Kalau kita bicara soal pembangunan desa, pasti nggak lepas dari yang namanya BUMDes alias Badan Usaha Milik Desa. Lembaga ini sebenarnya punya peran penting banget: membantu menggerakkan ekonomi desa, menciptakan lapangan kerja, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal. Tapi sayangnya, nggak semua BUMDes bisa berjalan sesuai harapan.
Banyak BUMDes yang masih jalan di tempat, bahkan ada yang udah “mati suri”. Kenapa bisa begitu? Jawabannya: manajemen yang lemah.
Salah satu masalah utama yang sering ditemui adalah kurangnya kemampuan pengelola dalam manajemen usaha. Banyak dari mereka belum pernah dapat pelatihan bisnis, nggak terbiasa bikin laporan keuangan, bahkan belum punya strategi pemasaran yang jelas. Padahal, ini semua penting banget supaya BUMDes bisa bertahan dan berkembang.
Belum lagi kalau pengelolaannya kurang transparan—masyarakat jadi nggak percaya dan akhirnya enggan terlibat. Akibatnya, BUMDes malah jadi beban, bukan solusi.
Terus, solusinya apa dong? Sederhana tapi nggak mudah: perkuat manajemennya!Ini beberapa langkah yang bisa dilakukan:
Pengelola BUMDes butuh pelatihan yang komprehensif. Mulai dari perencanaan usaha, pencatatan keuangan, sampai digital marketing. Jangan cuma asal tunjuk orang, tapi pastikan mereka punya kemampuan dan semangat belajar.
Pemerintah desa bisa kerja sama dengan universitas, LSM, atau konsultan bisnis untuk mendampingi BUMDes. Ini penting supaya ada transfer ilmu dan pengalaman.
Bikin laporan keuangan yang terbuka, adakan rapat rutin, dan libatkan warga dalam pengambilan keputusan. Semakin banyak yang merasa memiliki, semakin besar peluang suksesnya.
BUMDes itu ibarat mesin ekonomi desa. Tapi mesin sehebat apapun nggak akan jalan kalau nggak ada yang bisa mengoperasikan dengan benar. Dengan manajemen yang solid, BUMDes bisa jadi kebanggaan desa, bukan sekadar formalitas.
Di tengah geliat pembangunan nasional yang semakin mendesak kebutuhan akan pemerataan kesejahteraan, Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) hadir sebagai salah satu instrumen strategis untuk mengangkat potensi ekonomi lokal. Harapan itu besar, bahkan barangkali terlalu besar untuk sebuah institusi yang masih muda, yang bertumpu pada semangat gotong royong warga desa. Namun, realitas di lapangan sering kali menunjukkan jarak yang lebar antara idealisme dan implementasi.
Gagasan tentang BUMDes bukan sekadar wacana administratif. Ia lahir dari semangat Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa yang secara eksplisit menempatkan desa bukan lagi sekadar objek pembangunan, melainkan subjek utama dalam merancang masa depannya sendiri. BUMDes dimaksudkan menjadi entitas ekonomi yang mampu mengelola aset desa, menciptakan lapangan kerja, serta meningkatkan pendapatan asli desa secara berkelanjutan. Dalam bayangan banyak orang, BUMDes adalah miniatur BUMN, tetapi dalam skala lokal dan dengan ruh pemberdayaan.
Namun membayangkan BUMDes sebagai penggerak ekonomi desa ibarat membayangkan pohon rindang dari benih yang baru ditanam: ia butuh tanah yang subur, air yang cukup, cahaya yang tepat, dan tentu saja, petani yang paham cara merawatnya. Di sinilah tantangan terbesar BUMDes kerap bermuara—pada kapasitas dan manajemen.
Banyak desa antusias membentuk BUMDes segera setelah payung hukum tersedia. Program-program pelatihan dan pendampingan pun digulirkan oleh berbagai instansi, mulai dari kementerian hingga LSM lokal. Di atas kertas, hampir semua desa telah memiliki BUMDes, tetapi tak semuanya tumbuh sehat. Tidak sedikit BUMDes yang hanya aktif dalam fase awal, kemudian mati suri karena masalah internal: konflik kepentingan, lemahnya akuntabilitas, minimnya transparansi, atau bahkan tidak adanya rencana bisnis yang jelas.
Ambil contoh di sebuah desa di Jawa Tengah. Dengan semangat membara, mereka membentuk BUMDes yang bergerak di sektor perdagangan sembako dan pengelolaan air bersih. Modal awal disuntikkan dari Dana Desa, lalu dibelikan barang dagangan. Sayangnya, tanpa perencanaan yang matang, unit usaha tidak berjalan sesuai harapan. Pembukuan dilakukan seadanya, laporan keuangan sulit dipertanggungjawabkan, dan manajer BUMDes tidak memiliki pengalaman atau pelatihan dasar tentang manajemen usaha. Tidak heran bila setelah dua tahun, aktivitas BUMDes berhenti tanpa kejelasan. Alih-alih menjadi penggerak ekonomi, BUMDes justru menjadi sumber kekecewaan warga.
Namun, tidak semua cerita tentang BUMDes berakhir muram. Di banyak tempat, BUMDes justru menjelma sebagai pengungkit perubahan. Desa Ponggok di Klaten, Jawa Tengah, adalah contoh yang kerap disebut. Melalui BUMDes Tirta Mandiri, mereka mampu mengelola potensi wisata air yang ada di desanya menjadi sumber pendapatan luar biasa. Keberhasilan itu tidak datang tiba-tiba. Ia dibangun dengan visi yang jelas, tim pengelola yang profesional, dan yang tak kalah penting, dukungan penuh dari masyarakat serta transparansi yang terus dijaga.
Keberhasilan Desa Ponggok dan desa-desa lain yang mengikuti jejaknya menunjukkan satu hal penting: BUMDes bukan soal besar atau kecilnya modal awal, tetapi tentang bagaimana modal itu dikelola. Manajemen yang kuat, transparan, dan berbasis kebutuhan riil masyarakat menjadi kunci mutlak. Dalam konteks ini, pendekatan kewirausahaan sosial menjadi relevan. BUMDes bukan sekadar entitas dagang, melainkan alat untuk membangun nilai tambah sosial, memberdayakan warga, dan memperkuat ketahanan ekonomi lokal.
Namun pertanyaan besarnya tetap sama: apakah semua desa memiliki sumber daya manusia yang cukup untuk itu?
Jawabannya, belum tentu. Dan inilah tantangan berikutnya. Jika BUMDes adalah kendaraan, maka pengelolanya adalah sopirnya. Tanpa sopir yang andal, kendaraan itu hanya akan diam, atau lebih buruk, oleng dan menabrak. Maka kebutuhan akan pelatihan, peningkatan kapasitas, pendampingan jangka panjang, dan pembinaan berbasis data menjadi hal yang mendesak. Pemerintah pusat dan daerah tak bisa sekadar mendorong pembentukan BUMDes secara kuantitatif; mereka harus menjamin kualitas pengelolaan lewat ekosistem pendukung yang solid.
Selain itu, diperlukan pula skema insentif dan pengawasan yang seimbang. Banyak BUMDes yang justru terhambat karena terlalu dibebani urusan administratif dan kurang fleksibel dalam berinovasi. Di sisi lain, pengawasan yang longgar bisa menjadi celah bagi penyimpangan dana. Maka negara perlu hadir dengan pendekatan yang adaptif: tidak terlalu mengekang, tapi juga tidak melepas begitu saja.
Tak kalah penting adalah peran masyarakat. BUMDes idealnya tumbuh dari kebutuhan dan inisiatif warga, bukan hanya karena instruksi dari atas. Tanpa partisipasi warga, BUMDes akan kehilangan rohnya. Oleh karena itu, penguatan literasi ekonomi warga desa perlu menjadi agenda paralel. Ketika masyarakat melek ekonomi dan memahami peran mereka sebagai bagian dari BUMDes, maka transparansi dan akuntabilitas bisa tumbuh lebih alami.
BUMDes adalah harapan yang masih hidup. Ia bukan sekadar instrumen pembangunan ekonomi, tetapi juga simbol kedaulatan desa dalam mengelola kekayaannya sendiri. Namun seperti harapan pada umumnya, ia perlu dijaga dengan kerja keras, komitmen, dan kemampuan teknis yang mumpuni. Mengelola BUMDes bukan hanya soal mencari untung, tetapi tentang membangun masa depan bersama—dari desa, oleh desa, dan untuk desa.