasila

Meneguhkan Spirit Pancasila di Era TikTok dan Gen Z yang Minim Literasi

3 Mins read
Di tengah kemajuan teknologi dan derasnya arus informasi, generasi muda, terutama Gen Z, dihadapkan pada dunia digital yang bergerak cepat dan beragam….
Pancasila

Jelang Hari Guru Nasional 2024: Tiru Bukan Buru

4 Mins read
“Pertemuan sebelumnya saya kasih kalian tugas ya? Siapa yang sudah mengerjakan tugasnya? Ayo maju ke depan!” Ujaran-ujaran di atas galibnya menyuntikkan kegamangan…
Pancasila

Relevansi Islam Kontekstual dan Mainstreaming Pancasila

5 Mins read
Pendekatan purifikasi atau pemurnian Islam sering kali memicu perdebatan di kalangan umat Muslim. Dalam kasus ini, kampanye pemurnian Islam yang muncul di…
Power your team with InHype

Add some text to explain benefits of subscripton on your services.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *