Konsep kehidupan umat manusia pada dasarnya bertumpu pada pemahaman bahwa semua umat manusia adalah bersaudara dan sama. Bila seseorang menzalimi sesamanya, maka sesungguhnya ia telah melakukan penzaliman kepada seluruh umat manusia. Begitu juga sebaliknya.
Dari itu, kita tahu dan itu menjadi keniscayaan bahwa setiap manusia harus diperlakukan secara sama: manusiawi. Tidak patut apabila perlakuan secara manusiawi hanya berpulang kepada diri sendiri. Sementara perlakuan kepada lian sering bercorak tidak santun dan despotis.
Melihat Secara Adil dan Beradab
Sikap yang paling mendasar dan itu yang perlu kita sadari dalam berbangsa-bernegara-beragama adalah bagaimana memanusiakan diri kita dan orang lain secara adil dan beradab. Maka itu, seperti ajaran dalam pupuh sinom serat Wedhatamakarya karya Manggunegara IV bahwa kebahagiaan harus diawali dengan cara kita memperlakukan antar-sesama dengan kasih kemanusiaan yang bisa menyenangkan setiap orang “Amemangun Karyenak Tyasing Sasama”. Menjunjung tinggi budi pekerti dan keadaban publik serta menghargai hak asasi tanpa diskriminasi.
Dalam sikap dan pemahaman itu merujuk pada pemikiran Nurcholis Madjid dalam buku Islam Agama Kemanusiaan bahwa dalam dimensi esotoris spirit dakwah keagamaan dan kemanusiaan adalah bagaimana kita bisa adil, toleran, egaliter, dan tidak memaksakan kehendak, apa yang menjadi keinginan kita harus terpenuhi-dipatuhi oleh pihak lain dan pihak yang lain harus sama seperti diri kita. Jagalah hati, jangan intoleransi.
Patut disadari, pada dimensi itu kita harus adil. Dan dalam keadilan itu harus berkeadaban luhur yang bercorak silang balik dengan memperlakukan pihak lain sebagaimana kita memperlakukan diri kita. Ketika diri kita tidak suka dizalimi hanya karena berbeda pemahaman, keyakinan, bahkan hanya berbeda pilihan politik, maka janganlah kita kepihak lain menzalimi. Sebab, sebagaimana diri kita akan sakit hati dan benci dengan perlakuan zalim tersebut, pihak lain juga akan merasakan suasana batin yang serupa.
Kesadaran resiprokal tersebut tidak hanya mengantarkan kita pada golongan yang beradab karena telah menempatkan diri kita kepada derajat yang luhur, tetapi seperti dikatakan Yusuf Qardhawi dalam buku Islam Jalan Tengah, menjadi bukti bahwa kita umat Muhammad Saw. yang beragama dan percaya akan supraprerogatif Sang Pencipta.
Perbedaan Adalah Rahmat
Karena, manusia yang tunduk kepada keagungan Sang Maha Pencipta ia akan berdamai dengan sesama. Secara otomatis, ia paham bahwa Tuhan menciptakan umat manusia dalam format yang berbeda-beda hanya satu tujuan, yaitu ia “membaca” kebesaran Tuhan dalam proses saling memahami dan berdamai satu sama lain. Perbedaan adalah rahmat.
Dalam konteks agama yang dianut umat manusia yang melalui Nabi ke Nabi—menjadi pesan wahyu—adalah dalam rangka mendidik roh manusia agar cahayanya selalu berperdar agung mengalahkan kegelapan. Termasuk juga kezaliman. Konsepsi pencarian hakikat Tuhan boleh dibangun berbeda-beda, melalui agama, sekte, dan mazhab, juga politik. Namun, Tuhan yang menciptakan semuanya alam dan seisinya pastilah sama.
Saling Menghargai
Agama ibarat pulau. Orang-orang untuk sampai ke pulau harapan itu harus saling mengisi dan menjaga keseimbangan perahu yang ditumpangi. Bila perahu bocor, maka mereka harus mencari titik persamaan nasib dan sesegara bersama munutup kebocoran dan menjamin keselamatan pelayaran; bukan saling cakar-intai-menyalahkan-mempertengkarkan klaim pulau harapan yang secara nyata belum pasti.
Pada titik ini, kita perlu berikhtiar lebih cermat dan mendalam lagi bagaimana menyikapi persamalahan, klaim kebenaran agama, politik hitam dan merefleksikan agar kita tidak terjebak ke dalam sebuah fanatisme buta yang dicemari hiruk-pikuk hoaks, konten negatif, pelintiran kebencian yang begitu mewabah di media sosial dan kehidupan nyata kita.
Maka, marilah kita menjauhi sikap berlebihan dalam beragama atau politik hitam dan lebih mendekatkan ke hal yang pokok yakni merawat pemahaman kemanusiaan dan hakikat persaudaraan umat manusia dengan akal sehat, hati nurani yang bersih dan optimisme agama-politik yang luhur.
Sebab, adanya dan agama dan jalannya politik ditabiatkan hanya untuk keadilan yang mensejahterakan manusia. Agama dan politik untuk memaslahatkan manusia. Kendati hanya tujuan itu orang berpolitik dan beragama.