Pilarkebangsaan.com. Malam Minggu lalu, saya membaca UU Pesantren yang telah disahkan DPR RI pada masa sidang 2019 yang kemudian diundangkan pada 16 Oktober 20l9. Tidak lain untuk memperkuat pendapat hukum terkait kasus-kasus kekerasan seksual di lingkungan pesantren. Agar UU Pesantren dapat dilaksanakan secara optimal, dibutuhkan sinkronisasi dan harmonisasi peraturan perundang-undangan lain dengan UU Pesantren dalam waktu 3 tahun dan peraturan pelaksanaan dalam waktu satu tahun.
Jika melihat Peraturan Presiden (Penpres) dan sembilan Peraturan Menteri Agama (PMA) dalam waktu satu tahun, berarti seharusnya pada 16 Oktober 2020 kita sudah memiliki keseluruhan perangkat peraturan pelaksanaannya. Namun, mesin pencarian yang saya andalkan tidak berhasil menemukannya. Yang tersedia adalah informasi bahwa Penpres dan PMA sedang memasuki tahap konsultasi public.
Dari 55 pasal yang ada, saya tidak mendapati satu pasal terkait perlindungan santri/wati di pondok pesantren. Padahal, menurut Menteri Agama, Fachrul Razi, jumlah pesantren hingga tahun 2020 tercatat sebanyak 28.194 pesantren. Dari jumlah itu, tercatat 5 juta yang mondok dan jika dijumlahkan dengan yang tidak mondok, TPA dan madrasah, jumlahnya mencapai 18 juta. Terdapat 1,5 juta tenaga pengajar di pesantren. Dengan jumlah demikian, dan relasi kuasa diantara unsur pesantren maka kekerasan seksual atau bentuk kekerasan lainnya potensial terjadi.
Hal ini nampak dalam pemberitaan media massa. Seperti JM (52), pimpinan salah satu pondok pesantren yang diduga melakukan kekerasan seksual terhadap empat santriwatinya dengan modus menawarkan kemampuan berupa wafak atau jimat diberikan kepintaran di Serang Kota.
Juga seorang pengasuh pondok pesantren di Kabupaten Penajam Paser Utara (PPU), Kalimantan Timur, mencabuli santrinya dengan modus membangun korban untuk shalat (Tibun Banyumas,10/03/2020). Atau MSAT (38) putra pimpinan Pondok Pesantren, dan pemilik berbagai usaha di Jombang melakukan perkosaan kepada santriwatinya dengan modus memindahkan Ilmu Metafakta yang konon dimiliki. Tentu kasus ini adalah kasus yang muncul ke permukaan. Baru diketahui setelah korban melarikan diri, mengadu kepada keluarga atau mendapati sesama temannya mendapatkan perlakuan serupa.
Para korban yang merupakan peserta didik berada dalam kondisi tidak berdaya (power less), dalam relasi kuasa berhadapan dengan guru, pimpinan pondok pesantren atau pengasuh pondok yang tentu memiliki kuasa otoritas keilmuan termasuk nama besar di dalam masyarakat. Lapisan relasi kuasa, termasuk menjaga nama baik pesantren akan menjadi penghambat bagi korban untuk mendapatkan keadilan, kebenaran dan pemulihannya.
Lantas, jika tidak ada ketentuan terkait perlindungan santri/wati UU Pesantren mengatur tentang apa? Dan, bagaimana mendorong kebijakan agar pesantren sebagai salah satu institusi pendidikan dan dakwah menjadi garda terdepan dalam perlindungan santri/wati dari kekerasan seksual?
UU Pesantren: Dari Pengakuan Sampai Dana Abadi
Dalam pertimbangannya undang-undang ini memberikan pengakuan terhadap peran pesantren dalam pergerakan dan perjuangan meraih kemerdekaan maupun pembangunan nasional khususnya dalam fungsi pendidikan, dakwah dan pemberdayaan masyarakat. Maka kemudian penting pengaturan untuk memberikan rekognisi, afirmasi, dan fasilitasi pesantren berdasarkan tradisi dan kekhasannya oleh negara.
Untuk disebut sebagai pesantren, harus memenuhi unsur paling sedikit: adanya Kiai, santri yang bermukim di pesantren, pondok atau asrama, masjid atau musala; dan kajian Kitab Kuning atau Dirasah Islamiah dengan pola Pendidikan Muallimin.
Pengakuan negara terhadap kekhasan pesantren dalam melaksanakan fungsi pendidikan adalah pengakuan bahwa pendidikan pesantren sebagai bagian dari penyelenggaraan pendidikan nasional. Negara berkewajiban memenuhi hak atas pendidikan dan pengajaran yang dimandatkan dalam konstitusi, termasuk ketika pilihan pendidikan melalui pesantren.
Saya tidak pernah ‘mengenyam’ pendidikan pesantren, namun lingkup pertemanan saya tidak sedikit yang berlatarbelakang pesantren. Mereka umumnya cerdas, rendah hati, memiliki ‘bahasa’ yang dapat mencairkan kebekuan dan menjadi penjaga kebhinekaan. Karenanya, menjadi tidak berlebih jika dalam undang-undang ini pendidikan pesantren ditujukan untuk membentuk santri yang unggul dalam mengisi kemerdekaan Indonesia dan mampu menghadapi perkembangan zaman.
Dalam undang-undang ini, komitmen untuk mengamalkan nilai Islam rahmatan lil’alamin dan berdasarkan Pancasila, UUD 1945, NKRI serta Bhinneka Tunggal Ika dapat kita temukan di ketentuan-ketentuan dalam fungsi pendidikan, dakwah maupun pemberdayaan masyarakat,
Dalam konteks fungsi pendidikan, pesantren menyelenggarakan pendidikan formal dan/atau nonformal. Pendidikan formal meliputi pendidikan pesantren jenjang pendidikan dasar, menengah, dan tinggi, sedangkan pendidikan nonformal berbentuk pengkajian Kitab Kuning.
Selain itu, undang-undang ini juga mengatur ketentuan terkait kurikulum pendidikan yang saling mengintegrasikan kurikulum pesantren dan kurikulum pendidikan umum, sistem penjaminan mutu pendidikan pesantren dan kompetensi pendidik dan tenaga kependidikan pendidikan pesantren. Yang tak kalah penting adalah pemerintah menyediakan dan mengelola dana abadi pesantren yang bersumber dan merupakan bagian dari dana abadi pendidikan, yang akan diatur dengan Perpres.
Sebagaimana tujuan di awal tulisan mengapa saya mempelajari undang-undang ini, yakni terkait kekerasan seksual, dalam penegakan hukumnya memang merujuk kepada ketentuan hukum pidana dan perlindungan anak. Sedangkan dalam konteks bagaimana mekanisme internal untuk pencegahan, penanganan dan pemulihan kekerasan seksual sebagaimana sebaiknya dimiliki oleh setiap lembaga pendidikan, dapat diatur melalui kebijakan tehnis lainnya.
Misalnya, pijakan dalam undang-undang ini adalah kewenangan pemerintah pusat dan pemerintah daerah untuk memfasilitasi pondok atau asrama pesantren untuk memenuhi aspek daya tampung, kenyamanan, kebersihan, kesehatan, dan keamanan. Pondok pesantren yang memadai dapat menjadi salah satu prasarana untuk mencegah kekerasan seksual. Demikian halnya keamanan tentunya tidak hanya memfasilitasi dalam bentuk fisik, namun juga mekanisme agar aman dan nyaman untuk mengikuti proses pendidikan.
Simpulan bermalam mingguan dengan UU Pesantren ini, saya tidak perlu pesimis karena Kementerian Agama adalah yang kementerian pertama yang responsif untuk mendorong lembaga pendidikan menjadi tempat yang aman dari kekerasan seksual. Yaitu melalui kebijakan Dirjen Pendis berupa Surat Keputusan Dirjen No 5494 Tahun 2019 tentang Pedoman Pencegahan dan Penanggulangan Kekerasan Seksual pada Perguruan Tinggi Keagamaan Islam yang ditujukan kepada para Rektor/Ketua PTKIN/S yang saat ini, terus dilakukan upaya untuk mengimplementasikannya.
Jika kemudian di tingkat Perguruan Tinggi Keagamaan Islam berhasil, upaya serupa dapat didorong di tingkat diniyah dan pesantren. Akhirnya dalam suasana hari santri yang barusan kemarin dirayakan, saya ingim mengucapkan Selamat Hari Santri, dan berharap Perpres dan PMA pelaksanaan UU Pesantren menjadi kadonya. [AA]
Siti Aminah Tardi.