“Unlimited tolerance must lead to the disappearance of tolerance”
Kata-kata tersebut ditulis oleh Karl Raimund Popper dalam bukunya The Open Society and Its Enemy (2002). Frase itu bermakna, kurang lebih, “toleransi yang tidak terbatas akan berujung pada hilangnya toleransi itu sendiri”. Filsuf abad 20 asal Austria tersebut merangkai kata-kata itu untuk menjelaskan sebuah paradoks klasik tentang toleransi, “apakah toleransi berarti mentolerir kelompok-kelompok intoleran?”
Paradoksnya adalah ketika orang-orang yang kita toleransi adalah orang-orang intoleran, artinya di situ kita justru membiarkan intoleransi terjadi. Dengan kata lain, kita turut melanggengkan intoleransi. Sebaliknya, jika kita tidak bertoleransi terhadap orang-orang yang intoleran itu, di situ kita menjadi tidak toleran.
Paradoksnya adalah ketika orang-orang yang kita toleransi adalah orang-orang intoleran, artinya di situ kita justru membiarkan intoleransi terjadi. Dengan kata lain, kita turut melanggengkan intoleransi.
Paradoks ini, misalnya, bisa dilihat ketika pemerintah Indonesia yang mempromosikan sikap moderat dan toleran membubarkan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Kebijakan ini dipertanyakan oleh para simpatisan HTI. Bagaimana bisa pemerintah Indonesia yang katanya moderat justru terkesan mengeliminasi gagasan-gagasan lain. Sikap pemerintah itu dinilai sebagai pelanggaran terhadap kebebasan sipil dalam hal berpendapat dan berekspresi. Hasilnya, pemerintah terlihat sebagai pihak yang intoleran.
Paradoks ini yang dibaca oleh Karl Popper. Argumen utama Popper terkait paradoks itu adalah bahwa toleransi yang tanpa batas justru akan memusnahkan toleransi itu sendiri. Bagaimana bisa? Secara sederhana, jika kita, misalnya, bertoleransi tanpa batas, maka itu berarti kita akan merekognisi semua orang dengan pikiran-pikirannya. Dalam bahasa lain, siapapun akan ditolerir untuk mewujudkan gagasan mereka. Siapapun. Apapun.
Sebuah Kompromi
Sudah jamak diketahui bahwa watak utama kelompok intoleran adalah sikap eksklusif, ingin menang sendiri, klaim kebenaran sepihak, menghakimi yang bukan golongannya, dan memaksakan kehendak. Jika unlimited tolerance diaktifkan, maka justru mereka yang toleran bisa-bisa “dilahap” oleh mereka yang intoleran dengan watak-watak itu.
Dalam konteks ini, Popper menawarkan konsep mentoleransi apa yang patut ditoleransi. Pertanyaannya, lalu mana gagasan yang patut ditolerir dan mana yang tidak? Untuk menjawab pertanyaan ini, Professor Ilmu Politik asal Amerika, John Rawls mempunyai jawabannya. Dalam bukunya, A Theory of Justice, ia mengenalkan apa yang disebut “self-preservation”.
Konsep “self-preservation” adalah sebuah mekanisme pertahanan yang bisa digunakan kelompok toleran ketika dihadapkan oleh kelompok intoleran yang mengancam kebebasan orang lain dan mengarah pada pelanggaran hak asasi manusia.
Misalnya, Front Pembela Islam (FPI) yang mempunyai track record tindakan kekerasan dan intoleransi yang panjang. Pada tahun 2008, misalnya, salah satu petinggi FPI menebar ancaman terhadap pengikut aliran Ahmadiyah agar mereka semua dibunuh. Hal ini didasari pada keyakinan bahwa Ahmadiyah adalah aliran yang dianggap menyimpang, sehingga darah mereka menjadi halal untuk ditumpahkan. Dalam perspektif “self-preservation”, gagasan FPI ini boleh dibungkam tanpa mengurangi esensi dari toleransi itu sendiri.
Ide Rawls ini misalnya juga dapat dibaca pada sistem Nazi Adolf Hitler yang boleh dilawan karena akan mengakibatkan lahirnya korban jiwa. Melalui konsep Rawls, kita bisa bayangkan saat Adolf Hitler menyebarkan ideologi Nazi dan semua orang di dunia mentolerirnya. Karena gagasannya dibiarkan tumbuh, Hitler berhasil menyebarkan idenya, sedangkan kita tahu bahwa prinsip fundamental bangsa Arya-nya Nazi adalah menganggap bangsa-bangsa lain lebih rendah dan layak dimusnahkan. Pada kasus itu, jika toleransi diberikan tanpa batas, kita justru seolah ikut melegitimasi pembantaian jutaan umat manusia di muka Bumi.
Melalui konsep Rawls, kita bisa bayangkan saat Adolf Hitler menyebarkan ideologi Nazi dan semua orang di dunia mentolerirnya. Karena gagasannya dibiarkan tumbuh, Hitler berhasil menyebarkan idenya, sedangkan kita tahu bahwa prinsip fundamental bangsa Arya-nya Nazi adalah menganggap bangsa-bangsa lain lebih rendah dan layak dimusnahkan.
Jika dibenturkan, Rawls sebetulnya tidak sepakat dengan Popper soal pembatasan toleransi. Rawls mengatakan bahwa pada dasarnya, toleransi harus merangkul semua gagasan tanpa kecuali. Tidak ada kategorisasi mana yang harus ditolerir mana yang tidak. Namun prinsip utama Rawls tampak serupa dengan milik Popper, bahwa ketika intoleransi yang dibiarkan justru mengancam peradaban manusia, maka individu berhak untuk melindungi diri. “Melindungi diri” ini secara substansi sebenarnya sama saja dengan konsep Popper tentang “pembatasan toleransi”.
Pembatasan Toleransi dan Masa Depan Masyarakat Pluralis
Prinsip pembatasan berpikir ini pada dasarnya sudah diatur dalam skala internasional melalui International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) yang lahir pada tahun 1966 (Manese, 2021). Pada pasal 18 Nomor 3, ICCPR menyebutkan bahwa;
“Kebebasan menjalankan dan menentukan agama atau kepercayaan seseorang hanya dapat dibatasi oleh ketentuan berdasarkan hukum, dan yang diperlukan untuk melindungi keamanan, ketertiban, kesehatan, atau moral masyarakat, atau hakhak dan kebebasan dasar orang lain”
Di Indonesia, pembatasan ini diatur dalam Pasal 28J UUD 1945 Nomor 2 yang berbunyi,
“Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan UndangUndang dengan maksud sematamata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilainilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis”
Dalam dua diktum hukum tersebut, ada beberapa kesamaan prinsip seperti keamanan, ketertiban umum, dan moral masyarakat. Ketiga aspek ini menjadi tolak ukur apakah sebuah ide atau gagasan bisa beroperasi di tengah masyarakat pluralis. Bagi sebagian pihak, seperti simpatisan HTI dan FPI, restriksi ini seringkali dianggap sebagai pembatasan dakwah Islam dan kriminalisasi ulama. Namun di sisi lain, pembatasan ini pada hakikatnya adalah meminimalisir narasi eksklusif, klaim absolutisme, dan mengantisipasi klimaksnya, yaitu aksi ekstremisme. Dalam konteks kehidupan plural di Indonesia, tiga hal itu adalah virus yang sangat berbahaya bagi metabolisme kebangsaan kita yang bhinneka.
Kembali ke prinsip Popper, toleransi yang kelewat batas justru akan melahirkan intoleransi itu sendiri. Pada 14 November 2023, Mahkamah Agung melalui Pengadilan Negeri Jakarta menetapkan Negara Islam Indonesia (NII) sebagai Daftar Terduga Teroris dan Organisasi Teroris (DTTOT). Sebelumnya, aparat tidak memiliki kekuatan hukum untuk menindaklanjuti jika menemukan kelompok atau individu berpaham NII. Padahal, NII adalah “induk” organisasi terorisme di Indonesia (BBC, 2022). Melalui sayap militernya, Tentara Islam Indonesia (TII), NII berambisi merubah sistem demokrasi menjadi sistem syariat Islam dan mengganti Negara Kesatuan Republik Indonsia menjadi Negara Islam Indonesia dengan kekerasan dan pemberontakan (Van Dijk, 1981).
Pengawasan terhadap kelompok-kelompok terduga teroris ini dalam perspektif Popper dan Rawls tidak bisa dilihat sebagai pembatasan hak berekspresi, tetapi dalam rangka mengantisipasi intoleransi dan ancaman massif terhadap esensi kemanusiaan yang jamak digaungkan oleh kelompok radikal terorisme. Melalui upaya ini, cita-cita kehidupan plural yang harmonis di Indonesia menjadi mudah untuk diwujdukan.
Urgensi Narasi Tandingan dan Kontra Radikalisasi
Popper dalam buku yang sama, mengatakan bahwa kelompok toleran tidak perlu memberantas gagasan-gagasan intoleran. Yang perlu dilakukan adalah melakukan kontra narasi yang masuk akal, terukur, dan rasional. Narasi-narasi itu akan dibiarkan berkontestasi di ruang publik dan akan dievaluasi sendiri oleh masyarakat.
Namun dalam kebangsaan, kebijakan top down menjadi sama pentingnya dengan strategi bottom up dalam konteks pencegahan radikal terorisme. Artinya, negara memiliki kewenangan untuk mengatasi lahirnya sel-sel intoleransi dan radikalisme baru di Indonesia melalui kebijakan-kebijakan strategisnya. Di waktu yang sama, seperti kata Popper, kontra narasi yang terukur dan rasional juga perlu diproduksi secara intensif. Produksi kontra narasi ini yang kemudian dapat diperankan oleh masyarakat sipil di akar rumput.
Namun, yang perlu diperhatikan adalah bahwa masyarakat yang mengaku toleran harus berhati-hati dalam membatasi intoleransi dan memahami sekat antara tindakan intoleransi yang berbahaya dan perbedaan pandangan yang niscaya, meskipun kontroversial. Popper dan Rawls sepertinya sepakat bahwa memiliki perspektif yang berbeda tentang agama dan politik harus ditoleransi dalam masyarakat, kecuali jika satu kelompok politik atau agama menambahkan bumbu kebencian, tendensi mempersekusi, dan mengancam prinsip kemanusiaan.
Tidak berpendapat merupakan bagian dari kebebasan berpendapat. Ketika ada orang yang tidak ingin berpendapat akan sesuatu, maka sah-sah saja. Tetapi jangan sampai kebebasan berpendapat menjadi senjata untuk memaksa orang lain berpendapat. Jika masyarakat toleran masih samar dengan perbedaan itu, mereka akan rawan terjebak dengan prinsip intoleransi itu sendiri, suka memaksakan kehendak dan menganggap yang tidak sependapat sebagai pihak yang salah.
Akhirnya untuk menutup bahasan paradoks toleransi ini, kita bisa sedikit berpikir, jika kita mengetahui bahwa ada seseorang yang berencana mencelakai kita, meskipun itu masih dalam ranah ide (niat), apakah kemudian kita hanya membiarkan saja atas nama toleransi, atau berusaha melindungi diri dan berusaha melenyapkan rencana orang itu?
Daftar Pustaka
Alamsyah Dja’far. (2018). (In)toleransi: Memahami Kebencian & Kekerasan Atas Nama Agama. Jakarta: Elex Media Komputindo.
BBC. (2022). Negara Islam Indonesia, mengapa disebut jadi ‘ibu kandung’ kelompok terorisme di Indonesia? https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-61057509, diakses pada 26 Desember 2023.
Cornelis Van Dijk. (1981). Rebellion under the banner of Islam. Leiden: Martinus Nijhoff.
John Rawls. (1999). A Theory of Justice. United States: Harvard University Press.
Karl R. Popper. (2002). The Open Society and Its Enemies. London: Routledge.
Rohir Mahatir Manese. (2021). Pembatasan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Indonesia dan Implikasinya. Societas Dei: Jurnal Agama dan Masyarakat, 08(1), 86-107.