Isu agama di negara kita, Indonesia, masih menjadi primadona yang cenderung melekat dalam tubuh bangsa. Apapun itu, selagi agama menjadi alasan dan atau struktur ulasan sebuah persoalan maka dipastikan tak butuh waktu lama untuk segera diperbincangkan. Barangkali inilah tipologi khas masyarakat Indonesia sebagai konsekuensi logis dari kondisi kemajemukan dalam segala hal, termasuk agama atau kepercayaan.
Belum reda hujan diskusi terkait rendang dan agama, kini kita dihebohkan lagi dengan kontroversi berbalut agama yang dilakukan sebuah perusahaan Bar-Resto. Holywings namanya, mereka membuat promosi miras gratis untuk setiap tamu yang memiliki nama “Muhammad” atau “Maria”.
Sontak hal tersebut memacu emosi masyarakat, khususnya umat Islam. Hingga pada akhirnya, klarifikasi dan permohonan maaf Holywings tidak berpengaruh apa-apa. Beberapa staff mereka dipolisikan, pun eksistensi bisnis Holywings terancam dibekukan.
Sebagai umat Islam, kita pantas marah. Namun alangkah lebih baik jika kita juga dapat mengambil ibrah. Kasus Holywings secara fenomenologi merupakan kesalahan fatal dalam promosi, alasan minim pengunjung menjadi pemantik promosi secara berlebihan itu dihadirkan.
Dalam konteks ini, umat Islam moderat yang tengah mempromosikan keindahan wasathiyyah melalui moderasi beragama perlu belajar dan mengambil kesimpulan. Jangan sampai, apa-apa yang hendak dipromosikan justru menjadi boomerang yang akan menghancurkan moderasi itu sendiri.
Berhati-hati Membuat Narasi
Kasus Holywings berakar dari kesalahan fatal dalam membuat narasi. Mereka teledor dan blunder karena membawa isu agama yang sensitif pada sebuah promosi. Hal ini jangan sampai terjadi pada promosi moderasi beragama, kita sebagai promotor perlu kehati-hatian dalam membangun narasi atau kontranarasi.
Jika moderasi beragama dipandang sebagai seni mengada (modes of being) keharmonisan maka langkah promosi harus berakar dari upaya membangun persatuan dan kesatuan.
Andaikata radikalisme adalah lawan, promotor moderasi perlu berdasar pada penyebab seseorang terpapar paham demikian. Simpan saja misal penyebabnya adalah karena disorientasi paham keislaman, moderasi beragama perlu hadir sebagai moderator inklusivitas yang membangun narasi “beginilah Islam sebaiknya” bukan dengan narasi “itu salah” atau “sumbu pendek” dan sejenisnya. Sebab hal ini hanya akan memperluas lingkaran setan stigmatisasi dalam tubuh masyarakat.
Artinya, moderasi beragama harus menjadi contoh konkret keindahan wasathiyyah. Narasi yang dibangun pun harus berprinsip santun dan lemah lembut, hal ini sebagaimana firman Allah, “Pergilah kamu berdua kepada Fir’aun, sesungguhnya dia telah melampaui batas. Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah-lembut, mudah-mudahan dia ingat atau takut.” (Q.S. 20: 33-34).
Artinya, sikap berlebihan dan intoleran kaum radikalis jangan sampai dilawan dengan sikap serupa. Sebab hal tersebut hanya akan membuat orang-orang—radikalis dan awam—menolak dan menjauh (Q.S. 3: 159).
Membangun Integrasi Komunikasi
Blunder kedua kasus Holywings adalah karena manajemen komunikasi antarlini tidak sistematis, cenderung asal-asalan tanpa pertimbangan dialektis. Hal ini juga yang harus dipelajari oleh kita, para penggerak moderasi beragama.
Secara struktural, apa-apa yang hendak disampaikan harus berdasar pada landasan dan tujuan utama moderasi. Begitu pun secara kultural, komunikasi antarlini mulai dari pemerintah hingga aktivis digital dan konvensional harus selaras dan satu visi.
Pemerintah sebagai pemangku konseptual perlu berkomunikasi yang berdasar pada prinsip wasathiyyah, jangan sampai moderasi beragama ujung-ujungnya hanya bernada politis sistematis. Begitu pun para penggerak di ranah digital dan konvensional, komunikasi yang integratif dengan para pembina (ulama) harus menjadi landasan utama. Hal ini dimungkinkan agar tidak terjadi diferensiasi dalam realitas promosi moderasi.
Dengan demikian, jika konsep moderasi beragama ingin tersampaikan secara komprehensif kepada masyarakat maka langkah-langkah yang dilakukan harus senantiasa terukur dan potensial sebagaimana amanat Islam dan keindonesiaan.
Jangan sampai promotor moderasi beragama justru terjebak dalam disorientasi wasathiyyah atau dalam istilah Nurul Hidayah disebut pseudo-moderate, seolah-olah moderat. Artinya, jangan sampai moderasi beragama justru hadir sebagai biang disharmonisasi sosial yang menjadi persoalannya. Alhasil, alih-alih moderasi beragama semakin dinikmati justru semakin dihindari. Wallahu a’lam.