Bhinneka Tunggal Ika

Biksu Berpengaruh Sri Lanka Dipenjara Karena Kebencian Agama

3 Mins read

Pengadilan Sri Lanka kembali menjatuhkan hukuman penjara terhadap seorang biksu berpengaruh, Galagodaatte Gnanasara, atas tuduhan menghasut kebencian agama dan menghina Islam. Dalam putusan yang dibacakan pada Kamis (9/1/2025), sebagaimana dilansir oleh AFP, Gnanasara dijatuhi hukuman sembilan bulan penjara, menambah daftar panjang kasus hukum yang menjeratnya.

Gnanasara, yang dikenal sebagai tokoh kontroversial di Sri Lanka, telah berulang kali menghadapi tuduhan terkait pernyataan anti-Muslim yang dia lontarkan sejak 2016. Vonis terbaru ini menegaskan komitmen pengadilan terhadap tindakan tegas terhadap ujaran kebencian di negara mayoritas Buddha tersebut.

Rekam Jejak Kasus Hukum

Ini bukan kali pertama Gnanasara menghadapi hukuman penjara. Tahun lalu, dia dijatuhi hukuman empat tahun penjara atas tuduhan serupa, meski kini tengah mengajukan banding. Sebelumnya, pada 2018, dia juga dihukum enam tahun penjara karena mengintimidasi istri seorang kartunis yang hilang dan menghina pengadilan. Namun, hukuman itu berakhir lebih cepat setelah dia mendapat amnesti dari mantan Presiden Maithripala Sirisena.

Gnanasara memiliki hubungan dekat dengan mantan Presiden Gotabaya Rajapaksa, yang sempat menunjuknya sebagai ketua panel reformasi hukum untuk meningkatkan keharmonisan antaragama pada 2021. Namun, reputasinya mulai terpuruk setelah Rajapaksa dipaksa mundur pada 2022 akibat protes besar-besaran terkait krisis ekonomi di Sri Lanka.

Titik Balik untuk Sri Lanka

Setelah Rajapaksa lengser, Gnanasara kembali menjadi sorotan publik, terutama terkait kasus-kasus hukum yang menantinya. Hukuman terbaru ini dianggap oleh banyak pihak sebagai langkah penting untuk menegakkan supremasi hukum dan meredakan ketegangan agama di negara yang memiliki populasi Muslim sekitar 10 persen dari total 22 juta penduduknya.

Vonis ini juga menjadi pesan tegas bagi tokoh lain yang berpotensi memanfaatkan pengaruh politik mereka untuk menyebarkan kebencian. Sri Lanka, yang tengah berupaya bangkit dari krisis ekonomi, tampaknya tidak lagi memberi ruang bagi tindakan yang dapat memicu perpecahan di tengah masyarakat multikulturalnya.

Kasus Gnanasara menjadi pengingat bahwa tidak ada satu pun individu, terlepas dari pengaruh politik atau status sosialnya, yang kebal terhadap hukum.

Kasus seorang biksu berpengaruh di Sri Lanka yang dijatuhi hukuman penjara atas tuduhan menghasut kebencian agama mencerminkan dinamika kompleks hubungan agama, politik, dan hukum di negara tersebut. Keputusan pengadilan ini menjadi sorotan internasional, baik sebagai langkah penting dalam menjaga kerukunan umat beragama maupun sebagai gambaran bagaimana ekstremisme dapat muncul bahkan di kalangan tokoh agama yang seharusnya menjadi panutan moral.

Sri Lanka, dengan latar belakang sejarah yang kaya dan keragaman agama yang mencakup mayoritas penganut Buddha Theravada, telah lama menghadapi tantangan dalam mengelola hubungan antaragama. Dalam beberapa dekade terakhir, retorika kebencian terhadap minoritas agama, seperti Muslim dan Kristen, telah meningkat, sering kali memicu ketegangan sosial yang berujung pada kekerasan. Kasus ini mengungkap sisi gelap di mana agama tidak hanya digunakan sebagai instrumen perdamaian, tetapi juga sebagai alat politisasi dan provokasi.

