Isu aktual tentang amandemen Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) kembali mengemuka. Berbagai spekulasi muncul terkait kembali di amandemennya UUD 1945, mulai dari mengaktifkannya kembali GBHN (Garis Besar Haluan Negara), sampai perombakan struktur kelembagaan Negara yakni Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai Lembaga tertinggi Negara.
Dua kutub pun muncul seiring mencuatnya kembali isu amandemen kelima UUD 1945, ada yang bernada setuju, namun ada pula yang tidak setuju dengan adanya amandemen UUD 1945. Bukan tanpa dasar, keduanya tentu didasari dengan berbagai pertimbangan dan alasan, salah satu pertimbangan dari pihak yang tidak setuju ialah mandemen UUD 1945 akan berpotensi mengembalikan kekuasaan orde baru yang akan mengancam demokrasi Indonesia.
Selain itu pandangan kedua datang dari pihak yang setuju dan menginginkan adanya amandemen UUD 1945 terbatas pada wacana menghidupkan kembali GBHN dan posisi serta kedudukan MPR sebagai Lembaga tertinggi negara.
Pro dan kontra keduanya tidak hanya terjadi pada tingkatan elit politik, pada tingkatan tokoh dan intelektualpun seringkali terdapat perdebatan yang serius dengan berbagai pandangan dan alasan yang cukup rasional antar keduanya serta sama-sama memiliki pendukung fanatik.
Sebelum terlalu jauh menjawab isu tentang pro dan kontra tersebut, ada baiknya kita melihat kembali sejarah tentang apa sungguhnya lembaga MPR di Indonesia.
MPR merupakan lembaga penjelmaan seluruh rakyat Indonesia sebagaimana diatur dalam Pasal 1ayat (2) naskah awal yang menyatakan “Kedaulatan adalah ditangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyarawaratan Rakyat” yang kemudian dipertegas oleh Penjelasan UUD 1945 “Kekuasaan Negara yang tertinggi di tangan Majelis Permusyawaratan Rakyat (Die gesamte Staatgewaltliegt bei der Majelis)”.
Dengan demikian asal muasal supremasi MPR yang utama sesungguhnya MPR adalah perwujudan dari kedaulatan rakyat. Hal itu sesuai dengan teori pemisahan kekuasaan yang dikemukakan oleh John Lockedimana diantara 3 (tiga) kekuasaan, maka kekuasaan legislatif merupakan kekuasaan tertinggi dalam sebuah negara (supremasi parlemen).
Pasca amandemen UUD 1945, sesuai yang disepakati oleh PAH I MPR, maka sistem pemerintahan berubah menjadi presidensil, yang dipertegas dengan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung dan pemakzulan Presiden dan Wakil Presiden apabila terjadi pelanggaran hukum.
Untuk itu meskipun MPR bukan lagi sebagai lembaga tertinggi negara, akan tetapi sesuai kewenangannya dalam hal pemberhentian Presiden dan Wakil Presiden, MPR tetap sebagai lembaga pemutus apakah Presiden dan Wakil Presiden memenuhi syarat untuk dimakzulkan (souvereignty of parliament).
Untuk itu meskipun secara kasat mata tidak ada lembaga tertinggi negara, akan tetapi seungguhnya MPR sesuai kewenangannya masih sebagai lembaga tertinggi negara, apalagi MPR berwenang menetapkan dan mengubah UUD 1945.
Selain itu fungsi GBHN bagi keberlangsungan pembangunan bangsa juga tetap dibutuhkan guna menjaga harmoni keberlangsungan pembangunan antar periode pemerintahan yang satu dengan yang lainnya, yang kemudian dapat dijabarkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJP).
Dengan tidak menafikan kedudukan MPR sebagai lembaga tertinggi negara dan penghidupan kembali GBHN, penulis berharap amandemen kelima bukanlah suatu yang perlu ditakutkan, hal itu dikarenakan kewenangan MPR tidak untuk diarahkan kepada pengembalian peran dan fungsi memilih Presiden dan Wakil Presiden serta melakukan impeachment dengan atau tanpa pertimbangan Mahkamah Konstitusi, sehingga hal yang demikian bukanlah sebuah kemunduran, akan tetapi menguatkan kembali kekhasan bangsa Indonesia di mata Internasional.
Bahkan tidak hanya itu, bagi penulis mengaktifan peran dan fungsi Dewan Pertimbangan Agung (DPA) juga layak dipertimbangkan, mengingat senyatanya peran dan fungsi DPA hingga sampai detik ini masih tersalurkan melalui Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres), yang dalam strukturnya dapat diisi oleh para Negarawan yang hidupnya telah selesai tidak terdapat kepentingan selain untuk kemajuan bangsa.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa lembaga MPR merupakan lembaga khas yang dimiliki oleh Indonesia yang keberadaannya harus terus dipertahankan dengan disesuaikan dengan arah perkembangan kematangan demokrasi Indonesia, sehingga kita semua tidak perlu terlalu dihantui rasa takut tentang sejarah kelam MPR dalam masa pemerintahan Orde Baru.