Pilarkebangsaan.com – Ithaca, New York, musim gugur 1994. Saya tiba di Ithaca atas kebaikan Prof Benedict Richard O’Gorman Anderson atau Ben Anderson, di sebuah terminal bus dan dijemput oleh anak angkatnya Benny. Esai ini berdasarkan apa yang masih kuingat dari kenanganku dengan Prof Ben Anderson di Cornell 1992, dan kutulis sebagai baktiku pada masyarakat Gusdurian, komunitas Nurcholish Madjid Society (NCMS) dan anak- anak bangsa di negeri kita, pada bulan Ramadhan 2021 yang diwarnai pandemic corona ini.
Saya sudah bertemu dengan Ben Anderson di Monash University, Clayton, Melbourne Australia sewaktu saya jadi visiting Fellow tahun 1992 atas kebaikan Prof Herbert Feith PhD dan Prof John Legge, dua Indonesianis dan guru besar yang sangat baik kepada anak anak Indonesia yang studi di Monash.
Pak Ben, saya memanggil beliau begitu, sudah membaca surat saya untuk suatu hari nanti ke Cornell. Sehingga ketika ketemu saya di Monash, sambil berjabat tangan saya kenalkan diriku dengan bahasa Jawa dan Indonesia yang ‘’semau gue’’ dan beliau balik bertanya:’’ Terus, kapan kowe dolan ke Cornell, Ithaca? Saya tunggu,’’ katanya.
Teman-teman saya di Monash tanya padaku, maksudnya dolan ke Cornell itu apa? Dalam bahasa akademis, saya bilang, Pak Ben membuka pintu untuk saya jadi tamu, fellow, meski masih muda dan underdog jalanan. Dia suka pada kita yang underdog, the lower class.
Ternyata dua tahun sepulang dari Monash itu, saya mendapat fellowship dari Rockefeller Foundation (berkah-barokah dari Gusti Allah) terbang ke Costa Rica/Amerika Tengah, dan kemudian saya menelpon Pak Ben Anderson di Ithaca, bahwa post graduate training saya di San Jose, hampir berakhir. ‘’Kita mau singgah ke Cornell, New York, tapi duit cekak, gimana Pak Ben?’’. Dia rada kaget, tapi kemudian tertawa.
Lalu beliau menjawab: ‘’ Herdi bilang pada Direktur Rockfeller dan pimpinan tim (Pak Kismadi MA), bahwa kamu saya terima dan saya tunggu di Cornell, untuk menjadi tamu (fellow), ayo dong, dolan ke sini, ’’ katanya menyemangati. ‘”Saya bawa teman teman pers/LSM lulusan UGM (Simon Saefudin dan TM Luftfi Yazid) yang pengin join ya pak,’’ . Pak Ben Anderson menjawab,’’ Okay,’’.
Maka, setelah diurus staf bos Rockefeller, terbanglah kami ke New York dan bertolak ke Ithaca. Simon menulis laporannya untuk Koran Republika pimpinan Bang Parni Hadi/Mas Adi Sasono, saya untuk koran Media Indonesia pimpinan Bang Surya Paloh.
Setelah tiba di kediamannya, Pak Ben dan kami diskusi sampai tengah malam bahkan sampai larut pagi dan ngobrol tak kenal lelah. Sebagai anak muda, kami sudah biasa ‘’melek bengi’’ dengan wedang jahe dan kopi dan oleh-oleh yang dibawa Simon dari Cirebon.
Bahkan kami diskusi terus sampai pagi berikutnya. Salah satu tema menarik dalam obrolan itu adalah Ben bertanya gimana kabarnya para ‘’gangster’’ dan pembangkang kayak Hariman Siregar, Arief Budiman dkk, yang pada ‘’ngelawan’’ hegemoni Orde Baru yang represif? Siapa ulama yang terkemuka setelah generasi Ahmad Dahlan, Hasyim Asyari, Wahid Hasyim, Moh Natsir berlalu?
Saya bilang Gus Dur (KH Abdurrahman Wahid) yang memimpin PB-NU dan Forum Demokrasi. Pak Ben agak terkejut, terus dia nanya,’’ Apakah Gus Dur ulama terkemuka atau dalam proses menjadi (in the making) tokoh ulama besar?’’. Saya katakan, Gus Dur dan NU & Fordem-nya menjadi news maker anti-tesa terhadap ICMI dan rezim Orba, sangat mewarnai blantika politik dan pembaharuan Islam dengan segenap implikasinya di ranah sosial dan politik. Kebetulan kami sering terlibat jumpa pers dan dialog dengan Gus Dur dan Cak Nur.
Namun menurut Ben, Gus Dur waktu itu belum sehebat Hasyim Asyari, kakeknya, namun kehadirannya sangat berarti dan penting bagi Indonesia. ‘’Kalau yang dari IAIN gimana menurut kalian?’’. Saya balik tanya: Maksudnya, Cak Nur (Nurcholish Madjid) dkk? ‘’Iya,’’ katanya.
‘’Kedua tokoh itu saling mengisi meski kadang gesekan tak sengaja, misalnya soal pembredelan tabloid Monitor’’ saya bilang.
Saya katakan peran Gus Dur sungguh besar untuk masyarakat rural (desa,pesantren) dan Cak Nur (untuk masyarakat urban) sangat krusial. Keduanya berjalan dengan cara masing-masing. Tapi menurut Pak Ben sendiri bagaimana?
Ben menjawab tenang dan mengaku mencermati kiprah Gus Dur, Cak Nur dan dia berharap Gus Dur menjadi ulama panutan dan berani bersikap kritis dan berani bersikap seperti Hasyim Asyari (yang popular dengan Resolusi Jihad pada masa Perang Kemerdekaan), demikian halnya Cak Nur yang sudah dikenal sejak muda sebagai Ketum PB-HMI dua periode. Kedua sosok itu sudah bersentuhan dengan pemikiran Timur Tengah dan Barat di masa muda. Namun Ben mengaku tidak terlalu mendalam soal gerakan kultural Islam waktu itu.
‘’Tapi mereka, saya tahu, menjadi lokomotif pembaharuan seperti ditulis TEMPO. Gus Dur saya lihat berani kritis dan membela wong cilik/tertindas, Cak Nur saya lihat juga bersikap liberatif, kritis dan sudah mampu membawa perubahan di lingkungan civitas academica IAIN dan nuansa progresifnya kuat, Saya lihat anak-anak IAIN yang sekolah di AS dan Kanada berpikir terbuka dan maju, percaya diri, cerdas dan kritis, mungkin mengikuti Nurcholish, bagi saya itu mengagumkan, tidak saya sangka, saya senang sama mereka,’’ kata Ben Anderson dengan mimik serius. Kami juga diberi buku dan kenangan lainnya.
Ben Anderson melihat masa depan civil Islam yang modern, terbuka dan berpikir maju untuk sebagian besar tergantung kepada peran para tokoh ulama dan cendekiawan Islam yang berani memimpin kaum muslim menuju kemajuan ke depan dengan perjuangan demokrasi (substantive), kebebasan dan anti-kekerasan, agar tragedi pembantaian 1965/66 tidak terulang. Sayang dewasa ini, golongan Islam dan kebangsaan dicekam oligarki dan politisi jenis dealers, bukan leaders.