Kalau ada orang terpengaruh ideologi ekstremis karena memang punya bakat atau horizon garis keras, maka itu adalah biasa. Tapi kali ini berbeda. Semula, Kristianto rajin menyimak pangajian KH Anwar Zahid yang terkenal kocak. Belakangan, Kristianto justru nampak khusyuk dengan kajian tentang khilafah hingga memutuskan bergabung dengan salah satu kelompok ekstrem, Jama’ah Ansharut Daulah (JAD).
Bagaimana dengan latar belakang keluarga?
Kristianto berasal dari keluarga yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan kelompok garis keras. Ibunya adalah penganut aliran kepercayaan. Ayahnya adalah seorang kejawen. Lebih dari itu, Kristianto mengaku jika agama Islam yang dia anut merupakan pilihan sadar, alih-alih warisan.
“Bapak pernah bilang, ‘Le, kowe arep melu agama opo? Nek Katolik utowo Kristen kui ning gerejo, Hindu ning puro, nek Islam ning masjid. Sak karepmu’,” ujar Kristianto meniru ucapan sang ayah. (Nak, kamu mau ikut agama apa? Kalau Katolik atau Kristen ibadahnya gereja, Hindu di pura, kalau Islam di masjid. Kamu sendiri yang memutuskan).
Meski begitu, Kristianto menyebut jika status agama yang dia anut itu tidak lepas dari jasa teman-teman sepermainannya.
“Karena di lingkungan saya banyak yang Muslim, saya ke masjid. Ke masjid pun awalnya ikut-ikutan,” ujarnya.
Menariknya, orang tua Kristianto tidak menunjukkan tanda-tanda resisten dan, sebaliknya, malah mendukung pilihan anaknya.
“Karena melihat anaknya suka ke masjid, bapak membuatkan padasan dari tong untuk berwudhu. Padahal kedua orang tua saya tidak sholat, meskipun di kolom KTP tertulis Islam. Emak saya, kalau ada hujan, membaca mantra Jawa,” ujar Kristianto.
Saat masih kanak-kanak, Kristianto lebih senang berada di luar rumah dan baru pulang ketika malam hari. Sang bapak tidak keberatan dengan sikap dirinya, tapi menyampaikan pesan agar tidak berbuat nakal.
“Le, ojo aneh-aneh. Wong tuo bakal melu katut. Wong tuo rak ngerti opo-opo, nek anake mbeling. Paling koe ditakono anake sopo toh?” kenang Kristianto menirukan bapaknya. (Nak, kamu jangan nakal, ya. Orang tua pasti ikutan kena getahnya kalau anaknya nakal, padahal gak ngerti apa-apa. Ujung-ujungnya, kamu paling ditanya “anaknya siapa?” sama orang).
Kristianto pun mengikuti nasihat bapaknya. “Saya tidak suka bertengkar, minum pun tidak suka.”
Pindah ke Madura
Pendidikan dasar Kristianto khatam di SDN 1 Wiropaten. Di saat yang sama, dia sebetulnya juga belajar di Madrasah Al-Fajar pada sore harinya. Namun, di madrasah dia angin-anginan. Terkadang ia masuk kelas, dan kadang tidak. “Kalau ada iming-iming, ‘nanti dapet buku’, saya datang.” Akhirnya, di SD ia lulus, sementara di madrasah tidak.
Setelah menjalani masa kanak-kanak hingga tamat sekolah dasar, Kristianto pindah ke Madura, ikut kakak sepupunya. Kepindahan itu atas keinginan bapaknya yang berprofesi sebagai pengayuh becak yang tetap ingin anaknya bersekolah.
“Ikut kakakmu,” ujar bapaknya kepada Kristianto.
Di Madura, Kristianto memiliki kakak sepupu perempuan yang usianya lebih tua lima tahun dengan sikap beragama yang sama dengan bapaknya, yaitu kejawen. Ia tinggal di Perumnas Kamal, Kecamatan Kamal, Kabupaten Bangkalan. Kristianto melanjutkan sekolah di SMPN 1 Kamal.
“Saya bersyukur bisa sekolah di Madura. Belajar agama di sekolah dan dari orang-orang Madura yang agamis,” ujar Kristianto. Saat di Madura ia mengaku bisa melafalkan bacaan shalat dan shalatnya mulai tertata.
Menurut dia, belajar agama di Madura sudah seperti sebuah kewajiban. Bahkan, kalau nilai pelajaran agama jelek, ia bakal diomeli oleh guru dan diperingatkan bisa tidak lulus. Praktik ibadah merupakan keharusan. Jumatan juga wajib di sekolah.
“Pada akhirnya saya membiasakan diri. Kalau tidak sholat bingung, kok ada yang kurang. Saya mulai terikat. Hingga merasa ibadah seperti kebutuhan,” ujar Kristianto.
Kembali ke Solo Lalu ke Jakarta
Setelah tiga tahun menamatkan SMP di Madura, Kristianto kembali ke Solo, ikut orang tua, dan bersekolah di SMEA 1 Cokroaminoto, jurusan akuntansi. Kristianto memilih akuntansi ketimbang manajemen karena dia suka pembukuan.
“Dulu ingin sukses, punya usaha, jadi direktur, angan-angan,” ujarnya sambil tertawa.
Setelah lulus SMEA pada 1997, Kristianto berniat merantau ke Jakarta. “Dalam hati saya kepingin kerja di Jakarta, tapi tidak punya koneksi, kurang bergaul.”
Suatu waktu, Pak Dikin, tetangga yang sudah ia anggap sebagai saudara datang bawa tas, lalu Kristianto bertanya, “mau kemana, Pak?”
“Ke Jakarta. Kerja,” jawab Pak Dikin.
Keinginan Kristianto pun menemukan momentumnya. Sore itu juga ia berangkat bersama Pak Dikin ke Jakarta. Di sana ia bekerja di sebuah optik di Duren Tiga, Jakarta Selatan, milik seorang pengusaha keturunan Arab asal Solo.
“Selama bekerja di Jakarta, saya tidur di toko,” kisah Kristianto.
Setelah enam bulan di Jakarta, ia lalu kembali ke Solo. “Di Solo saya bekerja di Pasar Klewer, di kios sepatu sandal milik orang Arab. Setelah itu, saya berjualan es teh pinggir jalan dan pernah pula berjualan jagung bakar.”
Terjerat Narkoba Sebelum Menikah
Saat itu, Kristianto berniat ingin menikah. Tapi, ia belum bertemu jodohnya. Ini berlangsung hampir setahun. Di penghunjung 1998, ia kembali bertemu dengan Pak Dikin. “Mau kemana?” tanya Kristianto.
“Surabaya,” jawab Pak Dikin ringkas.
Malam itu bertemu, malam itu pula berangkat ke Surabaya. Di Surabaya, kristianto bekerja di klinik pengobatan mata dan wasir milik seorang pungusaha asal Pakistan di Jalan Kapas Kerampung, Kenjeran, Kecamatan Tambaksari, Kota Surabaya.
Sayangnya, di Kota Pahlawan itu Kristianto terjebak dalam lingkungan yang membuatnya bergantung pada obat-obatan terlarang. Dan, ini terjadi bukan dari lingkungan yang jauh, tapi di klinik itu sendiri. Bersama rekan-rekannya, termasuk sang bos, Kristianto bermain judi dan mengonsumsi narkoba. Meski begitu, dia mengaku masih tetap shalat di awal-awal, tapi lama-kelamaan meninggalkan shalat.
“Saya mengonsumsi shabu, sampe badan kurus. Lama-kelamaan, saya stres,” ujarnya.
Lalu, kepada dirinya sendiri Kristianto bertanya, “Apa sih yang saya cari?” Beruntung, ketika itu ia punya teman warga setempat yang sering main ke klinik. “Waktu saya curhat, jawabannya bagus.”
Kristanto curhat: “Capek nih.”
“Rabiyo! (Nikahlah!)” sahut temannya.
“Kui masalahe. Arep rabi karo sopo? (menikah dengan siapa?)” tukas kristianto. Saat itu, dia belum punya rencana menikah karena memang tidak punya teman wanita.
Rekannya lalu meneguhkan, “ya sholato, tahajud!”
Sejurus kemudian Kristianto merasa bawah Allah yang menuntun rekannya itu untuk menasihati dirinya. “Teman saya itu asli Madura. Pernah bekerja di diskotek Kwaloon, Surabaya.”
Atas nasihat rekannya itu, Kristianto mulai menjaga diri dari konsumsi narkoba, lalu menggiatkan shalat tahajud. Dan, gayung bersambut. Doa serta harapan yang dipanjatkan saban sepertiga malam itu menemui titik terang. Kronologinya, lewat seorang teman perempuan yang dikenal saat SMP, Kristianto berkenalan dengan Sri Winarti, perempuan yang kelak menjadi istri.
“Saya awalnya bercanda ke temen SMP saya saat liburan ke Madura. Saya bilang “golekno aku pacar to” (carikan aku pacar dong),” kisahnya.
Lalu, seminggu setelah mendapat siraman ruhani dari temannya yang pernah kerja di diskotek, ada panggilan telefon masuk. Ternyata teman SMP Kristanto yang saat itu sudah pindah ke Malang menelepon.
Tahu bahwa teman SMP-nya berada di Malang, Kristianto bilang, “Jarene arek Malang ayu-ayu (katanya orang Malang cantik-cantik),” canda Kristanto.
“Katanya cari pacar. Ini ada temanku yang mau kenalan,” balas teman SMP Kristianto.
Walhasil, bertemulah Kristianto dengan Sri Winarti, wanita asal Sidoarjo yang kuliah program D3 di sebuah perguruan tinggi di Malang dan memiliki usaha rental komputer. Awalnya Kristianto mengaku sempat enggan bertemu dan berkenalan dengan calon istrinya, karena ia belum lama lepas dari narkoba. Tapi keengganan itu akhirnya kalah dengan tekad Kristianto yang berniat ingin segera berubah menjadi lebih baik.
Pada 2001 Kristianto-Sri Winarti menikah. Setelah menikah, bersama Sri Winarti, Kristianto tinggal di Malang mengelola usaha rental komputer. Selain usaha rental komputer, ia juga pernah membuka usaha warung internet (warnet).
Penasaran dengan Aksi Pengeboman
Saat mengelola usaha warnet, Kristianto belum memahami dinamika dan peta geopolitik dunia Islam. Kala itu, ia menggemari video ceramah KH Anwar Zahid yang lucu.
“Saya dulu benci jenggot dan celana cingkrang. Waktu itu saya gak mau terkotak-kotak,” ujar Kristianto.
Tapi situasi itu kemudian berbalik. Beberapa tahun sebelum bergabung dengan Jamaah Anshorud Daulah (JAD), Kristianto memiliki sikap anti pemerintah. Bagi dia, pemerintah itu penuh korupsi dan ketidakadilan. Trust issue kepada pemerintah itu kemudian disponsori oleh sejumlah peristiwa pengeboman atasnama agama. Kristianto pun penasaran, ingin mengetahui apa alasan orang melakukan aksi pengeboman. Ia pun mencari dan mengakses informasi itu melalui internet.
Rasa ingin tahu Kristianto memuncak ketika terjadi krisis di Timur Tengah, utamanya saat Islamic State in Irak and Syiria (ISIS) mendeklarasikan berdirinya kekhilafahan Islam pada Juni 2014. “Saat 2014 itu, saya sudah googling.”
Kristianto mengaku semakin penasaran waktu di Malang ada acara deklarasi khilafah. “Apa sih?” pikirnya kata itu. Ia pun mencari tempatnya, tapi tidak menjumpai. Ia tahu bahwa saat itu belum ada JAD. Yang ada hanyalah FPI, MMI, Al-Muhajirin, dan NII. Organisasi-organisasi tersebut kemudian sepakat bergabung di JAD.
Mengikuti Kajian Aman Abdurrahman
Kristianto mengaku bilamana perkenalannya dengan JAD berawal dari kajian agama. Saat itu putri pertamanya belajar di Pesantren al-Ikhlas, asuhan Ustadz Faiz (alm). Di pesantren tersebut, Kristianto pun bertemu dengan orang bernama Ustadz Romli, yang kebetulan di pesantren itu pula putri Ustadz Romli belajar.
“Ketika deklarasi khilafah tahun 2014 itu, saya belum kenal dekat dengan Ustadz Romli,” ujar Kristianto.
Setelah berkenalan dengan Ustadz Romli, Kristianto semakin intens mengikuti kajian agama dan main ke rumah Ustadz Romli. “Saya penasaran dan ingin tahu. Waktu itu belum banyak orang. Baru ada empat orang, kadang di tempat Pak Romli, kadang di tempat saya.”
Ustadz Romli, cerita Kristianto, sebelumnya sudah ikut pengajian online al-Muhajirin yang pengajarnya adalah Ustadz Aman Abdurrahman. Kristianto pun mulai aktif dan mengikuti i’dad fisik dan i’dad imani, sekaligus mengikuti dauroh-dauroh (pelatihan-pelatihan) dan halaqah. Dia mengaku pertama kali ikut i’dad fisik di Gunung Panderman, di Batu, Malang. Itu pun hanya ikut i’dad fisik dan bukan tadrib askari.
“Kalo tadrib itu untuk askariah (militer). Untuk umum, i’dad saja. Untuk dakwah beda lagi. Ada tadribnya sendiri untuk masalah keilmuan.” Ujarnya.
Meski begitu, Kristianto mengatakan jika ia sempat ditunjuk menjadi anggota askari. Tapi tawaran itu dia tolak. “Naik gunung saja napasnya pedot.”
Cerita Amir JAD
14 Januari 2016, Jalan Sarinah, Tamrin, Jakarta ricuh. Terjadi pengeboman di sana. Dari peristiwa itu merembet ke mana-mana, banyak penangkapan, termasuk anggota JAD di Malang. “Anggota JAD Malang yang dibawa enam orang, termasuk Pak Romli. Ada satu yang dibebaskan karena orang baru. Terus kosong,” ujar Kristianto.
Setelah kosong, Abu Umar Blitar, amir (ketua) JAD Jawa Timur, mengangkat Kristianto untuk menjadi amir JAD Malang. Suatu hari Abu Umar datang ke tempat Kristianto. “Ikut saya ke Probolinggo,” ajak Abu Umar.
Kebteluan, di Probolinggo ada acara pertemuan JAD se-Jawa Timur. Dan, saat acara itulah Kristianto ditunjuk menjadi amir JAD Malang. Meski ia menolak, akhirnya menerima karena alasan tidak ada anggota yang lain kecuali Kristianto.
Setelah menjadi amir, Kristianto kembali ke Malang. Ia melakukan aktivitas seperti biasa, menjual tahu frozen sebagai ikhtiar untuk menyambung hidup. Ia juga mengelola taman baca Al-Quran. Sementara itu, JAD Malang memiliki sejumlah program, di antaranya membangun ekonomi keluarga anggota yang ditangkap.
“Memberdayakan umahat (para istri) agar punya usaha sendiri. Melakukan pelatihan bekam. yang bisa mengajari yang belum bisa,” ujar Kristianto. “Dapat uang bisa untuk diri sendiri dan untuk membantu yang lain.”
Meski begitu, Kristianto menjelaskan bahwa pilihan mendirikan usaha itu dilakukan karena sulit mendapatkan peluang bekerja. Tapi, program tersebut belum sempat berjalan.
Duh, Abu Halim!
Mei 2018, serangkaian aksi teror bom meledak di Surabaya. Sasaran utamanya adalah gereja. Kristianto kenal dengan salah seorang pelaku yang biasa sapa Abu Halim bersama anak dan istrinya. Ia mengenal Abu Halim saat ada acara di Surabaya. “Semula saya tidak percaya. Ah, bukan. Besoknya saya ke warnet melihat foto pelaku. Duh, Abu Halim.”
Polisi kemudian melacak orang-orang yang terkait dengan pengeboman gereja di Surabaya itu. Amir-amir semua ditangkap karena dianggap ikut bertanggung jawab secara struktur atas kejadian bom Surabaya. Polisi bilang, “sebelum terjadi lagi, ditangkap dulu. Kamu nanti dijadikan pengantin.”
Saat itu, Kristianto berseloroh, “alhamdulillah, kalo ada perempuan baru.”
Selain kenal dengan Abu Halim, Kristianto juga kenal dengan Budi Satria, anggota JAD asal Surabaya yang ditembak mati oleh polisi. Kristianto mengenal sosok Abu Halim sebagai seorang amir Surabaya yang memiliki sikap keras.
Kristianto ditangkap pada hari Selasa. Saat itu ia hendak mengantar pesanan tahu ke pemilik warnet langganannya. Selain membawa tahu, ia juga membawa kurma dan madu karena saat itu hendak memasuki bulan Ramadhan.
“Jam 9-an pagi saya keluar rumah, pamit sama istri. Suasana sepi,” ujar Kristianto. Saat di pertigaan jalan ia ditangkap. “Saya sempat melawan, lalu tulang rusuk saya dipukul.” Pukulan ke tulang rusuk itu membuat Kristianto lumpuh tak berkutik.
Setelah penangkapan, ia dibawa ke Polres Malang lalu ke Mako Brimob Malang. “Mata saya ditutup lakban.” Setelah itu, ia dibawa ke Mako Brimob Surabaya untuk dilakukan penyidikan.
Cipinang Memberi Kesadaran
Status sebagai anggota JAD sejak 2014, mengikuti dauroh (pelatihan) dan halaqoh (pertemuan), pernah baiat kepada pemimpin ISIS Abu Bakar al-Baghdadi, serta statusnya sebagai amir JAD Malang, itu semua membuat Pengadilan memvonis Kristianto dengan hukuman penjara tiga tahun emam bulan.
Menurut Kristianto, para ikhwan di JAD pinya pemikiran yang berbeda-beda. “Ada yang punya pemikiran pokoknya aku mau hijrah, tidak mau di sini, apalagi melakukan teror. Ada juga yang berpemikiran, di sini sudah negeri perang, dengan mencontoh ketika Andalusia jatuh, wajib qital.”
Kesadaran Kristianto muncul saat ia berada di Lapas Cipinang. Ia banyak belajar dari rekan sesama ikhwan. “Saya ketemu pertama kali dengan seseorang, pasti baiknya doang. Jika ingin tahu semuanya, duduklah bareng,” ujar Kristianto.
Mula-mula, ia bersikap keras. “Di dekat saya ada lambang garuda Pancasila. Gak mau saya. Terus ada petugas meminta saya membaca Pancasila pun saya tolak dan meninggalkan tempat tersebut.”
Setelah sekian lama hidup satu kamar, satu blok, ia melihat baik-buruk sesama ikhwan. Ada kebaikan yang bisa ia teladani. Ada keburukan yang membuka sifat kemanusiaan rekannya.
“Masalah makanan atau air minum sama saudara sendiri berantem, gak sabar. Kalau cita-citanya bagus, lurus, gak begini. Di penjara ya terima, diam, mengaji, gak perlu meributkan yang aneh-aneh,” ujar Kristianto
“Ada yang bilang gak boleh baik sama sipir. Ada pula yang pinjam hape sama sipir untuk menelepon keluarga,” lanjutnya.
Di penjara, Kristianto satu kamar dengan para amir, termasuk dengan Abu Umar, amir JAD Jawa Timur. “Abu Umar belum NKRI, tapi sudah lunak, bisa diajak ngobrol.”
Ia juga terkesan dengan sosok rekannya yang pernah satu kamar yang ia kira keras, yakni Irfan asal Probolinggo. Setelah mengobrol, Kristianto merasa Irfan layak menjadi teman diskusi. Saat para ikhwan mendapat buku dari BNPT, ada yang tidak mau baca, menyobek, membuang, atau membakar, tapi ia dan Irfan menyimpan untuk dibaca. “Meski ada yang bilang, jangan dibaca, nanti terpengaruh. Tapi, pikiran saya saat ini, kalau pengaruh baik, ya tidak apa-apa.”
Saat membaca buku dan menemukan hal-hal penting, Kristianto mencatatnya. Saat ada yang berpandangan bahwa thogut digambarkan seperti sikap raja firaun, maka ia bertanya-tanya dalam hatinya, “apakah Presiden mengaku dirinya sebagai tuhan?”
Saat ada tawaran menjadi justice collaborator (JC), Kristianto bertanya maksud di balik itu semua. “Apakah menjadi mata-mata?” Jika itu yang dimaksud, ia merasa tidak mungkin dirinya menjadi JC karena semua rekannya sudah tertangkap; apa yang mau dibongkar.
Tapi, saat disidik, Kristianto cukup kooperatif dan menjawab tidak bertele-tele. Akhirnya, permohonan JC-nya disetujui, dan mengurangi masa hukumannya. Selain JC, pengajuan pembebasan bersyarat (PB)-nya pun disetujui. Akhirnya, dari vonis 3,5 tahun, ia menjalani hukuman 2,5 tahun.
Berwirausaha Sembari Berliterasi
Setelah bebas pada November 2020, Kristianto memilih tinggal di Sukoharjo dengan aktivitas wirausaha siomay. Selain membina keluarga bersama Sri Winarti yang sudah dikaruniai tiga orang buah hati, yakni Farah Hasanah Kristianto, Syafira Zarifa Kristianto, dan Shobri Mursayi, Kristianto menikah lagi membina rumah tangga dengan Yulianti, pada 2020.
Pada awalnya, ia lebih sering tinggal di desa Siwal, Sukoharjo, bersama Sri Winarti. Tapi, karena Sri Winarti sudah mandiri, ia pun lebih sering tinggal bersama Yulianti di dusun Krampakan, kelurahan Mayang Kartasura, Sukoharjo.
Kini hari-harinya yang dilalui berjualan keliling menjajakan ‘siomay literasi‘, Kristanto bertekad untuk mengisi hidupnya dengan pengabdian. Walau hanya semampu yang dia bisa lakukan, hidup hanya sekali dan harus berati, setelah itu mati.
Keterlibatan Kristanto dalam jaringan literasi Rumah Daulat Buku (Rudalku) membuatnya kembali merasakan bahwa hidup ini lebih bermakna. Dia sadar inilah ladang jihad barunya untuk bertekun menghidupi keluarganya seraya menumpahkan potensi semampunya untuk menjadi orang yang bermanfaat bagi sesama. Ia berpandangan, bahwa dengan membaca orang bisa tercerahkan.
Ya, menjadi “ikhwan rudaller” (sapaan untuk ikhwan yang bergabung bersama Rudalku) memberikan pengalaman baru bagi dirinya. “Meski saya bukan orang yang berilmu, tapi dari pengalaman itu bisa berguna untuk banyak orang.” [AK]
Selengkapnya baca di sini I