Kita masih ingat peristiwa “Fathu Makkah”, ketika dominasi kekuasaan berada di tangan Nabi Muhammad dan para pengikutnya, mereka tidak serta-merta melakukan penghancuran atau pembumingasungan terhadap musuh-musuh politiknya. Patung-patung dan berhala di sekitar Ka’bah memang dirobohkan, dan sekeliling Ka’bah juga dibersihkan dan ditertibkan. Tetapi, para pemeluknya masih dibiarkan hidup dan tidak ditumpas atau diberantas sampai ke akar-akarnya.
Istilah “memberantas sampai ke akar” dipopulerkan oleh pemerintah Orde Baru setelah peristiwa politik 1965, yang sama sekali tidak memiliki nilai-nilai yang islami. Sebab, dalam konsep Islam yang baik (sebagaimana ditegaskan Alquran): “Janganlah kebencianmu pada suatu kaum membuat kamu berlaku tidak adil terhadap kaum tersebut.” (Al-Maidah: 8).
Sesuatu yang dimusuhi oleh Islam, mestinya dijadikan teman dan sahabat, yang lambat laun dia terpesona terhadap keagungan Islam. Bukan malah sikap seorang muslim, membuat orang lain berpaling dari agama Islam. Oleh karena itu, permudah urusan orang dan jangan dipersulit (yassiru wala tu’assiru). Konsep ini tentu berseberangan dengan watak dan perilaku kebanyakan pejabat dan birokrat kita yang – menurut menteri sosial – memiliki mental warisan Orde Baru, dengan dalih: “Kalau bisa dipersulit, ngapain dipermudah?”
Sikap primordial pada kebanyakan masyarakat, cenderung memandang apatis terhadap pihak lain atau non-pribumi yang dianggap sebagai orang lain (liyan). Padahal, keberadaan pihak lain adalah bukti kompleksitas dan pluralitas peradaban suatu bangsa, yang apabila Tuhan menghendaki semuanya menjadi satu pikiran atau “satu umat” tentu akan sangat mudah bagi Tuhan. Tetapi, semua kompleksitas itu “diadakan” sebagai batu-batu ujian, agar manusia saling berlomba dalam kebaikan (takwa).
Dalam konsep takwa, ada wilayah hukum dan keadilan. Tetapi kita tetap harus mengacu pada konsep Islam, bahwa membebaskan seribu orang yang bersalah akan lebih bijak ketimbang menghukum satu orang yang tidak bersalah. Jadi, konsep dasar hukum adalah berbaik sangka (husnudzon) pada manusia, apapun ras, etnik maupun agamanya. Jangan sampai kita mengejar satu ekor tikus di lumbung, lalu lumbungnya kita bakar habis. Kecuali jika kita memahami bahasa tikus, lalu menyaksikan si Raja Tikus berorasi mengompori tikus-tikus lain untuk menghabisi lumbung (sumber makanan manusia).
Dalam konteks itu, organisasi gerombolan para tikus perlu dibubarkan. Sebab, mereka selalu membikin keonaran, kegaduhan, dan mengancam keselamatan masyarakat bangsa. Di sinilah negara harus tampil dengan segenap kekuatannya (powerful) untuk kemaslahatan, meskipun mengorbankan satu atau dua kelompok masyarakat, yang telah dibuktikan kesalahannya di mata hukum negara. Jikapun ada anggota, atau bahkan pemimpinnya, melakukan tindakan tertentu yang berlawanan dengan hukum, maka ia perlu ditindak tegas. Dengan demikian, berlakulah adagium: “Akibat nila setitik, rusak susu sebelanga.”
Jadi, Islam tidak membenarkan tindakan hukum berdasarkan amarah atau dendam, tetapi harus tetap bersandar pada prasangka-prasangka baik terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Dengan cara itu, maka Islam bisa menampilkan diri sebagai umat yang paling bertakwa (khairu ummah), yang menimbulkan keterpesonaan di mata umat-umat lain. Jika ia menyebarkan Islam dengan sikap bengis, angkuh dan anarkis, ia akan bertanggungjawab, bukan hanya kepada manusia lain, melainkan juga akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah Swt.
Belajar dari Turki
Sebelum kemerdekaan RI (1932), ketika Gubernur Hindia Belanda, Cornelis de Jonge sudah mulai tua dan kolot, semangat kaum muda Nusantara kian menggebu-gebu. Kebangkitan Mesir dan keberhasilan Mustafa Kemal Ataturk membebaskan Turki dari pendudukan Sekutu, turut menyemarakkan semangat para aktivis pergerakan pemuda kita. Tidak sedikit tesis ilmiah dari sejarah perjuangan bangsa, selalu menyebut-nyebut “Turki Muda” sebagai salah satu elemen penting yang ikut menyumbangkan peran dalam kebangkitan nasional.
Artikel-artikel yang terhimpun dalam buku “Di Bawah Bendera Revolusi” mencerminkan dinamika pemikiran kaum muda dalam berwacana. Mohamad Hatta mendukung pernyataan Soekarno, dan dalam artikelnya yang berjudul “Indonesia Dominion Apa Indonesia Merdeka”, Hatta menulis dengan tegas: “Riwayat Turki Muda membuktikan, bagaimana artinya keteguhan hati dan ketetapan haluan. Moga-moga hal ini menjadi ajaran pedoman bagi kita, agar tetap mencita-citakan Indonesia merdeka. Sebab kalau tidak, kita akan durhaka kepada rakyat!”
Hal itu membuktikan bahwa Soekarno dan Hatta, sudah jauh-jauh hari menggagas format Indonesia merdeka, dengan mengacu dari kejayaan Turki Muda, dan dengan sendirinya merindukan kejayaan Islam dengan cara-cara modern. Saat ini, kita bisa pahami mengapa kalangan jurnalis dan intelektual Indonesia, sangat mendukung langkah-langkah Erdogan, bahwa untuk menjadi muslim yang baik tidak perlu harus menjadi Arab (atau kearab-araban). Persamaan garis politik kita, tak terlepas dari akar sejarah tentang pentingnya menghidupkan kembali kejayaan Islam yang lebih toleran dan egaliter.
Terkait dengan itu, peraih nobel sastra dari Turki, Orhan Pamuk (2006) selalu menampilkan diri di posisi netral (nonpartisan) dalam karya-karya sastranya. Dalam novel berjudul “Snow”, dengan lugas dia menokohkan seorang wanita yang terdesak dalam arus gelombang revolusi, bahkan tarik-menariknya kepentingan kaum politisi di Turki. Demi membela kekasih yang dicintainya, Kadife terpaksa melepas jilbabnya, dan disaksikan oleh jutaan pemirsa televisi di Turki. Upayanya untuk membela Lazuardi, sang kekasih, terpaksa harus mengorbankan harga dirinya dari ancaman penculikan dan pembantaian yang dilakukan oleh penguasa junta militer yang berhaluan sekuler.
Tapi di bawah kepemimpinan Erdogan, Turki terus eksis dengan memberlakukan “standar ganda” dalam pengertian positif. Berhadapan dengan Eropa, dia harus memberlakukan standar tertentu kalau Turki ingin tetap diakui oleh Uni Eropa. Sedangkan di sisi lain, kerjasama dan diplomasi dengan para pemimpin Timur-Tengah yang pelik dan njlimet, Erdogan terus konsisten bertahan sejak masa kepemimpinannya pada awal milenium ketiga ini. Ketika wajah Islam Timur-Tengah dibeliti kesuraman lantaran intrik politik, serta kabar hedonisme keluarga raja-raja Arab, tidak bisa lain Erdogan yang hidup merakyat dan bersahaja, adalah pilihan yang paling masuk akal dalam penampilannya menjelang pemilu.
Obrolan di sekitar warung kopi hingga kedai-kedai pangkas rambut, stiker-stiker berwajah Erdogan yang dipasang secara sukarela, menunjukkan simpati rakyat Turki yang terkenang akan perjuangan Sultan Mahmud II saat menaklukkan Konstantinopel (1453 M). Di tangan Erdogan pula, Turki dikenal sebagai wajah Islam yang berani dalam menghadapi dominasi Barat. Meskipun, Erdogan tetap mengakui sekulerisme sebagai prinsip kenegaraan Turki, ia terhitung bersemangat dalam menghidupkan imaji kejayaan Tuki Ottoman.
Saat merayakan penaklukan Konstantinopel yang ke-563 beberapa bulan lalu, wajah Erdogan terpampang di spanduk dan baliho-baliho raksasa. Kita bisa saksikan melalui layar televisi, bagaimana dia menyampaikan orasi politiknya di puncak acara perayaan, mengenang kejayaan masa silam dengan barisan prajurit yang lengkap mengenakan seragam tentara di zaman kejayaan Ottoman.
Relevansi Turki dan Indonesia
Seperti yang disampaikan di atas, bahwa menjadi seorang simpatisan Islam politik di Indonesia – seperti halnya di Turki – tidak mesti harus kearab-araban. Saya bisa mengerti mengapa mayoritas NU di Indonesia kurang simpatik pada gaya dan pakaian model FPI, dengan jubah dan janggut bergelayut. Meski dalam sejarahnya, kalangan militer yang mengkudeta kepemimpinan yang sah, biasanya berdiri di belakang kaum agamawan tradisional yang belum melek politik. Juga tak becus membedakan term sekuler dan sekulerisme, sebagaimana mereka tak paham orientalisme maupun marxisme sebagai ilmu pengetahuan.
Percobaan kudeta yang terjadi pada 2016 lalu adalah contoh yang riil, bagaimana corak strategi kaum militer dalam menunggangi kepentingan sekelompok masyarakat yang mau mendukung ambisi-ambisinya. Dalam novel “Pikiran Orang Indonesia”, kita bisa lihat benang-benang merah yang sehaluan dengan “Snow”, bicara tentang kudeta politik yang berdarah-darah. Suasana Istanbul menjelang peristiwa kudeta, separatisme Kurdistan, friksi dalam pergerakan Islam politik, debat kusir kaum religius dan sekuler, hingga tampilnya represi militer yang tak berpegang pada ideologi apapun selain kehendak ingin berkuasa. Hampir mirip dengan gambaran situasi perebutan kantor PDI pro-Megawati yang menimbulkan ratusan korban dari kalangan buruh, mahasiswa, seniman, wartawan, hingga pemerkosaan terhadap wanita etnis Tionghoa.
Dalam novel “Snow” kita bisa pahami mengapa Orhan Pamuk, sang peraih nobel sastra itu menggambarkan, betapa kudeta militer yang tanpa dilandasi pemahaman nasionalisme kerakyatan, akan mudah menebar teror dan intimidasi, menimbulkan kebencian yang menahun, kematian yang memburu, saling curiga dan kedengkian, bagaikan salju-salju yang dengan ganas mengepung kota dan perkampungan. Begitupun dalam gambaran novel “Pikiran Orang Indonesia” yang memberikan kesadaran pada kita, betapa berbahayanya permainan senjata untuk menuntaskan persoalan sosial-politik Indonesia. Penulis novel itu memang pernah berjumpa dan mewawancarai ratusan korban tahanan politik (tapol) dalam suatu penelitian historical memories. Bahkan juga menyaksikan langsung betapa ganasnya permainan senjata dalam peristiwa di kampus Trisakti hingga Semanggi I dan II.
Pembaca yang kurang mengenal integritas penulisnya, boleh jadi akan menggolongkannya dalam kubu kiri, begitupun sebaliknya, akan ada yang menuduh penulis berpihak di kubu kanan. Tidak menutup kemungkinan juga, memandang penulis sebagai orang yang anti-militer. Padahal, yang dipersoalkan penulis adalah persoalan kemanusiaan, yang tak boleh dihadapi dengan cara-cara kekerasan, baik bagi kaum militerisme, agamisme maupun sekulerisme. Inilah yang sering disebut generasi milenial sebagai “gagal paham”. Bahkan ironisnya, konon tidak sedikit dari penerjemah Indonesia yang ngotot menerjemahkan karya sastra asing, sebelum ia memahami esensi dari pesan moral (moral massage) yang dimaksudkan oleh penulisnya.
Tetapi, apapun yang terjadi dengan percobaan kudeta militer di Turki beberapa tahun lalu, telah menyingkap banyak tabir yang seakan sehaluan dengan problem politik Indonesia, meskipun secara geografis memang berjauhan. Karena itu, kita bisa memahami, ketika Hafis Azhari pernah menegaskan bahwa para militer kita – khususnya semasa Orde Baru – selaku aparat-aparat yang notabene digaji oleh negara dan dibiayai oleh rakyat, justru telah menyelenggarakan ketidakadilan dan kesewenangan.
Apabila kelakuan dan kerjaan mereka tiada lain selain merugikan rakyat (sambil menunggangi kaum agamawan), maka tentulah mereka akan berhadap-hadapan dengan kekuatan rakyatnya sendiri. (*)
Eeng Nurhaeni
Pengasuh Pondok Pesantren “Al-Bayan”, Rangkasbitung, Banten Selatan.
Selengkapnya baca di I