Telaah

Belajar dari Holywings: Promosi Moderasi Beragama Jangan Sampai Blunder

2 Mins read

Isu agama di negara kita, Indonesia, masih menjadi primadona yang cenderung melekat dalam tubuh bangsa. Apapun itu, selagi agama menjadi alasan dan atau struktur ulasan sebuah persoalan maka dipastikan tak butuh waktu lama untuk segera diperbincangkan. Barangkali inilah tipologi khas masyarakat Indonesia sebagai konsekuensi logis dari kondisi kemajemukan dalam segala hal, termasuk agama atau kepercayaan.

Belum reda hujan diskusi terkait rendang dan agama, kini kita dihebohkan lagi dengan kontroversi berbalut agama yang dilakukan sebuah perusahaan Bar-Resto. Holywings namanya, mereka membuat promosi miras gratis untuk setiap tamu yang memiliki nama “Muhammad” atau “Maria”.

Sontak hal tersebut memacu emosi masyarakat, khususnya umat Islam. Hingga pada akhirnya, klarifikasi dan permohonan maaf Holywings tidak berpengaruh apa-apa. Beberapa staff mereka dipolisikan, pun eksistensi bisnis Holywings terancam dibekukan.

Sebagai umat Islam, kita pantas marah. Namun alangkah lebih baik jika kita juga dapat mengambil ibrah. Kasus Holywings secara fenomenologi merupakan kesalahan fatal dalam promosi, alasan minim pengunjung menjadi pemantik promosi secara berlebihan itu dihadirkan.

Dalam konteks ini, umat Islam moderat yang tengah mempromosikan keindahan wasathiyyah melalui moderasi beragama perlu belajar dan mengambil kesimpulan. Jangan sampai, apa-apa yang hendak dipromosikan justru menjadi boomerang yang akan menghancurkan moderasi itu sendiri.

Berhati-hati Membuat Narasi

Kasus Holywings berakar dari kesalahan fatal dalam membuat narasi. Mereka teledor dan blunder karena membawa isu agama yang sensitif pada sebuah promosi. Hal ini jangan sampai terjadi pada promosi moderasi beragama, kita sebagai promotor perlu kehati-hatian dalam membangun narasi atau kontranarasi.

Jika moderasi beragama dipandang sebagai seni mengada (modes of being) keharmonisan maka langkah promosi harus berakar dari upaya membangun persatuan dan kesatuan.

Andaikata radikalisme adalah lawan, promotor moderasi perlu berdasar pada penyebab seseorang terpapar paham demikian. Simpan saja misal penyebabnya adalah karena disorientasi paham keislaman, moderasi beragama perlu hadir sebagai moderator inklusivitas yang membangun narasi “beginilah Islam sebaiknya” bukan dengan narasi “itu salah” atau “sumbu pendek” dan sejenisnya. Sebab hal ini hanya akan memperluas lingkaran setan stigmatisasi dalam tubuh masyarakat.

BACA JUGA  Abdul Somad dan Islamofobia yang Direduksi

Artinya, moderasi beragama harus menjadi contoh konkret keindahan wasathiyyah. Narasi yang dibangun pun harus berprinsip santun dan lemah lembuthal ini sebagaimana firman Allah, “Pergilah kamu berdua kepada Fir’aun, sesungguhnya dia telah melampaui batas. Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah-lembut, mudah-mudahan dia ingat atau  takut.” (Q.S. 20: 33-34).

Artinya, sikap berlebihan dan intoleran kaum radikalis jangan sampai dilawan dengan sikap serupa. Sebab hal tersebut hanya akan membuat orang-orang—radikalis dan awam—menolak dan menjauh (Q.S. 3: 159).

Membangun Integrasi Komunikasi

Blunder kedua kasus Holywings adalah karena manajemen komunikasi antarlini tidak sistematis, cenderung asal-asalan tanpa pertimbangan dialektis. Hal ini juga yang harus dipelajari oleh kita, para penggerak moderasi beragama.

Secara struktural, apa-apa yang hendak disampaikan harus berdasar pada landasan dan tujuan utama moderasi. Begitu pun secara kultural, komunikasi antarlini mulai dari pemerintah hingga aktivis digital dan konvensional harus selaras dan satu visi.

Pemerintah sebagai pemangku konseptual perlu berkomunikasi yang berdasar pada prinsip wasathiyyah, jangan sampai moderasi beragama ujung-ujungnya hanya bernada politis sistematis. Begitu pun para penggerak di ranah digital dan konvensional, komunikasi yang integratif dengan para pembina (ulama) harus menjadi landasan utama. Hal ini dimungkinkan agar tidak terjadi diferensiasi dalam realitas promosi moderasi.

Dengan demikian, jika konsep moderasi beragama ingin tersampaikan secara komprehensif kepada masyarakat maka langkah-langkah yang dilakukan harus senantiasa terukur dan potensial sebagaimana amanat Islam dan keindonesiaan.

Jangan sampai promotor moderasi beragama justru terjebak dalam disorientasi wasathiyyah atau dalam istilah Nurul Hidayah disebut pseudo-moderate, seolah-olah moderat. Artinya, jangan sampai moderasi beragama justru hadir sebagai biang disharmonisasi sosial yang menjadi persoalannya. Alhasil, alih-alih moderasi beragama semakin dinikmati justru semakin dihindari. Wallahu a’lam.

Ayi Yusri Ahmad Tirmidzi

Mahasiswa Magister PAI UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Pemuda Berprestasi Kab. Kuningan 2020 & 2021.
2121 posts

About author
Pilarkebangsaan.com adalah media yang menfokuskan diri pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan kenegaraan
Articles
Related posts
Telaah

Bikin Rumah Kena Pajak? Apakah Kita Gen Z Harus Cemas?

3 Mins read
Ada apa nih kok bikin rumah sendiri tiba tiba terkena pajak? Padahal kan kita yang memiliki tanah tersebut, kok tiba tiba kena…
Telaah

Jika Soeharto Tidak Pernah Jadi Presiden, RI Jadi Negara Apa?

2 Mins read
Benarkah ada upaya menghilangkan jejak korupsi dari Presiden RI Soeharto imbas MPR resmi mencabut dari TAP MPR Nomor 11 Tahun 1998 kemarin?…
Telaah

Hukum Mencium Tangan Menurut Empat Madzhab

2 Mins read
Mencium tangan merupakan tradisi yang sudah biasa orang Indonesia lakukan sebagai bentuk hormat. Sebenarnya di beberapa bagian negara lain bentuk penghormatan tidak…
Power your team with InHype

Add some text to explain benefits of subscripton on your services.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *