NKRI

Bias dan Misoginis: Ketika Sekolah Negeri tidak Memberikan Ruang Aman bagi Siswi

2 Mins read

Kesal rasanya, ketika mendengar sebuah berita tentang pemaksaan penggunaan jilbab di sekolah kepada para siswi non-Muslim. Belum selesai dengan kekesalan itu, kasus serupa juga terjadi pada siswi salah satu sekolah di Yogyakarta, yang mendapat pemaksaan dari guru BK untuk menggunakan jilbab. Baru-baru ini, yang sempat viral adalah penggundulan kepada para siswi di sekolah karena tidak memakai ciput saat berkurung. Video yang selanjutnya ramai diperbicangkan adalah, pemotongan rambut siswa karena terlalu panjang, hingga melebihi kerudung yang dipakai.

Kemunculan kasus sebuah lembaga yang mewajibkan siswa non-muslim memakai jilbab di salah satu sekolah negeri di Padang menimbulkan kesan perlakuan diskriminasi atas nama agama. Situasi ini biasa dikenal dengan sebutan discrimination based on religion or belief. Padahal sejak era reformasi yang diawali dengan dilakukannya amandemen UUD 1945, Indonesia menjadi salah satu negara yang berupaya untuk selalu menjunjung HAM. Meskipun pada era orde baru, pelarangan penggunaan jilbab di sekolah adalah fakta yang tidak terbantahkan, pasca reformasi semestinya kebijakan tentang penggunaan jilbab harus dipahami tidak sekedar dari kacamata agama. Akan tetapi, konsepsi tentang kehidupan sosial yang perlu dipahami oleh para elemen yang ada dalam lembaga pendidikan.

Fenomena tentang pemaksaan jilbab dalam dunia pendidikan, menjadi sebuah masalah yang sangat kompleks diselesaikan. Artinya, akar solusinya tidak sekedar tentang solusi penggunaan jilbab kepada siswi di sekolah. Akan tetapi, ini berkenaan dengan kebebasan berpakaian dan kesalehan sosial yang dipaksanakan kepada para siswi. Akibatnya, para siswi memahami agama tidak sebagai ajaran yang ramah pada penampilan para siswi.

Berbicara soal jilbab, penulis tidak sedang memaparkan kewajiban berjilbab bagi umat Islam, yang oleh masyarakat, dijadikan sebagai tolok ukur kemuslimahan atau akhlak seseorang. Tulisan ini justru lebih menyoroti tentang kebijakan sekolah negeri yang seharusnya memberikan ruang bagi para siswi untuk memilih pakaian yang dikenakan dalam sekolah. Para guru semestinya bisa bersikap bijak dalam menentukan sikap kepada siswi yang berjilbab ataupun tidak. Artinya, tidak ada pembedaan perilaku kepada siswi yang tidak berjilbab dengan menganggap kurang saleh.

BACA JUGA  Poso dan Kenangan Kelam Para Teroris

Bias Misoginis

Persoalan jilbab hanya dialami oleh siswi saja. Konstruksi pakaian yang dibebankan kepada perempuan, jauh lebih besar dibandingkan dengan laki-laki. Lain daripada itu, ini bukan hanya tentang jilbab saja. Tetapi perilaku perempuan, biasanya lebih didikte atau dituntut lebih sopan dibandingkan dengan laki-laki. Tidak jarang, kita masih melihat respon yang sangat biasa apabila melihat siswa nakal, atau melakukan tindak amoral tertentu. Namun, respon yang cenderung nyinyir, cukup besar apabila seorang perempuan memiliki sikap nakal atau bertindak yang tidak sopan.

Bias misoginis masih sangat terlihat dengan sikap yang memandang perempuan harus sopan, pendiam dan harus bertindak sesuai dengan ketaatan agama dalam menjalankan kehidupannya. Ketaatan agama ini, salah satunya diwujudkan dengan penggunaan jilbab. Sehingga apabila seorang siswi tidak menggunakan jilbab, dianggap tidak sopan dan tidak taat dalam menjalankan perintah agama.

Pemahaman semacam ini, dimiliki oleh orang-orang yang tidak memiliki perspektif gender yang baik, sehingga cenderung mendiskriminasi perempuan. Perilaku memotong rambut, atau menggunduli siswi yang berjilbab adalah salah satu dari gejala bias misoginis dengan faktor kesalehan yang dimiliki oleh guru. Ini adalah perilaku yang tidak menghargai kebebasan berpakaian pada siswi.

Kasus tentang pemaksaan jilbab pada sekolah negeri, merupakan bagian dosa besar pendidikan yang sampai hari ini, belum bisa diselesaikan. Hukuman yang diberikan kepada siswi terkait penggunaan jilbab, semestinya perlu dikontrol lagi oleh pemerintah, supaya sekolah tidak menjadi ruang yang mematikan mental dan pola pikir siswi.

Para siswi yang duduk di bangku sekolah SMP ataupun SMA, sedang berada di fase remaja, di mana kecenderungan untuk mengekspresikan diri dengan memperbaiki penampilan cukup tinggi. Hukuman yang diberikan oleh guru dalam persoalan pakaian, memberikan rasa trauma tersendiri bagi para siswi dan memiliki dampak terhadap bagaimana cara pandang siswi memaknai agama yang ditampilkan dengan cara-cara paksaan, serta tidak ramah terhadap ekspresi kehidupan perempuan.

1658 posts

About author
Pilarkebangsaan.com adalah media yang menfokuskan diri pada topik kebangsaan, keadilan, kesetaraan, kebebasan dan kemanusiaan.
Articles
Related posts
NKRI

Kopdes Merah Putih: Terobosan untuk Ketahanan Ekonomi Nasional

4 Mins read
Pendirian Koperasi Desa Merah Putih (Kopdes Merah Putih) di seluruh desa adalah langkah strategis Pemerintahan Presiden Prabowo dalam membangun ketahanan ekonomi nasional….
NKRI

Segitiga Perdamaian Galtung: Usulan Kemlu RI KTM-LB OKI JEDDAH

3 Mins read
Konferensi Tingkat Menteri Luar Biasa (KTM-LB) OKI merupakan forum strategis yang membahas isu-isu perdamaian global, khususnya konflik Palestina dan Myanmar. Berlandaskan solidaritas…
NKRI

Membunuh Koruptor: Kebijakan Wajib untuk Menjaga NKRI dari Pejabat Maling

4 Mins read
Korupsi di Indonesia semakin menjadi-jadi. Setiap tahun, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kejaksaan Agung, dan berbagai lembaga penegak hukum lainnya seakan tidak pernah…
Power your team with InHype
[mc4wp_form id="17"]

Add some text to explain benefits of subscripton on your services.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *