NKRI

Bukan Negara Tidak Boleh Kalah, Tapi Antar Aparat Negara Tidak Kompak

4 Mins read

Menteri Agama, Yaqut Cholil Qaumas, baru-baru ini memberikan pernyataan tentang terhambatnya pembangunan gereja HKPB di Cilegon, “negara tidak boleh kalah.” Kemenag melalui direktorat yang berwenang sudah melakukan upaya pendekatan terhadap pihak-pihak di daerah Cilegon untuk memberikan izin pada pendirian HKBP.

Perkara pendirian rumah ibadah di wilayah mayoritas Muslim memang selalu menjadi masalah. Dari satu masalah yang belum selesai ke masalah baru. Bahkan persoalan Gereja Yasmin di Bogor terus berlarut, padahal pelbagai level dan kalangan, negara maupun non-negara, terus mendesak agar masalah ini selesai.

Banyak persoalan pendirian rumah ibadah itu bermula dari masalah yang tidak besar misalnya masalah izin dari masyarakat sekitar. Namun jika permasalahan yang tadinya tidak besar, namun karena berlarut-larut, lalu menjadi membesar dan semakin rumit untuk dicarikan penyelesaiannya, karena pihak yang berkepentingan dan bermain di atas masalah ini menjadi semakin banyak. Karenanya, masalah menjadi komplek.

Benar apa yang dikatakan oleh Menteri Agama bahwa negara tidak boleh kalah. Namun apa yang dimaksud dengan negara oleh Menteri Agama. Dahulu SBY ketika menghadap kerusuhan FPI juga mengatakan negara tidak boleh kalah. Jokowi juga selalu mengatakan demikian jika adalah masalah-masalah yang krusial.

Tapi yang dimaksud dengan istilah negara di sini itu apa?

Mari kita renungkan bersama-sama dengan melakukan refleksi atas peristiwa-peristiwa pendirian rumah ibadah kelompok minoritas yang banyak mendapat hambatan di tangkat daerah. Renungan pertama, bukankah tantangan pendirian rumah ibadah minoritas di daerah itu juga merupakan kontribusi dari negara, jika misalnya walikota tidak memberikan izin? Maksud saya di sini, ketika bicara negara, maka walikota sebenarnya adalah bagian dari negara dalam level yang paling dekat dengan masyarakat. Pemerintah daerah tingkat dua adalah elemen negara yang sebenarnya merupakan pihak yang secara langsung berurusan dengan rakyat.

Karenanya, jika kasus pendirian gereja HKPB di Cirebon itu melibatkan walikota dalam bentuk tidak dikeluarkannya izin, maka jelas di sini “negara, pada level walikota, telah kalah.” Karenanya, pernyataan Kemenag itu sebetulnya adalah pernyataan dari pejabat negara satu ke pejabat negara lain pada level dan hirarki kekuasaan yang berbeda-beda.

Hal ini menjadi perhatian saya karena sampai sekarang dalam banyak kasus pendirian rumah ibadah minoritas, “negara” ini sering dibawa-bawa, namun pembawanya tidak mampu menjelaskan sebenarnya apa itu negara.

Dari perspektif yang saya pakai ini, kasus-kasus yang menimpa rumah ibadah yang banyak terhambat pendiriannya, meskipun itu sangat dibutuhkan oleh umat mereka, sebenarnya bukan “negara tidak boleh kalah, namun antar negara –katakanlah pejabat dan apparat negara dalam pelbagai levelnya—tidak memiliki kesamaan cara pandang untuk memberikan jawaban atas masalah ini.

Jika Presiden, Menteri Agama, dan misalnya keputusan MA memberikan mandat agar sebuah gereja bisa dibangun, namun tadi, pemerintah daerah tidak mau melaksanakan karena masyarakat sekitar belum mengizinkan, maka itu bukan soal negara tidak boleh kalah, namun ini persoalan keputusan atau perintah pejabat negara di level yang berada pada level di atas tidak dipatuhi oleh pejabat yang berada pada level di bawah.

Kasus HKPB Cilegon atau kasus-kasus lain yang melibatkan silang pandang di kalangan pejabat dan aparat negara jelas itu menunjukkan negara memang kalah. Kalah yang dimaksud di sini adalah, kalah di antara mereka sendiri. Jika semua dari mereka yang disebut negara ini akur dan kompak dalam memandang regulasi, UU dan lain sebagainya, maka persoalan kisruh pendirian rumah ibadah tidak akan terjadi.

Renungan kedua, masalah rumah ibadah ini sebenarnya masih bersifat sentralistik karena ini bagian dari agama yang tidak terkena desentralisasi. Meskipun ini masih menjadi urusan agama, dan negara memiliki Kementerian Agama, namun banyak kasus yang menyangkut masalah ini, kementerian ini tidak bisa menjalankan perannya secara efektif.

Jika dalam masalah izin pendirian HKPB di Cilegon ini tidak dikeluarkan oleh Walikota, maka apa yang bisa dilaksanakan oleh Kemenag.

Kita sangat mengapresiasi upaya Gus Men Yaqut untuk menyelesaikan masalah ini dengan melalukan persuasi pada walikota Cilegon, dan saya berharap walikota akan mengeluarkan izin setelah bertemu dengan Gus Men. Kalau itu berhasil bagus namun itu tetap bukan penyelesaian dalam konteks negara tidak boleh kalah. Mengapa demikian? Karena jika Walikota tetap bersikukuh tidak mengeluarkan izin dengan alasan bahwa masyarakat setempat masih protes, maka apa sebenarnya yang bisa dilakukan oleh pejabat negara yang lebih atas? Tidak ada.

Katakanlah misalnya walikota Cilegon tidak berkenan mengeluarkan izin pembangunan HKPB, maka Kemenag tidak bisa memberikan sanksi apa-apa karena Kemenag tidak memiliki hak untuk memberikan sanksi pada walikota karena walikota tidak menjadi bagian dari Kemenag.

Pernyataan “negara tidak boleh kalah” ini memang enak diucapkan, namun sulit untuk dilaksanakan di lapangan.

Banyak kasus-kasus di daerah yang berkaitan dengan konflik keagamaan selalu dijawab dengan “negara tidak boleh kalah.” Harusnya, para pejabat negara di pusat bertanya, “kenapa negara sering kalah” dalam masalah seperti ini?

Dengan bertanya pada “mengapa negara sering kalah” artinya tidak memiliki fungsi dan peran untuk warga negaranya yang sedang ditindas dan yang sedang menindas, maka kita akan bisa menemukan kelemahan-kelemahan atas peristiwa yang sering sering terjadi.

Jika kita selalu mengatakan dan meneguhkan “negara tidak boleh kalah,” maka kita akan tertutup dari akan kedigdayaan negara padahal yang terjadi negara tidak terlalu digdaya.

Kita harus mencari kerangka penyelesaian yang mendasar atas masalah ini. Masalah sebenarnya bukan pada “siapa yang mengalahkan negara,” namun mengapa elemen-elemen negara dalam pelbagai levelnya memiliki cara pandang yang berbeda-beda. Jika kita bisa menemukan penyebab mengapa mereka selalu berbeda, maka kita akan bisa mencari penyelesaiannya. Namun jika kita tidak mampu menemukan penyebab perbedaan, dan malah meneguhkan “negara tidak boleh kalah” terus menerus, maka tanda bahwa kita masih jauh dari penyelesaian yang komprehensif atas masalah pembangunan rumah ibadah di daerah itu semakin nyata.

Sebagai catatan, upaya Gus Men untuk mempersuasi walikota Cilegon agar memberikan izin pada HKPB untuk mendirikan geraja itu perlu diapresiasi, namun hal yang lebih penting sebenarnya adalah bagaimana jika antar pejabat negara dalam level pusat dan daerah bisa satu cara pandang untuk menyelesaikan masalah rumah ibadah minoritas yang terus menerus terjadi.

Syafiq Hasyim

Pengajar pada FISIP UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta dan Visiting Fellow pada Indonesia Programs ISEAS Singapore. Tulisan ini merupakan pandangan pribadi.
2118 posts

About author
Pilarkebangsaan.com adalah media yang menfokuskan diri pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan kenegaraan
Articles
Related posts
NKRI

Haji Fachrodin, Tokoh Muhammadiyah di Jalur Kiri

6 Mins read
Tokoh utama di Muhammadiyah yang telah terinfiltrasi ideologi Marxisme adalah Haji Fachrodin, salah seorang murid ideologis K.H. Ahmad Dahlan. Bagaimana lika-liku beliau…
NKRI

Pandangan Historis Kenapa Kalimantan Timur Jadi Ibu Kota Negara

1 Mins read
Kutai itu kalau diibaratkan dengan buku Pramoedya Ananta Toer adalah Bumi Manusia dan Anak Semua Bangsa. Selain karena Kutai adalah awal kerajaan…
NKRI

Naifnya Pengedar Khilafah dalam Merusak Bangsa Indonesia

2 Mins read
Bagi para pengedar paham khilafah, perbedaan jatuhnya bulan Ramadan di Indonesia dianggap salah. Mereka kira, perbedaan ini bentuk dari persoalan dan ketidakakuran…
Power your team with InHype

Add some text to explain benefits of subscripton on your services.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *