Menanggapi artikel menarik dari Saudari Irawaty Nusa (“Sastra Kita Jalan di Tempat”), maka akan mudah dipahami, bahwa masa depan kesusastraan Indonesia akan saling terkait dan terhubung antara satu dengan yang lainnya. Kini, tak ada gunanya segala kepongahan dan keangkuhan intelektual di kalangan seniman. Karena pada prinsipnya, setiap individu punya kelebihan di satu sisi, tetapi juga kelemahan di sisi lainnya.
Memang, selama masa pandemi ini, setiap kita seakan terperangkap dalam bangunan fisik yang terikat oleh ruang dan waktu. Maka terdapat kecenderungan – tak terkecuali seniman dan sastrawan – untuk menggunakan teknologi sebagai alat yang mempermudah urusan mereka. Lebih dari itu, fenomena teknologi sebenarnya bukan hanya mempermudah ruang-gerak seniman dan sastrawan, tetapi juga “memaksa” mereka agar berinovasi dan merevolusi diri.
Di bidang ekonomi – tidak bisa tidak – perusahaan-perusahaan lama mesti berhadapan dengan lincahnya perusahaan baru yang dimulai dari titik nol. Munculnya karya sastra baru, semisal “Jenderal Tua dan Kucing Belang” memaksa dunia sastra kita agar tak lagi bernostalgia dengan karya-karya lama. Goresan pena Pramoedya Ananta Toer memang terlahir dari gagasan besar, tetapi ruang lingkup dan problema manusia Indonesia masa kini, tentu sudah bukan dalam konteks tahun 1960-an atau 1980-an lagi. Gaya bahasa, citra diri, dan peristiwa dalam keseharian manusia Indonesia jelas sudah berbeda sama sekali.
Sastra yang berani berangkat dari titik nol, sebagaimana novel Pikiran Orang Indonesia (baca: “Membangun Akal Sehat”, Kompas, 24 April 2018) tak ubahnya dengan konsep ekonomi yang kerap digaungkan angkatan muda sebagai “startup”. Memang terlihat simpel dan sederhana, tetapi dari kecerdasan dan genuinitas mereka inilah seringkali muncul orchestra untuk memanfaatkan ekosistem kesusastraan Indonesia.
Bahkan, jika memang ingin survive, setiap perusahaan besar saat ini, harus berani berangkat dari titik nol (menolkan diri). Begitupun dalam industri kesusastraan Indonesia, mau tidak mau, apa boleh buat, apa mau dikata dan dinyana. Masalahnya, sanggupkah para sastrawan kita – terlebih yang merasa senior – untuk berputar haluan dan kembali ke titik nol?
Sekarang kita semua sudah paham bahwa dalam ilmu pengetahuan pun terdapat harmoni dan kesenyawaan antara satu dengan yang lainnya. Sastra, filsafat, agama, ekonomi, kesehatan dunia, hingga ke persoalan teknologi dan tanggung jawab moral untuk menjaga lingkungan, menjadi tugas kita sebagai khalifah di muka bumi ini. Pesan moral (moral massage) dalam karya sastra pun harus bermakna global dan universal. Kepongahan sebagian seniman yang ngotot berteriak bahwa seni hanya diperuntukkan untuk seni, kini sudah gigit jari seakan mengalami writer’s block yang abadi, terperangkap di gorong-gorong zona merah.
Ada jenis teknologi baru yang akan muncul dalam dua tahun ke depan. Konektivitas 5G akan segera tampil, dengan sendirinya semua kita – tanpa kecuali sastrawan – dipaksa memasuki konsep baru di luar ruang dan waktu. Karena itu, para penulis muda harus mengadakan eksplorasi paradigma, sebagaimana novel “Jenderal Tua dan Kucing Belang”. Sebab selama ini, seperti yang diakui para penulis tua (senior), ketika segala sesuatu bergerak begitu cepat dan dinamis, mereka akan sampai pada suatu titik jenuh. Dalam kondisi yang melelahkan itu, pikiran sang penulis lebih cenderung eksploitatif, ketimbang eksploratif.
Dengan pendekatan baru, sebagaimana yang ditunjukkan novel dan cerpen-cerpen Hafis Azhari, sang penulis cenderung melakukan kreatifitas yang eksploratif, dan bukan lagi eksploitatif seperti kebanyakan penulis di masa rezim Orde Baru. Karena itu, jika ada penulis angkatan muda yang masih mengikuti jejak masa lalu, sukanya bergerombol dan berkerumun, tetapi malas mengadakan penelitian ilmiah di lapangan, ah, mendingan ke laut aze….
Masalahnya, dengan memekarkan jiwa-jiwa eksplorasi pada angkatan muda, niscaya akan ditemukan wajah baru yang mencerahkan dalam khazanah kesusastraan kita. Tidak lagi sibuk bernostalgia, kembali mengulang-ulang resensi dari karya Chairil Anwar, Danarto, Budi Darma atau bahkan Putu Wijaya dan Goenawan Mohamad. Bukan berarti karya-karya itu boleh dikesampingkan, tapi kan, permasalahan kita sudah beda jauh dengan dunia yang bapak-bapak kita punya.
Secara ekonomi, dalam dua tahun ke depan, kita sudah mampu memprediksi bahwa sebagian pabrik di negeri ini mulai merehab diri, mengganti tenaga kerjanya dengan kolaborasi para robot (collaborative robot). Kini sudah bermunculan desa-desa yang berinisiatif mengakomodasi minimal jaringan 4G. Para penulis muda juga banyak yang mengabdi di desa-desa, termasuk berkiprahnya tenaga-tenaga pengajar sastra di wilayah Banten Selatan. Cara yang ditempuh para penulis muda itu tak lain adalah inovasi. Mereka yang mengandalkan dunia sastra hanya sebagai profesi atau job, siap-siap saja terdisrupsi. Sebab, kreativitas seniman (work) akan senantiasa muncul karena selalu mengalami inovasi tadi.
Di sini kita harus pintar membedakan antara work dengan job, karena kerja-kerja kreatif para seniman dan sastrawan, adalah kerja-kerja independen dari pemekaran nalar dan imajinasi, yang tak mau terkungkung dan terperangkap dalam kotak-kotak besar, yang kemuduan membangun kotak-kotak kecilnya tersendiri.
Di banyak desa, pertanian lokal semakin produktif saat ini. Tidak sedikit yang mulai memanfaatkan IoT (Internet of Things). Memasarkan produk adalah perkara lain, tentu akan berbeda dengan cara-cara yang kemarin. Seorang penulis juga mesti memiliki tren yang sama, dari produsen ke konsumen langsung. Kalau karya itu bagus, tentu akan langsung ditangkap pasar, nalar dan akal sehat. Juga akan langsung ditanggapi, didialogkan dan diapresiasi oleh penulis-penulis lain. Bagusnya suatu karya sastra dengan sendirinya akan memunculkan orkestrasi. Sebagaimana ungkapan penulis Perasaan Orang Banten dalam cover bukunya: “Sebuah karya yang lahir berdasarkan hati, hanya akan dinikmati oleh pembaca yang punya hati.”
Tak bisa dipungkiri, saat ini teknologi adalah peluang yang akan senantiasa muncul. Pengoperasian teknologi seperti jadi pupuk yang memekarkan benih tanaman, laiknya fotografer produk, operator drone, atau storyteller. Banyak penulis-penulis muda yang akan menampilkan dan menyebarluaskan produk, serta menceritakan produk-produk yang dikenal oleh mereka.
Sebagaimana kinerja Kompas, Sastranesia, Ahmad Tohari’s Web, NU Online, Kawaca, Simalaba, Apajake, Nusantaranews, Litera, Inilahbanten, Alif, Kabar Madura dan banyak media daring dan luring, yang dengan berani dan tak ragu-ragu memperkenalkan novel Pikiran Orang Indonesia kepada khalayak publik di negeri ini. Salam.
Chudori Sukra
Anggota Mufakat Budaya Indonesia (MBI), pengasuh pondok pesantren Riyadlul Fikar, Serang, Banten. Menulis cerpen dan esai di harian Kompas, Republika, Tempo, www.kompas.id, Jurnal Toddoppuli, simalaba.net, kawaca.com, litera.co.id, harianhaluan.com, dan lain-lain
Selengkapnya baca di sini I