Dari lintasan sejarah, bahasa Melayu mulai diketahui keberadaannya sejak penghujung abad ke-7 (Melayu Kuno pada prasasti-prasasti Kerajaan Sriwijaya, Sumatra Selatan) dan lebih banyak ditemukan sejak abad ke-14. Pada varian-varian bahasa Melayu, perlu ditambahkan pula varian bahasa sastra dan ragam istana (Melayu Klasik), yang digunakan antara abd ke-14 sampai ke-19, begitu pula varian-varian daerah bahasa perantara itu yang kini sudah atau nyaris punah (Melayu Jawa).
Menurut JĂŠrĂ´me Samuel, kedudukan bahasa Melayu sebagai bahasa perantara yang penting diketahui untuk memafhumi situasi terkini, kemungkinan berusia amat arkais, karena sejak permulaan abad masehi, populasi tutur Melayu memainkan peran menentukan dalam kelindan hubungan perdagangan antarpulau dan antarkawasan. Kedudukan itu semakin menguat pada masa kejayaan kerajaan-kerajaan maritim di Sumatra Selatan (abad ke-7 hingga ke-13), dan berkat ramainya hubungan perdagangan di kawasan Asia Tenggara pada abad ke-14.
Seiring dengan itu, masuknya agama Islam sejak penghujung abad ke-13, turut mempercepat penyebarluasan bahasa Melayu dan mengangkat wibawanya karena digunakan sebagai sarana utama bagi penyebaran agama baru itu. Islamisasi mengakibatkan termakzulkannya aksara-aksara asal India untuk digantikan huruf Arab-Melayu.
Di Indonesia Timur, islamisasi turut berperan mengantarkan bahasa Melayu sebagai lingua franca di Maluku, kepulauan penghasil rempah-rempah, sejak pertengahan abad ke-15, sebelum kemudian menancap sebagai bahasa vernakular (perantara). Jadi perlu ditekankan, bahwa bahasa Melayu merupakan bahasa perantara utama di bumi Nusantara dan menduduki posisi sama di Asia Tenggara hingga abad ke-17 (Samuel 2008).
Kaum pendatang Eropa selekasnya menyadari betapa pentingnya bahasa Melayu. Mereka pun menggunakannya sebagai bahasa niaga dan diplomatik, dan sedari abad ke-17 sudah melek keberadaan ragam bahasa sastra di samping ragam bahasa perantara, yang mereka golongkan sebagai bahasa Melayu âtinggiâ dan ârendahâ.
Pada abad ke-19, penerapan sistem eksploitasi dan administrasi kolonial mendorong pihak Belanda untuk lebih memperhatikan masalah bahasa. Namun, keengganan para pegawai Belanda untuk mempelajari idiom-idiom liyan di luar bahasa Melayu perantara, ditambah penolakan untuk menyebarluaskan bahasa Belanda di Nusantara setidaknya sebelum permulaan abad ke-20, membuat bahasa Melayu menjadi semakin bena.
Dengan demikian, bahasa Melayu menjadi bahasa resmi kedua di wilayah jajahan Belanda mulai pertengahan abad ke-19, sebelum dikukuhkan secara juridis 60 tahun kemudian, dengan diterimanya bahasa Melayuâtentu dengan pelbagai konsekuensiâdi samping bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar di Volksraad, badan konsultatif yang dibentuk tahun 1918.
Menurut James Sneddon, perkembangan ke arah itu juga tidak lepas dari tuntutan kebutuhan di bidang pendidikan seiring kelahiran sekolah-sekolah dasar untuk kaum pribumi (1849). Sekolah-sekolah itu lantas dibagi menjadi dua jalur, masing-masing mengajarkan dan menggunakan bahasa pengantar yang berbeda. Di jalur pertama adalah bahasa Melayu, di samping bahasa Belanda. Di jalur kedua, berbagai bahasa lokal selain Melayu dapat digunakan sebagai bahasa pengantar, tapi di daerah berbahasa campuran atau berbahasa lokal menyerupai bahasa Melayu, digunakan bahasa Melayu (Sneddon 2003).
Sejak itulah mulai dirasakan betapa perlunya suatu kaidah kebahasaan baku, yang penyusunannya kemudian ditekuni oleh para pegawai pemerintah kolonial selama lebih dari tiga puluh tahun. Kaidah ejaan baku dengan aksara latin pun terwujud pada 1901 dan tata bahasa baku tahun 1910. Kaidah ini merupakan karya penelitian yang dilakukan di Semenanjung Melaya, pesisir timur Sumatra, dan kepulauan Riau yang mengabadikan wilayahnya dalam penamaan bahasa tersebut: âBahasa Melayu Riauâ.
Bahasa ini kelak dikukuhkan kedudukannya melalui sistem pendidikan kolonial, dan juga berkat peran berbagai lembaga khusus yang dibentuk pada permulaan abad ke-20 dalam kerangka âPolitik Etisâ, terutama Komisi Bacaan Rakyat (Commissie Voor de Inlandsche School en Volkslectuur, 1907) yang kelak berubah menjadi Balai Poestaka pada 1917. Komisi ini berperan sebagai penerbit buku karangan (karya sastra, bacaan populer), majalah, sekaligus penyalur (distributor, jaringan perpustakaan) kepada seluruh khalayak pribumi. Semua penerbitan komisi ini ditulis atau diterjemahkan ke dalam bahasa-bahasa pribumi, yang dimulai dari bahasa Melayu (Samuel 2017).
Arkian, pada beberapa dasawarsa terakhir kehadiran Belanda di Indonesia, pemerintah kolonial telah memiliki perangkat tata bahasa, hasil penelitian ilmuwan Belanda berdasarkan cara berpikir Eropa-sentris. Dengan cara berpikir itu, selain membedakan âMelayu tinggiâ (bahasa baku) dan âMelayu rendahâ (bahasa pergaulan), para ilmuwan Belanda juga menggarisbawahi kemajemukan varian-varian Melayu untuk membuktikan betapa sengkarut dan sulitnya merangkul bahasa ini.
Oleh sebab itu, mereka sepakat untuk mengangkat bahasa Melayu Riau, yang sebenarnya bukan bahasa tutur populasi manapun, dan hanya dipergunakan di lingkungan sekolah dan administrasi kolonial. Dengan logika seperti itu pula, mereka pun menafikan varian-varian bahasa Melayu lain, khususnya Melayu Tionghoa yang lebih menginduk pada Melayu Jawa, dan terutama digunakan oleh komunitas Tionghoa setempat.
Dialek Melayu Tionghoa mirip dengan bahasa Melayu perantara, mengawinkan unsur-unsur bahasa Jawa dan Tionghoa Selatan. Gerak perkembangannya sangat dinamis selama paruhan kedua abad ke-19 hingga berakhirnya rezim kolonial, terbukti dari suburnya karya-karya sastra dan pers pribumi (Salmon 2010).
Resistensi Narasi Kebangsaan
Dalam konteks kebahasaan itulah dan di kurun penghujung 1920-an berkembang pergerakan nasional yang mengedepankan pentingnya bahasa. Kebanyakan pemuda nasionalis berasal dari lapisan elite pribumi semasa penjajahan. Mereka menempuh pendidikan di sekolah-sekolah berbahasa Belanda dan fasih menggunakan bahasa itu maupun bahasa daerahnya. Dengan itu, mereka mampu memasuki dua jagat yang berbeda: kolonial (Belanda) dan pribumi. Kebanyakan penduduk tetap menggunakan bahasa lokal, sementara bahasa Melayu perantara ternyata hanya tersebar di kawasan perkotaan.
Tantangan terbesar yang dihadapi para elite pribumi adalah menemukan unsur pemersatu bangsa di luar kehendak utama untuk hidup bersama. Tatkala para pemuda nasionalis berkumpul dalam sebuah kongres pada November 1928, bukan agama Islam ataupun kondisi keterjajahan yang diangkat sebagai faktor pemersatu yang konkret, melainkan bahasa. Hal itulah yang dicetuskan melalui âSumpah Pemudaâ: âKami putra dan putri Indonesia mengaku bertumpah darah yang satu, tanah Indonesiaâ.
âKami putra dan putri Indonesia mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesiaâ. âKami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesiaâ.
Bahasa Jawa, meskipun dituturkan oleh mayoritas penduduk Hindia Belanda, sulit dijadikan âbahasa pemersatuâ yang terlembaga berkat kiprah para aktivis nasionalis. Selain ditolak karena keterbatasan sebagai bahasa perantara, ia juga dianggap âfeodalâ karena tingkat tuturnya. Tambahan pula pemilihan bahasa Jawa akan berisiko mengusung gagasan federasi ataupun konfederasi, yang tentu lebih berterima bagi penguasa kolonial, tetapi tak dikehendaki oleh kaum nasionalis.
Itulah yangâmenurut Benedict Andersonâmelapangkan jalan bagi bahasa Melayu dengan sebutan âbahasa Indonesiaâ yang sejak itu mendapat kekuatan politik. Bahasa Indonesia, sebagai motor penggerak modernitas sekaligus identitas nasional yang tengah bangkit, dijadikan âbahasa tandinganâ menghadapi bahasa Belanda dan bahasa Melayu Riau yang diresmikan penggunaannya oleh pemerintah kolonial (Anderson 1966: 91).
Bahasa Indonesia menjadi varian khas wacana pers kaum nasionalis di era 1930-an, walaupun dari segi linguistik, tidak ada perumusan bahasa Indonesia yang jelas dan tak ada pula perbedaan mencolok dengan bahasa Melayu yang digunakan dalam pers tulis resmi penguasa kolonial.
Titimangsa 1950-an, Sumpah Pemuda dikukuhkan sebagai âmomen pentingâ dalam narasi kebangsaan oleh Mohammad Yamin, penyusun naskah Sumpah Pemuda 1928 dan ideolog rezim Sukarno. Aksi separatis yang ketika itu mengancam keberadaan bayi republik, mendorong pemerintah untuk mengangkat dan mengagungkan Sumpah Pemuda, termasuk butir tentang bahasa, sekaligus mendudukkannya dalam rentang sejarah yang mengaitkan Republik Indonesia dengan kerajaan-kerajaan kuno Sriwijaya dan Majapahit. Rezim Soeharto nyaris tidak mengubah wacana itu kecuali beberapa sampirannya, dan kelak memasukkannya dalam rangkaian hari peringatan nasional yang diselenggarakan setiap tahun.
Kalakian, satu catatan penting yang perlu disoroti dalam wacana itu, baik ketika tahap penyusunan maupun pasca pengukuhannya, adalah penafian sumbangsih pelbagai unsur Melayu-Tionghoa (Tionghoa peranakan), sehingga dalam hal itu, sikap kaum nasionalis sesungguhnya tidak jauh berbeda dengan para pembina bahasa kolonial.
Sejarawan IAIN Palangka Raya. Menulis tiga buku: Tahun-Tahun yang Menentukan Wajah Timur (Yogyakarta: EA Books, 2019), Menyulut Api di Padang Ilalang: Pidato Politik Sukarno di Amuntai 27 Januari 1953 (Yogyakarta: Tanda Baca, 2021), dan Bermula dari Cerita Abah: Pemikiran Islam, Politik Islam, dan Islam Tradisi (Yogyakarta: Tanda Baca, Mei 2022).