Biksu tersebut dituduh memanfaatkan pengaruhnya untuk menyampaikan pesan-pesan yang memecah belah. Dalam banyak pidatonya, ia menyerukan tindakan diskriminatif terhadap komunitas Muslim, yang oleh sebagian besar masyarakat dianggap sebagai ancaman terhadap harmoni sosial. Retorika seperti ini sering kali disampaikan dengan dalih “melindungi agama mayoritas,” tetapi pada kenyataannya, justru memperburuk ketegangan etnis dan agama.

Langkah hukum yang diambil terhadap biksu ini menunjukkan komitmen pemerintah Sri Lanka untuk menegakkan hukum tanpa memandang status atau jabatan seseorang. Namun, langkah ini bukan tanpa risiko. Pendukung biksu tersebut mungkin melihat keputusan pengadilan sebagai serangan terhadap agama Buddha, yang dapat memicu gelombang protes dan eskalasi lebih lanjut. Di sisi lain, komunitas internasional memandang ini sebagai ujian serius terhadap keseriusan Sri Lanka dalam menangani ujaran kebencian yang kerap menjadi pemicu konflik.

Kasus ini juga menjadi pengingat bahwa ekstremisme dapat muncul di mana saja, termasuk di kalangan tokoh agama. Dalam konteks ini, penting untuk membedakan antara ajaran agama yang membawa pesan damai dan individu yang menyalahgunakan otoritas keagamaannya untuk tujuan politik atau pribadi.

Bagi Sri Lanka, tantangan ke depan adalah memastikan bahwa langkah-langkah penegakan hukum seperti ini tidak berhenti pada satu kasus. Pemerintah perlu memperkuat kerangka hukum yang menindak ujaran kebencian, sembari mendorong dialog antaragama yang tulus untuk membangun saling pengertian. Pendidikan tentang toleransi dan keberagaman juga harus ditanamkan sejak dini untuk mencegah generasi mendatang terjebak dalam retorika kebencian.

Akhirnya, kasus ini membuka peluang bagi Sri Lanka untuk merefleksikan kembali nilai-nilai pluralisme dan moderasi yang harus menjadi dasar kehidupan bernegara. Ketegasan terhadap pelaku penghasut kebencian agama, tanpa pandang bulu, adalah langkah penting menuju rekonsiliasi dan perdamaian yang berkelanjutan. Dunia akan terus mengamati bagaimana Sri Lanka menangani isu ini, sebagai cermin bagaimana negara dengan keberagaman agama dapat menghadapi tantangan ekstremisme dengan keadilan dan kebijaksanaan.

1562 posts

About author
Pilarkebangsaan.com adalah media yang menfokuskan diri pada topik kebangsaan, keadilan, kesetaraan, kebebasan dan kemanusiaan.
Articles
Related posts
Bhinneka Tunggal Ika

Suara Guru dari Timur Indonesia untuk Pak Abdul Mu’ti

3 Mins read
Dari belahan kepulauan timur Indonesia, inilah bagaimana saya sebagai seorang guru melukiskan perasaan ini? Tentang sebuah harapan baru yang terbit di mata…
Bhinneka Tunggal Ika

Ramayana ke BrahMos: Merajut Hubungan Indonesia-India

3 Mins read
Diplomasi tidak selalu tentang negosiasi politik yang rumit atau perjanjian ekonomi yang kompleks. Terkadang, diplomasi menemukan bentuknya dalam ikatan budaya yang mendalam,…
Bhinneka Tunggal Ika

100 Tahun Pram: Membaca Ulang Narasi Indonesia dalam Konteks Global

4 Mins read
Ketika kita memperingati seratus tahun kelahiran Pramoedya Ananta Toer pada 2025, kita dihadapkan pada sebuah pertanyaan penting: bagaimana kita memahami warisan intelektual…
Power your team with InHype
[mc4wp_form id="17"]

Add some text to explain benefits of subscripton on your services.