Bhinneka Tunggal Ika

Belenggu Kebanggaan Nasional

2 Mins read

Menarik bahwa perkawinan antara nasionalisme dan patriotisme dalam bentuk kebanggaan nasional menunjukkan bahwa ada perkara mendasar, namun dibiarkan begitu saja. Akibatnya, perkara itu telah menimbulkan berbagai luka, bahkan trauma, yang begitu mendalam. Seperti pada masa Orde Baru yang mampu berkuasa selama lebih dari 30 tahun di republik tercinta ini.

Sudah bukan rahasia lagi bahwa kelahiran Orde Baru sesungguhnya ā€œdibaptis dengan darah pembantaianā€, sebagaimana diungkap oleh wartawan Brian May dalam bukunya yang berjudulĀ The Indonesian TragedyĀ (1978). Dalam konteks ini, kita diperlihatkan tentang bagaimana sebuah kekuasaan tidak bisa lepas dari trik dan intrik politik yang memanfaatkan nasionalisme dan patriotisme sebagai pembayangan yang serba terbatas.

Tak heran jika setiap warga dari sebuah negara-bangsa (nation state), seperti Indonesia, meski belum pernah saling kenal dan bertemu, bahkan bertegur sapa, namun seakan-akan dalam benak mereka sudah ada sebuah pembayangan tentang kebersamaan.

Inilah yang, dalam bukunya Benedict Anderson berjudulĀ Imagined Communities: Komunitas-komunitas TerbayangĀ (2001), disebut sebagai bangsa yang berdaulat, meski pada hakikatnya bersifat terbatas. Dan sebagai bangsa yang dibayangkan sebagai sebuah komunitas amat dimungkinkan ribuan, bahkan jutaan jumlahnya, bersedia jangankan melenyapkan nyawa orang lain, merenggut nyawanya sendiripun direlakan.

Pada titik inilah, patriotisme dikobarkan sebagai api perjuangan untuk membela tanah air yang sebenarnya bermuatan kepentingan dari pihak-pihak yang berambisi untuk berkuasa. Jadi, dengan kata lain, patriotisme menjadi semacam ā€œkarpet merahā€ yang mampu menutupi beragam intensi kekuasaan yang cenderung berpretensi korup (power tends to corrupt, and absolute power corrupt absolutely), seperti pernah dikredokan oleh Lord Acton.

Di sinilah penting dan mendesaknya untuk menelusuri jejak-jejak langkah dari perkawinan antara nasionalisme dan patriotisme yang melahirkan kebanggaan nasional itu. Jejak yang paling nyata sebenarnya tampak pada kebanggaan nasional yang disamakan dengan ā€œbahasa suciā€.

Itu artinya, cukup hanya dengan mengharumkan nama bangsa dan negara melalui berbagai prestasi di luar negeri misalnya, maka tiada satupun yang dapat menyangkal, apalagi membantah, bahwa seperti inilah sosok nasionalis dan patriotis yang sejati. Padahal, prestasi yang demikian itu belum tentu berdampak secara nyata pada kesejahteraan hidup masyarakat sehari-hari.

Selain itu, jejak yang tak kalah nyata juga dapat ditemukan pada kebanggaan nasional yang dijadikan sebagai ā€œpusat kekuasaanā€. Artinya, apapun atau siapapun yang mampu menarik perhatian dunia akan selalu diikuti oleh klaim dari pihak-pihak yang berada atau dekat dengan kekuasaan. Hal itu berarti mirip dengan para wakil rakyat yang tak pernah kekurangan pengakuan dalam menyuarakan kepentingan rakyat, meski pada kenyataannya kepentingan itu selalu dibuang dari pikiran mereka.

Jejak terakhir ada pada mitos sejarah yang dibuat oleh kalangan elite bahwa kebanggaan nasional mesti dilestarikan dan diwariskan karena memuat kebenaran tunggal.

Hal itu dengan mudah ditemukan pada historiografi di tanah air ini yang oleh sejarawan Bambang Purwanto (Menggugat Historiografi Indonesia, 2005) disebut masih berkiblat pada ā€œIndonesiasentrisā€. Dengan kiblat seperti ini, tak heran jika yang disebut sebagai nasionalis dan patriotis, terutama dalam konteks masa Revolusi 1945-1949, hanyalah mereka yang mengangkat senjata dan maju ke medan pertempuran.

Padahal, pada kenyataannya, seorang babu atau pembantu rumah tangga yang bekerja di rumah-rumah orang Belanda atau Eropa dapat juga disebut nasionalis dan patriotis. Sebab mereka pun terbukti telah berjasa dalam mempromosikan beragam jenis masakan gaya Barat ke tengah masyarakat biasa pada umumnya. Jadi, meski hanya memasak, termasuk juga mencuci dan menjaga anak-anak, babu sesungguhnya cukup pantas untuk mendapatkan saat dan tempat yang tepat dalam historiografiĀ Indonesia.

Anicetus Windarto

Peneliti di Litbang Realino, Sanata Dharma, Yogyakarta
2121 posts

About author
Pilarkebangsaan.com adalah media yang menfokuskan diri pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan kenegaraan
Articles
Related posts
Bhinneka Tunggal Ika

Sinergi di Ujung Timur: Membangun Maluku yang Damai dan Aman

2 Mins read
Kepolisian Daerah (Polda) Maluku terus memperkuat sinergi dengan berbagai pihak, termasuk Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI), dalam rangka menjaga stabilitas…
Bhinneka Tunggal Ika

Dari Catalonia Hingga ke Papua

3 Mins read
ā€œKewarganegaraan bukan sekadar status hukum, tetapi praktik sosial yang terus dinegosiasikan.ā€ – Dalam pusaran globalisasi, batas-batas negara semakin kabur, tetapi nasionalisme justru semakin…
Bhinneka Tunggal Ika

Bhinneka Tunggal Drama; Nasionalisme dalam Satu Tayangan

3 Mins read
Ben Anderson, pengkaji Indonesia yang paling masyhur mungkin, pernah menandaskan, bangsa ada berkat kapitalisme cetak. Media massa—koran, buku—memungkinkan insan-insan yang tak saling…
Power your team with InHype
[mc4wp_form id="17"]

Add some text to explain benefits of subscripton on your services.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *