Sutan Sjahrir (variasi penulisan nama: Soetan Sjahrir, Sutan Syahrir, 5 Maret 1909 – 9 April 1966) adalah seorang intelektual, perintis, dan revolusioner kemerdekaan Indonesia. Setelah Indonesia merdeka, ia menjadi politikus dan perdana menteri pertama Indonesia. Ia menjabat sebagai Perdana Menteri Indonesia dari 14 November 1945 hingga 20 Juni 1947. Sjahrir mendirikan Partai Sosialis Indonesia pada tahun 1948. Ia meninggal dalam pengasingan sebagai tawanan politik dan dimakamkan di TMP Kalibata, Jakarta. Sutan Sjahrir ditetapkan sebagai salah seorang Pahlawan Nasional Indonesia pada tanggal 9 April 1966 melalui Keppres nomor 76 tahun 1966.
Riwayat Pendidikan Sutan Sjahrir
Sjahrir lahir dari pasangan Mohammad Rasad dengan gelar Maharaja Soetan bin Leman dan gelar Soetan Palindih di Koto Gadang, Agam, Sumatra Barat dan Puti Siti Rabiah yang berasal dari negeri Natal, Mandailing Natal, Sumatra Utara (situs Sutan Sjahrir.com). Ayahnya menjabat sebagai penasehat sultan Deli dan kepala jaksa (landraad) di Medan. Sjahrir bersaudara seayah dengan Rohana Kudus, aktivis serta wartawan wanita yang terkemuka. Sjahrir bersaudara kandung dengan Soetan Sjahsam, seorang makelar saham pribumi paling berpengalaman pada masanya dan Soetan Noeralamsjah, seorang jaksa dan politikus Partai Indonesia Raya (Parindra) (https://tirto.id/rumitnya-kisah-asmara-sutan-sjahrir-dan-maria-duchateau-cFTX).
Sjahrir mengenyam pendidikan di sekolah dasar (ELS) dan sekolah menengah (MULO) terbaik di Medan. Hal ini mengantarkannya kepada berbagai buku-buku asing dan ratusan novel Belanda. Malamnya dia mengamen di Hotel De Boer (kini Hotel Natour Dharma Deli), hotel khusus untuk tamu-tamu Eropa.
Pada 1926, ia selesai dari MULO, masuk sekolah lanjutan atas (AMS) di Bandung. Di sekolah itu, dia bergabung dalam Himpunan Teater Mahasiswa Indonesia (Batovis) sebagai sutradara, penulis skenario, dan juga aktor. Hasil mentas itu dia gunakan untuk membiayai sekolah yang ia dirikan, Tjahja (Wikipedia).
Pengujung tahun 1931, Sjahrir meninggalkan kampusnya untuk kembali ke tanah air dan terjun dalam pergerakan nasional. Sjahrir segera bergabung dalam organisasi Partai Nasional Indonesia (PNI Baru), yang pada Juni 1932 diketuainya. Pengalaman mencemplungkan diri dalam dunia proletar ia praktikkan di tanah air. Sjahrir terjun dalam pergerakan buruh. Ia memuat banyak tulisannya tentang perburuhan dalam Daulat Rakyat. Ia juga kerap berbicara perihal pergerakan buruh dalam forum-forum politik. Mei 1933, Sjahrir didaulat menjadi Ketua Kongres Kaum Buruh Indonesia.
Hatta kemudian kembali ke tanah air pada Agustus 1932, segera pula ia memimpin PNI Baru. Bersama Hatta, Sjahrir mengemudikan PNI Baru sebagai organisasi pencetak kader-kader pergerakan. Berdasarkan analisis pemerintahan kolonial Belanda, gerakan politik Hatta dan Sjahrir dalam PNI Baru justru lebih radikal ketimbang Soekarno dengan PNI-nya yang mengandalkan mobilisasi massa. PNI Baru, menurut polisi kolonial, cukup sebanding dengan organisasi Barat. Meski tanpa aksi massa dan agitasi; secara cerdas, lamban namun pasti, PNI Baru mendidik kader-kader pergerakan yang siap bergerak ke arah tujuan revolusionernya.
Karena takut akan potensi revolusioner PNI Baru, pada Februari 1934, pemerintah kolonial menangkap, memenjarakan, kemudian membuang Sjahrir, Hatta, dan beberapa pemimpin PNI Baru ke Boven-Digoel. Hampir setahun dalam kawasan malaria di Papua itu, Hatta dan Sjahrir dipindahkan ke Banda Neira untuk menjalani masa pembuangan selama enam tahun.
Masa-Masa AKhir Sutan Sjahrir
Sutan Sjahrir tak bisa bicara. Sebelumnya, pada awal 1965, ia terjatuh di kamar mandi Rumah Tahanan Militer (RTM) Budi Utomo, Jakarta. Serangan stroke berulang. Dokter melakukan operasi. Tangan dan kaki kanan bisa digerakkan, tapi kemampuan bicara lenyap. Kondisi kesehatannya terus memburuk.
Pada 21 Juli 1965, persis 57 tahun silam, perdana menteri pertama Republik Indonesia itu diberangkatkan ke Zurich, Swiss, untuk berobat. Ia didampingi sang istri, Siti Wahjunah atau Poppy, dan kedua anak mereka, Kriya Arsyah atau Buyung dan Siti Rabyah Parvati atau Upik.
Keberangkatan dimungkinkan setelah Poppy menyampaikan permohonan ke Presiden Sukarno agar suaminya diperkenankan berobat ke luar negeri. Sukarno mengabulkan. Hanya, seperti dicatat sejarawan Rudolf Mrazek dalam Sjahrir: Politics and Exile in Indonesia, ada satu syarat: pengobatan tidak boleh di Belanda. Pilihan jatuh ke Swiss lantaran alasan bahasa, yaitu Sjahrir bisa sedikit berbahasa Jerman – yang dipakai sebagian warga di sana.
Jurnalis Rosihan Anwar turut mengantarkan ke Bandara Kemayoran. “Bung akan baik lagi,” kata Rosihan lalu mencium kedua pipi Sjahrir, seperti dituliskannya dalam Sebelum Prahara: Pergolakan Politik Indonesia 1961-1965. Sjahrir hanya mengeluarkan bebunyian tanpa makna. Itulah hari terakhirnya di Tanah Air sebelum wafat.
Pendiri Partai Sosialis Indonesia (PSI) tersebut diberangkatkan ke Swiss dengan berstatus tahanan. Menjelang fajar, pada 16 Januari 1962, ia dicokok di rumahnya di kawasan Menteng, Jakarta Pusat. Juga ditangkap mantan Menteri Luar Negeri Anak Agung Gde Agung, politisi PSI Soebadio Sastrosatomo, dan Sultan Hamid II Alkadri. Pun ditahan para petinggi Masyumi: Prawoto Mangkusasmito, Yunan Nasution, Isa Anshary, dan Mohamad Roem.
Tuduhan dialamatkan ke mereka setelah menghadiri upacara ngaben Raja Gianyar pada 18 Agustus 1961. Anak Agung Gde Agung, putra sang raja, mengundang sejumlah rekan untuk menghadiri ngaben di kampung halamannya. Para undangan khusus itu adalah mantan Wapres Mohammad Hatta, politisi PSI Hamid Algadri, Sjahrir, Sultan Hamid, Soebadio, dan Roem.
Upacara berlangsung lancar. Tapi beberapa bulan kemudian, bergulir laporan ke pihak intelejen: para tokoh hadir di Gianyar untuk membahas upaya penggulingan pemerintahan Sukarno.
Semua ini terjadi pada masa Demokrasi Terpimpin yang awalnya ditandai Dekrit 5 Juli 1959. Sukarno kembali menjadi kepala pemerintahan, bukan lagi sekadar simbol seperti masa Demokrasi Liberal. Di sisi kanan, ada Angkatan Darat. Partai Komunis Indonesia (PKI) menempati posisi kiri. Keduanya bersaing, memperebutkan rangkulan Pemimpin Besar Revolusi.
Pada Agustus 1960, PSI dan Masyumi telah dibubarkan karena dianggap terlibat PRRI-Permesta. Di luar tuduhan itu, keduanya niscaya juru kritik paling lantang terhadap Sukarno di awal Demokrasi Terpimpin.
Akhir Hidup Sutan Sjahrir
Tahun 1955 PSI gagal mengumpulkan suara dalam pemilihan umum pertama di Indonesia. Setelah kasus PRRI tahun 1958,[6] hubungan Sutan Sjahrir dan Presiden Soekarno memburuk sampai akhirnya PSI dibubarkan tahun 1960.
Tahun 1962 hingga 1965, Sjahrir ditangkap dan dipenjarakan tanpa diadili sampai menderita stroke. Setelah itu Sjahrir diizinkan untuk berobat ke Zürich, Swiss. Salah seorang kawan dekat yang pernah menjabat wakil ketua PSI Sugondo Djojopuspito mengantarkannya ke Bandara Kemayoran dan Sjahrir memeluk Sugondo dengan air mata. Sjahrir akhirnya meninggal di Swiss pada tanggal 9 April 1966.
*Tulisan ini diambil dari beberapa sumber