Pilarkebangsaan.com – Apapun polemik wayang kulit hari ini, saya tetap mencintai cerita wayang yang menurut saya penuh dengan makna dan penggambaran prilaku manusia. Buku Mahabharata dan Ramayana versi Raja Gopalchari yang tebalnya sekitar 600 halaman sudah khatam saya baca. Saya baca pula versi Jawa karya Ki Suratno yang lebih seru karena ada punokawan catur, linbuk dan kawan-kawannya. Bahkan cerita wayang juga sering saya gunakan dalam ceramah, misalnya bagaimana sikap Kumbakarna yang ambigu dalam membela Rahwana saya kaitkan dengan pertanggungjawaban pada surat Yaasin.
Yang tidak kalah menarik ketika saya menerima mata kuliah teori-teori sosial, dan kebetulan saya membahas Teori power elitenya C. Wright Mills. Asosiasi saya langsung tertuju pada kisah Mahabharata, meskipun viksi tapi lebih detail menggambarkan sebuah konflik. Saya jujur lebih tega menjadikan Mahabharata sebagai contoh konflik daripada menyajikan konflik para sahabat Rasulullah saw. Jujur, hati saya tidak tega ketika membahas sejarah bagaimana Ali bin Abi Tholib, Sayyidah Aisyah, Muawiyyah dan sahabat lainnya bertikai.
Perang Mahabarata sesungguhnya penggambaran dari sifat manusia, di mana pandawa disebut sebagai kelompok kebaikan, sedangkan kurawa mewakili komunitas kebatilan yang haus kekuasaan. Saya tidak akan mengulas dua simbol tersebut, tapi bagi saya yang menarik adalah peran Khrisna dan Sangkuni karena merekalah sebenarnya yang sedang bertarung, merekalah yang membuat sekenario perebutan kekuasaan atas tahta Hastinapura.
Padang Kurusetra menjadi saksi bisu dahsyatnya perebutan kekuasaan ini. Para penguasa, agamawan, cendekiawan, saudagar dan rakyat jelata banyak yang binasa dalam perang ini. Ini mirip perang politik republik ini di mana masing-masing kelompok merasa benar dan memiliki hak untuk berkuasa sedang yang lain tidak pantas untuk berkuasa. Para ulama, kiyai, akademisi, juga para kacung masing-masing kelompok membangun logika pembenar atas tindakannya. Seperti para Kurawa dan pandawa yang mejustifikasi tindakannya atas nama Tuhan, Baratayudha pun memiliki pola yang sama.
Kedua logika tersebut dimainkan dengan sangat baik oleh Sangkuni dan Khrisna. Sangkuni mengendalikan seluruh skenario Kurawa, sedangkan Khrisna mengendalikan seluruh skenario Pandawa. Yudistira dan para sudaranya, Duryudana dan para saudaranya bukanlah penguasa sesungguhnya, tetapi Sangkuni dan Khrisnalah penguasa sesungguhnya. Pituah sesepuh, agamawan dan cendekiawan diabaikan dalam perang ini karena mereka juga pelaku yang memiliki keberpihakan.
Barangkali inilah yang disebut C. Wright Mills sebagai Elit Kuasa atau yang lebih kita kenal sebagai teori power elite. Teori power elite ini mengasumsikan adanya beberapa elite khusus yang mengendalikan sebuah komunitas. Teori ini berangkat dari sebuah pertanyaan “apakah betul ada’ kelompok elit tertentu yang sesungguhnya mengatur Amerika?” Pertanyaan ini sesungguhnya juga dikemukakan dan diteliti oleh para sosiolog lain dengan berbagai pendekatan dan kesimpulan.
Wright Mills membuktikan dengan penelitiannya bahwa memang ada kelompok elit yang disebutnya dengan elite –kuasa (power elite) yang berada dibalik semua skenario kebijakan Amerika. Mills menyebut Amerika dikuasai oleh tiga kekuatan besar yang dia gambarkan sebagai piramida kekuasaan. Bagian paling puncak piramida diduduki elite berkuasa, yakni pemimpin yang menguasai 3 sektor hierarkis, yakni kekayaan perusahaan (corporate rich), orang yang paling kaya, dan pemilik saham perusahaan-perusahaan besar; pemimpin eksekutif (pegawai puncak di pemerintahan dan pemodal negara); dan kemudian, pejabat yang memiliki kedudukan di militer.
Level tertinggi ditempati oleh power elite yang bekerja secara informal dan di balik layar. Mereka inilah yang membuat keputusan-keputusan besar. Kemudian lapis kedua adalah pemimpin opini lokal (local opinion leaders), cabang legislatif pemerintah, dan beragam kelompok kepentingan. Bangunan ini melakukan tawar-menawar bagi elite-alite yang berkuasa. Middle class ini, beranggotakan anggota legislatif, kelompok-kelompok kepentingan tertentu dan pemimpin-pemimpin lokal. Keputusan pada level ini biasanya dilakukan dengan cara lobby atau prosedur legislatif, tingkat kepentingan putusannya pun di bawah yang pertama. Kemudian lapis ketiga adalah masa yang tidak memiliki kekuasaan dan orang-orang yang tidak terorganisasi yang dikontrol oleh kekuasaan-kekuasaan yang di atas.
Baik secara ekonomi maupun politik, kelompok lapisan ketiga ini dieksploitasi oleh lapisan-lapisan di atasnya. Mereka ini adalah massa tanpa kuasa, penduduk yang tidak terorganisasi, yang pengaruhnya terhadap pengambilan keputusan yang berkaitan dengan hidup mereka sendiri sangat sedikit, dan bahkan kadang tidak menyadari adanya keputusan tersebut. Sehingga kekuasaan dalam masyarakat dimonopoli segelintir orang, few minority atau few people, yang disebut elite.
Dalam teori ini, masyarakat itu terbagi menjadi the ruling class, kelas yang menguasai, dan the ruled, yang dikuasai. Begitulah sebuah komunitas digiring dalam arus besar baratayudha politik. Tidak peduli status sosialnya, kiyai, akademisi, pejabat, jongos-jongos politik, semua tergilas oleh arus besar tersebut. Maka semua akan binasa, baik secara dhahir maupun maknawi, binasa otoritas keilmuannya, binasa otoritas keulamaannya, binasa otoritas muruah sosialnya, binasa sumber pendapatan yang diperjuangkan sampai menekuk agama dibawah ketiaknya, begitulah perang selalu membawa korban.
Inilah Perang Baratayudha, perang saudara, perang antara sesama hamba Tuhan, perang sesama anak bangsa yang dikendalikan oleh elite kepentingan. Pertanyaanya, siapakah sebenarnya elite yang tengah bermain dan mempermainkan kita ini? Apakah elite ini kehendak masyarakat dan menguntungkan bagi masyarakat? Apakah elite ini bersifat inevitable apa tidak? Siapa sesungguhnya yang membentuk elite ini???
Saya juga masih meraba-raba siapakah sebenarnya Sangkuni dan Khrisna yang tengah mengendalikan bangsa ini. Jangan-jangan bukan kita sebagai anak bangsa yang lahir dan besar di tanah ini, jangan-jangan bukan para ulama yang memiliki otoritas atas umat ini, jangan-jangan bukan para petugas partai itu yang sebenarnya bermain, jangan-jangan makhluk yang bernama “Oknum” lah yang mempermainkan harga minyak goreng, bukan kebijakan pemerintah seperti kata Faisal Basri.
Begitulah cara saya mengekspresikan sesuatu via wayang karena mudah dicerna, difahami, dan lebih celakanya juga mudah ditiru. Wallohu’alam bi shawab.