Wacana untuk mengamandemen Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 kembali mengemuka. Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) mengusulkan perubahan dengan alasan penyempurnaan konstitusi, demi menyesuaikan sistem politik dan ketatanegaraan dengan perkembangan zaman. Namun, di tengah argumen rasional dan niat baik, muncul kekhawatiran bahwa wacana ini dapat disalahgunakan untuk menggerogoti fondasi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Alasan utama yang disampaikan MPR adalah evaluasi demokrasi yang dinilai terlalu pragmatis, seperti maraknya politik uang dalam pemilu langsung. Mantan Ketua MPR Amien Rais bahkan mengusulkan agar presiden kembali dipilih oleh MPR, sebagaimana sebelum era reformasi. Ia berdalih bahwa sistem pemilu langsung tidak hanya mahal tetapi juga rentan manipulasi.
Namun, usulan ini memicu kontroversi. Sistem pemilu langsung adalah salah satu hasil reformasi yang merefleksikan kedaulatan rakyat. Mengubahnya menjadi pemilihan oleh MPR dianggap oleh banyak pihak sebagai langkah mundur dalam demokrasi. Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada, Zaenur Rohman, menegaskan bahwa hal ini merupakan “kemunduran demokrasi”.
Dalam sejarahnya, UUD 1945 telah diamandemen empat kali, terakhir pada 2002. Amandemen ini bertujuan memperbaiki tata kelola negara. Namun, perubahan konstitusi tanpa kehati-hatian dapat menjadi senjata politik bagi segelintir elite untuk melanggengkan kepentingannya. Misalnya, usulan memasukkan kembali Garis Besar Haluan Negara (GBHN) sebagai peta jalan pembangunan nasional, meskipun relevan, dapat disalahgunakan untuk memusatkan kekuasaan.
Kritik juga datang dari akademisi seperti Herdiansyah Hamzah dari Universitas Mulawarman, yang menyebut wacana ini sebagai āide gila para politisiā. Ia menilai penguatan peran Dewan Perwakilan Daerah (DPD) jauh lebih urgen dibandingkan mengembalikan kekuasaan kepada MPR.
Presiden Joko Widodo sendiri mendukung amandemen dengan catatan agar dilakukan setelah Pemilu 2024. Namun, langkah ini tetap membuka celah untuk kepentingan politik tertentu. Apalagi dalam kondisi demokrasi yang belum matang, perubahan konstitusi dapat menjadi alat legitimasi bagi segelintir elite untuk merebut kembali kekuasaan yang telah didistribusikan sejak reformasi.
Sistem pemilu langsung, meski memiliki kelemahan, telah memperkuat legitimasi pemimpin di mata rakyat. Mengembalikan sistem pemilu kepada MPR berarti mencabut hak rakyat dalam memilih pemimpin tertinggi negara. Ini menjadi ancaman serius terhadap prinsip demokrasi dan kedaulatan rakyat.
Wacana amandemen konstitusi harus dilihat sebagai pisau bermata dua. Di satu sisi, ia dapat menjadi solusi atas berbagai persoalan sistemik. Di sisi lain, ia dapat disalahgunakan untuk menciptakan oligarki baru, melemahkan institusi demokrasi, dan merusak NKRI.
Oleh karena itu, penting bagi masyarakat untuk bersikap kritis dan waspada terhadap motif di balik wacana ini. Amandemen konstitusi bukanlah hal tabu, tetapi harus dipastikan hanya dilakukan demi kebaikan bersama, bukan untuk kepentingan sesaat para elite. Jika tidak, NKRI yang telah diperjuangkan dengan darah dan air mata bisa terancam dari dalam.
Menyelamatkan UUD NKRI
Menyelamatkan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 berarti menjaga agar konstitusi tetap menjadi pondasi negara yang melindungi kedaulatan rakyat dan memastikan keadilan sosial. Wacana amandemen UUD 1945, meskipun bertujuan untuk penyempurnaan, dapat menjadi ancaman jika disalahgunakan oleh pihak-pihak yang memiliki agenda tersembunyi. Indonesia tidak hanya menghadapi tantangan politik dan ekonomi, tetapi juga ancaman terhadap stabilitas dan integritas NKRI.
Upaya untuk mengembalikan pemilihan presiden oleh MPR, misalnya, berisiko melangkah mundur dari demokrasi langsung yang menjadi salah satu capaian reformasi. Demokrasi langsung memungkinkan rakyat berperan aktif dalam menentukan pemimpinnya, dan menggantinya dengan mekanisme tidak langsung membuka celah manipulasi oleh segelintir elite politik.
Jika amandemen UUD diarahkan untuk mengakomodasi kepentingan tertentu, maka kepercayaan publik terhadap institusi negara bisa runtuh. Dampak yang lebih luas, stabilitas nasional pun terancam. Mengingat sejarah, UUD yang diubah sesuai kepentingan politik jangka pendek kerap menjadi alat legitimasi kekuasaan, bukan solusi untuk perbaikan bangsa.
Pertanyaan utama yang harus diajukan adalah: Apakah amandemen ini benar-benar diperlukan? Dan jika iya, apakah tujuannya semata-mata untuk memperbaiki sistem ketatanegaraan? Amandemen UUD seharusnya menjadi bagian dari visi jangka panjang bangsa untuk menciptakan tata kelola pemerintahan yang lebih baik, bukan untuk memenuhi ambisi kekuasaan kelompok tertentu.
Bamsoet dan para tokoh politik lainnya yang menggulirkan wacana ini wajib menunjukkan transparansi. Kajian akademik, aspirasi masyarakat, dan kebutuhan nyata bangsa harus menjadi dasar setiap perubahan konstitusi. Tanpa itu, amandemen hanya akan menjadi instrumen politik yang berpotensi membahayakan kesatuan bangsa.
Jika amandemen ingin dilakukan, orientasinya harus kembali pada demokrasi substansial, bukan sekadar prosedural. Demokrasi substansial memastikan bahwa setiap perubahan konstitusi memperkuat hak rakyat, membangun tata kelola yang bersih, dan menjamin keadilan sosial bagi seluruh warga negara.
Sebagai contoh, amandemen dapat diarahkan pada penguatan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) untuk memperjuangkan kepentingan daerah secara lebih nyata. Selain itu, sistem proporsional tertutup dalam pemilu juga dapat dipertimbangkan untuk mengurangi praktik politik transaksional.
Namun, segala bentuk perubahan harus dilakukan secara hati-hati, dengan kajian komprehensif yang melibatkan semua elemen bangsa. Reformasi konstitusi bukan pekerjaan yang bisa dilakukan dalam tempo singkat, apalagi dengan agenda yang tidak transparan.
Kedaulatan NKRI adalah milik seluruh rakyat Indonesia, bukan segelintir elite. Oleh karena itu, setiap wacana amandemen UUD harus diuji melalui musyawarah nasional yang melibatkan partisipasi publik secara luas. Jika tidak, maka agenda tersebut hanya akan mencederai prinsip demokrasi yang telah diperjuangkan dengan susah payah sejak reformasi.
Sebagai bangsa yang besar, Indonesia memiliki tugas berat untuk menjaga integritas konstitusi. Ketahanan politik dan demokrasi bukan hanya soal sistem, tetapi juga bagaimana kita menjunjung nilai-nilai dasar Pancasila yang menjadi roh UUD 1945. Setiap langkah menuju perubahan harus diarahkan untuk memperkuat negara, bukan melemahkannya.
Menyelamatkan UUD NKRI adalah menyelamatkan masa depan bangsa ini. Mari kita kawal bersama agar konstitusi tetap menjadi pelindung dan penuntun yang kokoh bagi perjalanan panjang Republik Indonesia.