Pilarkebangsaan.com – Jika sedang pulang kampung ke Sumenep terutama saat lebaran, hampir pasti saya akan berjumpa atau mengunjungi seseorang atau beberapa orang yang merupakan bagian dari kelompok ini. Sebenarnya mungkin tak tepat juga menyebutnya sebagai “kelompok.” Ini cuma ikatan kekerabatan yang meluas dan terkadang cukup longgar. Tapi ikatan kekerabatan ini memiliki makna sosiologis dan politis sangat penting di Sumenep. Orang (termasuk orang-orang di dalam ikatan kekerabatan itu sendiri) sering menyebutnya sebagai Bani Syarqawi.
Ini adalah nickname yang kadangkala digunakan untuk merujuk sebuah kelompok elit politik berbasis pesantren yang sangat kuat di Sumenep, dan mendominasi politik dan pemerintahan di kota kecil ini sejak lama, terlebih lagi pasca reformasi politik tahun 1998.
Nama Bani Syarqawi mengacu pada kalangan yang memiliki ikatan genealogis pada seorang tokoh ulama penting yang hidup di Sumenep pada abad ke-19 bernama Kiai Syarqawi. Namun, meski agak jarang, istilah itu kadang juga mengacu pada mereka yang memiliki kaitan pendidikan atau hubungan guru-murid dengan jejaring pesantren yang terkait dengan Kiai Syarqawi.
Sentra jejaring ini adalah sebuah pesantren besar bernama Annuqayah yang terletak di desa Luk-Guluk (kadang ditulis sebagai Guluk-Guluk, namun pelafalan yang lazim menurut kaidah bahasa Madura adalah Luk-Guluk).
Pesantren ini memiliki sejarah panjang. Ia dimulai dengan sebuah kejadian yang nyaris tanpa sengaja.
Suatu ketika, seorang ulama dan pedagang dari Parenduan, sebuah desa di pesisir selatan Sumenep, pergi ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji bersama istrinya. Namanya Kiai Gemma (begitu orang biasa menyebutnya).
Dalam perjalanan di kapal laut, ulama ini berkenalan dengan seorang ulama lain yang lebih muda, berasal dari kota Kudus. Ulama Parenduan ini sangat terkesan dan segera menjadi sangat dekat dengan si ulama muda dari Kudus.
Ketika berada di tanah suci, si ulama asal Parenduan jatuh sakit. Ia merasa ajalnya sudah dekat, sehingga berpesanlah ia pada kawan barunya dari Kudus itu, agar si kawan bersedia menikahi istrinya jika Allah berkenan memanggil-nya pulang saat berada di tanah suci. Ketika Kiai Gemma, meninggal, maka Mohammad Syarqawi, si ulama muda asal Kudus itu, menikahi jandanya pasca ‘iddah dan kemudian turut pulang ke Parenduan.
Di desa inilah Kiai Syarqawi mendirikan sebuah pesantren kecil untuk memulai kegiatan dakwah dan pendidikan keagamaan. Tak lama berada di sana ia sudah dikenal sebagai ulama yang handal.
Namun, beberapa tekanan sosial sedikit memaksa Kiai Syarqawi untuk memikirkan relokasi pesantrennya. Ia kemudian memutuskan untuk pindah ke arah utara, ke desa Luk-guluk. Pesantrennya di Parenduan kemudian dilanjutkan oleh Kiai Chotib, dan kelak akan berkembang menjadi pesantren modern Al Amin (yang menerapkan manajemen dan metode serupa di Gontor).
Di Luk-guluk kiai Syarqawi memulai sebuah pesantren di area bekas sebuah kandang kuda. Catatan tertulis menyebutkan bahwa Kiai Syarqawi mendirikan pesantren ini pada tahun 1887. Di sini pulalah ia memulai sebuah network genealogis penting. Tapi mohon maaf, network genalogis penting ini turut dimungkinkan oleh poligami.
Kiai Syarqawi memiliki sejumlah istri. Beberapa sumber menyebutkan ia memiliki total 6 istri–istri kelima dan keenam dinikahi setelah dua istrinya yang pertama meninggal. Catatan silsilahnya menyebutkan Kiai Syarqawi memiliki 25 orang putra dan putri, baik di Kudus (dari istri pertamanya) maupun di Sumenep.
Keturunan yang di Sumenep itulah yang sejak awal abad ke-20 mulai membangun jejaring elit ulama di kota kecil ini, berpusat di pesantren kiai Syarqawi yang tak lama kemudian berkembang menjadi sebuah compound yang terdiri dari beberapa sub-pesantren. Ketika kiai Syarqawi meninggal pada tahun 1910, pimpinan pesantren ini dilanjutkan oleh putra-putranya, kiai Bukhori dan kiai Idris. Saat itu beberapa putra-nya yang lain masih menempuh pendidikan di berbagai pesantren di Jawa, Madura, dan Timur Tengah.
Tahun 1920an, sejumlah putra almarhum kiai Syarqawi pulang ke Luk-guluk usai menyelesaikan pendidikan. Masing-masing kemudian membangun pesantren sendiri dalam compound warisan sang ayah.
Kiai Ilyas mendirikan pesantren di area yang kini dikenal sebagai Lubangsa, berdekatan dengan area asli pesantren kiai Syarqawi yang disebut sebagai Dhalem Tenga (=Gedung Tengah). Kiai Abdullah Sajjad kemudian mendirikan pesantrennya sendiri di area yang kini dikenal sebagai Latee. Sementara itu seorang menantu (yang sekaligus dulunya adalah santri) kiai Syarqawi bernama kiai Hussaini mendirikan pesantren di area yang berdekatan namun tak lagi termasuk dalam compound inti kiai Syarqawi, yakni pesantren Al Furqan di Sabajarin.
Pada pertengahan tahun 1930-an terjadi beberapa perkembangan penting terhadap pesantren-pesantren ini. Perkembangan utama adalah mulai dibentuknya lembaga konfederasi terhadap pesantren-pesantren Lubangsa, Al Furqan dan Latee, yang diberi nama Annuqayah. Nama ini diambil dari judul sebuah kitab karya Jalaluddin al Suyuti yang berisikan 14 bab tentang ilmu pengetahuan.
Perkembangan lain yang juga penting adalah mulai digunakannya sistem madrasi untuk melengkapi sistem sorogan dan wetonan yang sudah digunakan sejak era kiai Syarqawi. Sistem madrasi ini diperkenalkan oleh kiai Khazin, putra kiai Ilyas.
Pada awal tahun 1960-an, kiai Hasan Bashri, salah seorang menantu kiai Ilyas, menambahkan lagi satu pesantren terhadap konfederasi Annuqayah ini. Pesantren ini didirikan di area yang kini dikenal sebagai Nirmala. Sedikit berbeda dari keluarga besar kiai Syarqawi, kiai Hasan Bashri adalah ulama yang memiliki visi terbuka tentang mazhab fiqh, dan tidak secara khusus menganggap mazhab Syafii lebih superior dibandingkan mazhab lainnya.
Beberapa tahun setelah Nirmala, kiai Ishomuddin, putra kiai Abdullah Sajjad mendirikan satu lagi pesantren, sementara kakaknya kiai Basyir meneruskan kepemimpinan di Latee. Banyak orang mengenal nama Prof. Abdul A’la, mantan Rektor UIN Sunan Ampel yang kolumnis. Dia adalah putra kiai Basyir.
Di luar kelima pesantren dalam sentra jaringan putra-putra kiai Syarqawi ini, sejumlah pesantren lain juga didirikan baik oleh menantunya, maupun mantan murid-muridnya, dengan tetap menjaga afiliasi sosial kepada Annuqayah. Ini turut menguatkan jejaring sekaligus kompetisi di antara kelompok elit agama yang kian lama kian besar ini.
Dari generasi pertama, salah satu menantu kiai Syarqawi bernama kiai Imam merupakan akar dari salah satu ekstensi jejaring Bani Syarqawi. Putri kiai Imam menikah dengan kiai Ali Wafa yang memiliki pesantren di sebuah desa pesisir utara bernama Ambunten. Kelak pesantren ini (sekarang bernama Al Aswaja) menjadi sangat penting secara sosial dan politik, sebab sebagian besar santri dan jaringan sosialnya menyebar di area kepulauan Sumenep. Cucu kiai Ali Wafa saat ini belakangan pernah menjabat sebagai Ketua PKB di Sumenep dan aktif di DPRD maupun DPR RI.
Dari generasi kedua, putri kiai Ilyas menikah dengan kiai Siradjudin yang mendirikan pesantren Nurul Islam di Bluto, sebuah desa ke arah selatan Luk-Guluk. Pimpinan pesantren Nurul Islam, putra kiai Siradjudin bernama kiai Ramdlan, Bupati Sumenep tahun 2000-2010.
Di DPRD sejumlah cucu kiai Syarqawi juga memainkan peran penting. Tokoh paling menonjol, dengan karier politik paling panjang, adalah pernah Warits Ilyas (Allah yarham) yang pernah menjadi anggota MPR dan kini memegang jabatan sebagai Wakil Ketua DPRD Sumenep. Ulama dan politisi senior ini kerap menunjukkan kualitas-nya sebagai playmaker politik handal.
Hingga hari ini Bani Syarqawi, terus memainkan peran sebagai elit berbasis agama yang tak ragu untuk mentransformasi diri menjadi elit politik bila diperlukan.