Jaga Pilar

Apakah Warga Binaan dan Narapidana itu Sama atau Berbeda?

3 Mins read

Ketika mendengar istilah “warga binaan” dan “narapidana,” apa yang terlintas di benak kita? Sebagian besar orang mungkin menganggap kedua istilah ini sama saja, hanya beda cara penyebutannya. Namun, jika kita telisik lebih dalam, ada perbedaan yang cukup signifikan antara keduanya, baik dari segi konsep, tujuan, maupun perspektif sosial. Tulisan ini mencoba menguraikan perbedaan itu, sambil mengupas kenapa istilah ini sering dianggap serupa dan apa dampaknya pada pandangan masyarakat.

Mari kita mulai dari istilah “narapidana.” Kata ini begitu sering kita dengar, terutama di berita kriminal atau laporan hukum. Narapidana adalah orang yang telah dijatuhi hukuman oleh pengadilan karena terbukti bersalah melakukan suatu tindak pidana. Secara hukum, status narapidana berarti seseorang sedang menjalani masa pidana di lembaga pemasyarakatan (lapas) atau rumah tahanan (rutan). Narapidana sering kali diasosiasikan dengan tindakan kriminal dan masa hukuman. Stereotip inilah yang membuat istilah “narapidana” memiliki konotasi negatif di masyarakat.

Sementara itu, “warga binaan” terdengar lebih halus, lebih manusiawi. Istilah ini sebenarnya digunakan untuk menyebut semua orang yang berada dalam pembinaan di lapas atau rutan, baik mereka yang berstatus narapidana maupun tahanan yang masih menunggu putusan hukum tetap (inkracht). Di balik penyebutan ini, ada filosofi besar yang ingin ditekankan: pembinaan dan pemulihan. Sistem pemasyarakatan di Indonesia bertujuan untuk tidak sekadar menghukum, tetapi juga mengembalikan individu kepada masyarakat sebagai pribadi yang lebih baik.

Namun, apakah penyebutan “warga binaan” hanya sekadar penghalusan dari “narapidana”? Tidak sepenuhnya. Ada nuansa berbeda yang membuat istilah warga binaan memiliki cakupan lebih luas. Sebagai contoh, tahanan yang menunggu persidangan di rutan juga masuk dalam kategori warga binaan, meskipun mereka belum tentu bersalah. Selain itu, program pembinaan di lapas bukan hanya untuk mereka yang menjalani hukuman pidana berat, tetapi juga untuk tahanan yang terlibat pelanggaran ringan atau kasus administratif. Dengan kata lain, “warga binaan” lebih menekankan pada proses pembinaan, bukan sekadar menghukum.

Perbedaan lainnya bisa kita lihat dari pendekatan sosial dan psikologis. Narapidana sering kali dipandang sebagai “label” yang membatasi, yang seakan mengikat seseorang pada identitas pelaku kejahatan. Sebaliknya, warga binaan memberikan harapan dan ruang untuk perubahan. Istilah ini mengingatkan bahwa setiap orang, meskipun pernah melakukan kesalahan, tetap memiliki potensi untuk belajar, tumbuh, dan kembali menjadi anggota masyarakat yang produktif.

Dari segi kebijakan, pemerintah juga mendorong penggunaan istilah warga binaan sebagai bentuk implementasi pendekatan pemasyarakatan. Lapas bukan lagi sekadar tempat “mengurung,” tetapi juga tempat pendidikan, pelatihan, dan rehabilitasi. Ada berbagai program yang dirancang untuk mendukung warga binaan, seperti pelatihan keterampilan, pendidikan formal, hingga konseling psikologis. Tujuannya adalah memastikan bahwa ketika mereka selesai menjalani masa pembinaan, mereka bisa beradaptasi kembali di tengah masyarakat.

Meski begitu, kenyataannya tidak selalu seindah teori. Banyak masyarakat yang masih sulit memisahkan kedua istilah ini. Stigma terhadap narapidana sering kali melekat juga pada warga binaan, bahkan setelah mereka menyelesaikan masa hukuman. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun istilah “warga binaan” lebih manusiawi, perjuangan untuk mengubah pandangan masyarakat terhadap mereka yang pernah terjerat kasus hukum masih panjang.

