Salah satu cara untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang telah terreduksinya kedaulatan atau bahkan hilangnya kedaulatan territorial akibat perkembangan globalisasi perekonomian dunia tersebut menurut Kenichi Ohmae dalam The End of The Nation State (hancurnya Negara bangsa) adalah dengan mengamati pengaruh dari apa yang disebut 4 “I” yang menentukan.
Pertama, pasar modal di sebagian besar negara maju adalah sama dengan kelebihan dana untuk investasi. Masalahnya adalah bahwa kesempatan-kesempatan investasi yang menjanjikan dan sangat sesuai seringkali tidak bisa ditemukan pada wilayah yang sama di mana uang ini ada. Karena itulah, pasar-pasar modal dikembangkan sebagai sebuah varietas mekanisme yang luas untuk memindahkan trilyunan dana simpanan itu melampaui batas-batas nasional. Oleh karena itu, investasi “I” pertama tidak lagi dibatasi secara geografis. Kini, di mana pun kita tinggal di dunia, kesempatan itu ada, sangat menarik, dan uang akan terus masuk.
“I” kedua, industri juga jauh lebih global dalam orientasi sekarang ketimbang orientasinya satu dasawarsa yang lalu. pada masa lalu, kepentingan dari pemerintahan jelas menjadi persoalan. Perusahaan harus melakukan banyak kesepakatan degan banyak pemerintah untuk memasarkan berbagai sumber daya dan keterampilan untuk ditukarkan agar bisa memperoleh akses istimewa kepasar-pasar lokal. Ini juga telah berubah. Strategi-strategi berbagai perusahaan multinasional modern tidak lagi dibentuk dan dikondisikan oleh alasan-alasan bangsa, tetapi lebih oleh hasrat dan kebutuhan untuk melayani pasar-pasar yang atraktif di manapun mereka berada dan untuk menguras berbagai sumber daya di manapun adanya. Subsidi-subsidi yang dibiayai pemerintah dan pajak gaya lama sudah hancur karena investasi di tempat ini tidak lagi relevan sebagai suatu kriteria keputusan.
Gerakan investasi dan industri telah lama difasilitasi oleh“I” yang ketiga, teknologi informasi hingga kini memungkinkan sebuah perusahaan untuk beroperasi di berbagai belahan dunia tanpa harus membangun seluruh sistem bisnis di tiap-tiap negara di mana ia memiliki perwakilan. Para insinyur di suatu Negara dapat dengan mudah mengontrol operasi-operasi penanaman di bagian wilayah Negara lain. Para perancang produk di suatu negara bisa mengontrol berbagai aktivitas sebuah jaringan perusahaan di Negara lain. Oleh karenanya, kendala-kendala untuk partisipasi lintas batas dan aliansi strategis menjadi sangat menurun. Para tenaga ahli tidak harus ditransfer, tenaga kerja tidak harus dilatih. Kapabilitas terdapat pada jaringan itu dan bisa diperoleh kapanpun secara virtual di manapun sesuai dengan yang dibutuhkan.
Akhirnya, para konsumen individual “I” keempat juga telah memiliki orientasi lebih global. Dengan akses informasi yang lebih baik mengenai gaya hidup di seluruh belahan dunia, keingian membeli mereka tidak lagi dikondisikan oleh larangan-larangan pemerintah untuk membeli produk-produk Amerika atau Perancis atau Jepang misalnya hanya karena asosiasi-asosiasi dagang nasional mereka supaya tidak tersaingi. Para konsumer semakin menginginkan produk-roduk yang terbaik dan termurah, tidak masalah dari mana asalnya produk tersebut. Secara bersamaan, mobilitas empat I ini, sangat memungkinkan unit-unit ekonomi di banyak belahan dunia untuk mendapatkan apa pun yang dibutuhkan demi pembangunan. Mereka tidak harus mencari bantuan hanya untuk menggali sumber daya yang dekat dengan mereka. Mereka juga tidak harus mengandalkan upaya-upaya formal dari pemerintah untuk menarik berbagai sumber daya dari mana saja dan menyalurkannya kepada para pengguna akhir. Hal ini membuat fungsi kelompok “klas-menengah” tradisional dari banyak negara bangsa dan pemerintahan-pemerintahan mereka menjadi semakin tidak penting. Oleh karena pasar global berlaku untuk semuanya, maka keempat “I” itu bekerja sesuai dengan pasar mereka sendiri, negara bangsa tidak lagi harus memainkan peran sebagai pembuat pasar (market making role).[3]
Dari pemikiran Ohmae diatas, terlihat bahwa kecenderungan menurunnya peran Negara sebagai akibat proses globalisasi, Negara telah kehilangan ruh penentu kebijakan sentral bagi pelaku-pelaku ekonominya, termasuk didalamnya kehilangan kemampuan untuk menjaga wilayah teritorialnya dari serbuan produk-produk asing. Pesan moral yang paling penting dalam merespon globalisme ini sebenarnya bukan pada tataran setuju atau tidak setuju, tetapi lebih pada bagaimana mempersiapkan segenap warga Negara untuk menghadapi ujud globalisasi ini tanpa harus menggadaikan kedaulatan ideology, politik, ekonomi, social budaya dan territorial dalam konteks pertahanan keamanan. Kementerian Pertahanan (Kemhan) adalah instansi pemerintah yang bertanggung jawab di bidang penyelenggaraan Pertahanan Negara. Oleh karena itu Kemhan bertugas untuk menyiapkan rumusan Kebijakan Umum Pertahanan Negara dan menetapkan Kebijakan Penyelenggaraan Pertahanan Negara. Salah satu tantangan yang dihadapi oleh Kementerian Pertahanan saat ini dan beberapa tahun ke depan adalah perlunya meningkatkan kesadaran bela negara bagi setiap warga negara, melalui pendidikan dan latihan bela negara sambil secara pararel membahas dalam Program legislasi nasional DPR tahun 2015-2019 utamanya mengenai rancangan undang-undang Tentang Pengelolaan Sumber Daya Nasional Pertahanan.[4]
Kita yakin disahkannya RUU tentang pengelolaan Sumber Daya Nasional Pertahanan menjadi undang-undang hanyalah soal waktu, karena hal bela negara memang telah diamanatkan oleh UUD 1945 pada pasal 27 ayat 3, bahwa setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara.
Hal tersebut mengandung pemahaman bahwa dalam penyelenggaraan pertahanan negara Kementerian Pertahanan akan mengawal setiap warga negara dalam menggunakan hak dan kewajiban untuk ikut serta dalam upaya pembelaan Negara. Bentuknya adalah, melalui gelar pendidikan dan pelatihan kader bela Negara secara nasional yang saat ini sudah sangat penting pelaksanaanya, terlebih di era ekonomi global dimana kedaulatan ekonomi Negara semakin kecil seiring melemahnya komitmen masyarakat terhadap Pancasila sebagai nilai-nilai dasar yang telah lama menjadi prinsip dan bahkan sebagai pandangan hidup. Mengalir dari lemahnya komitmen terhadap nilai-nilai dasar Pancasila adalah distorsi nasionalisme, dalam konteks ini kita dapat melihat ada dua faktor penyebabnya, yaitu faktor eksternal dan faktor internal. Faktor eksternal, berupa pengaruh globalisasi yang di semangati liberalisme mendorong lahirnya sistem kapitalisme di bidang ekonomi dan demokrasi liberal di bidang politik. Faktor internal, yaitu bersumber dari internal bangsa Indonesia sendiri.
Kenyataan seperti ini muncul dari kesalahan sebagian masyarakat dalam memahami Pancasila. Banyak kalangan masyarakat memandang Pancasila tidak dapat mengatasi masalah krisis dan menjadi benteng ketahanan ekonomi, terkait krisis ekonomi 1998.
Sudah menjadi fakta sejarah bahwa ketahanan sebuah negara akan menguat jika ia mempunyai ketahanan ekonomi yang kokoh. Begitu pula sebaliknya, ketahanan sebuah negara akan rapuh jika ekonomi di negara itu melemah. Banyak negara yang tercerai berai karena diawali dengan ekonomi yang rapuh atau ketidakadilan dalam pembangunan. Dalam soal ekonomi, kini kita harus menghadapi kenyataan baru, yaitu keterbukaan globalisasi ekonomi. Kalau dizaman dahulu, ketika perekonomian suatu Negara mengalami kekurangan, ia bisa melakukan penjajahan ke negara lain. Kini, sebaliknya, negara yang kesulitan sumber daya alam harus mampu mendatangkan sumber daya ekonomi (investasi asing) ke negaranya. Pararel dengan semangat kedaulatan ekonomi, dalam menghadapi keterbukaan ekonomi sejagat, maka menjadi sebuah keniscayaan ketika ruh ekonomi Pancasila harus menjadi pedoman kebijakan ekonomi nasional.
Ekonomi Pancasila adalah sistem ekonomi yang berkemanusiaan, berkerakyatan, serta mendukung perwujudan persatuan Indonesia. Sistem ekonomi yang berketuhanan adalah ekonomi yang memperhatikan etika dan kepedulian sosiai sebagai bentuk pertanggungjawaban terhadap Ketuhanan Yang Maha Esa. Sistem ekonomi yang berkemanusiaan adalah sistem ekonomi yang menjadikan manusia sebagai subjek, bukan sebagai objek apalagi sebagai komoditi, sebagaimana diamanatkan kemanusiaan yang adil dan beradab. Sistem ekonomi yang berkerakyatan adalah system ekonomi yang bertumpu pada kesejahteraan rakyat banyak sebagaimana diamanatkan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan/perwakilan. Sistem ekonomi yang berkeadilan adalah sisten ekonomi yang mampu memaksimalkan pemerataan.[5]