Salah satu tantangan terbesar adalah menghapus stigma yang sudah kadung melekat. Bagaimana caranya? Salah satunya adalah dengan meningkatkan edukasi publik tentang pentingnya rehabilitasi dan reintegrasi sosial. Kita perlu memahami bahwa mereka yang pernah terlibat dalam masalah hukum tetap manusia yang memiliki hak untuk memperbaiki diri. Penggunaan istilah “warga binaan” adalah langkah awal untuk melihat mereka tidak hanya dari masa lalunya, tetapi juga dari potensi masa depannya.

Selain itu, penting juga bagi lapas untuk benar-benar menjalankan fungsinya sebagai tempat pembinaan, bukan hanya pengurungan. Sayangnya, kondisi lapas yang sering overkapasitas dan minim fasilitas menjadi hambatan besar. Jika pembinaan tidak berjalan maksimal, maka istilah “warga binaan” bisa kehilangan maknanya dan hanya menjadi label semata.

Dari sisi individu, para warga binaan juga perlu memiliki semangat untuk berubah. Program pembinaan hanya akan berhasil jika mereka sendiri mau berpartisipasi aktif. Dukungan dari keluarga, teman, dan masyarakat menjadi elemen penting dalam proses ini. Sebab, sebesar apa pun usaha pembinaan di dalam lapas, jika masyarakat tetap memberikan stigma, proses reintegrasi akan sulit dilakukan.

Jadi, apakah warga binaan dan narapidana itu sama? Jawabannya jelas tidak. Narapidana adalah istilah hukum yang lebih sempit, sedangkan warga binaan adalah istilah yang lebih luas dan mengedepankan proses pembinaan. Namun, di mata masyarakat, kedua istilah ini sering kali melebur menjadi satu karena kurangnya pemahaman dan masih kuatnya stigma. Perbedaan ini bukan hanya soal terminologi, tetapi juga mencerminkan filosofi dan pendekatan yang ingin diterapkan dalam sistem pemasyarakatan kita.

Kesimpulannya, istilah “warga binaan” dan “narapidana” bukan hanya sekadar kata-kata. Mereka merepresentasikan cara pandang kita terhadap individu yang pernah terlibat dalam masalah hukum. Dengan memahami perbedaan keduanya, kita diajak untuk melihat sisi manusiawi dari orang-orang yang berada di lapas, untuk memberikan mereka kesempatan kedua, dan untuk membangun masyarakat yang lebih inklusif. Karena pada akhirnya, tujuan dari sistem hukum bukan hanya menghukum, tetapi juga memulihkan dan memperbaiki.

 

Ahmad Fahmi

Mahasiswa Aktif – S1 Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Jakarta
1562 posts

About author
Pilarkebangsaan.com adalah media yang menfokuskan diri pada topik kebangsaan, keadilan, kesetaraan, kebebasan dan kemanusiaan.
Articles
Related posts
Jaga Pilar

Modernisasi Pertanian: Bioekonomi, Digitalisasi, dan Pemberdayaan Indonesia

3 Mins read
Sektor pertanian Indonesia sedang berada di persimpangan sejarah. Di tengah ancaman krisis iklim, tekanan populasi yang terus meningkat, serta ketidakpastian ekonomi global,…
Jaga Pilar

Jaga Bangsa: Berlatih Publikasi Academic Book Review di Jurnal Global

3 Mins read
Tuntutan bagi dosen dan mahasiswa magister dan doktor agar mempublikasi hasil risetnya di media jurnal internasional bereputasi global menjadi salah satu capaian…
Jaga Pilar

Refleksi Dies Natalis HMI, Kaderisasi dan Kesadaran Kolektif

3 Mins read
Dua tahun setelah proklamasi kemerdekaan, tepatnya pada tanggal 5 Februari, menjadi tonggak sejarah pergerakan mahasiswa Islam. Lafran Pane beserta belasan temannya di…
Power your team with InHype
[mc4wp_form id="17"]

Add some text to explain benefits of subscripton on your services.