Anak bangsa ini mengenalnya sebagai proklamator kemerdekaan. Namanya menandai banyak jalan di setiap kota di negeri ini. Jadi, ingatan atas dirinya bagi banyak orang juga bisa mengikat pada tempat-tempat yang dianggap penting pada jalan-jalan itu. Masjid, warung tegal, pom bensin, atau mungkin sebuah kantor organisasi anti-Pancasila. Dan gaya pidatonya itu begitu khas.
Di masa kini, kita dapat melihatnya pada video-video hitam putih yang beredar di youtube. Karakternya amat kuat. Ketegasan dan seringkali meledak-ledak.
Namun, proklamasi seakan tak terkalahkan menjadi âmantraâ bagi kehidupannya. Frasa âatas nama Bangsa Indonesia, Soekarno-Hattaâ terus terngiang di telinga ketika mencoba mengingat namanya. Kecuali bagi mereka yang sekolah dasarnya berani kurang ajar untuk tidak menyelenggarakan upacara bendera tiap Senin bahkan saat tujuh belas Agustus pun tidak. Saya dengar sekolah-sekolah semacam ini ada di negeri yang merdeka dengan proklamasinya itu.
Patung-patung menuntaskan pengabadian simbolnya sebagai sang proklamator. Baik sendiri maupun bersama Bung Hatta, patung-patung itu mengentalkan gambaran tentang dirinya. Tinggi dan gagah, kadang terlalu berotot. Pemerintah berkepentingan membuat simbol yang mudah diingat atas diri pendiri bangsa. Anak negeri ini tak perlu merasa puas dengan âimajiâ itu.
Kehidupannya tentu bukan satu menit pembacaan pengumuman kemerdekaan Indonesia. Enam puluh sembilan tahun jantung berdetak tak bisa diperas menjadi satu menit yang amat singkat. Sebagai anak bangsa ini, saya heran kenapa sedikit sekali ingatan saya tentang sang pendiri bangsa. Mungkin juga anda. Di antara tema yang amat sedikit terdengar terkait dengannya adalah pemikiran keislaman. Sebagai presiden bagi rakyat Muslim terbesar di dunia ini, pandangannya tentang Islam tentu ada dan amatlah penting.
***
Pembacaan mengantarkan kita pada Dibawah Bendera Revolusi Jilid 1 (2016). Sebuah artikel mampu mengejutkan pembaca milenial yang lahir di era de-soekarnoisasi. Soekarno seakan meledek agama Islam. âIslam Sontoloyoâ senada dengan Islam Gendheng, atau lebih kasar lagi Islam Goblok. Tapi tidak perlu pembaca merasa bahwa Bung Karno menista agama. Terlalu picik untuk menilainya dari judul semata. Namun hal aneh seperti itu bisa saja terjadi, seperti yang dilakukan para pembencinya dulu mungkin hingga kini.
âIslam Sontoloyoâ justru mengungkapkan kecintaan besar Soekarno pada Islam. Kemarahannya amat wajar. Apalagi agama yang dianutnya dibajak oleh orang-orang tak bermoral. Pembelaannya pada Islam bukan pembelaan ala mereka yang baru masih lugu sehingga menganggap semua tulisan Arab adalah al-Quran dan layak dimuliakan. Soekarno membela dengan moralitas dan pemahaman Islam yang matang.
Situasinya adalah seorang guru agama menzinahi murid-murid yang hendak belajar agama kepadanya. Sudah cukup alasan seorang dilaknat karena berzina. Terlebih lagi jika pelaku seorang guru agama yang tugasnya mengkhotbahkan kehidupan yang berakhlak mulia. Namun puncak dari kebiadaban yang disebut Soekarno sebagai tindakan âDajjalâ adalah karena dia membawa nama Tuhan dan Nabi Muhammad sebagai bahan rayuan.
Guru ini mengatakan bahwa dirinya telah bertemu dan berbincang dengan Sang Nabi Agung. Suatu kedudukan yang hanya diperoleh oleh mereka yang telah dekat dengan Tuhan, sehingga bisa bertemu dengan utusan-Nya. âJika ingin sepertiku, bertemu Nabi dan dekat kepada Tuhan, maka aku akan ajarkan caranyaâ, begitu kira-kira bujuk rayunya.
Setiap malam Jumat mereka yang ingin mendekat kepada Tuhan diajak berzikir sedari maghrib hingga subuh. Perempuan ditempatkannya di dalam rumah, sedangkan laki-laki ada di langgar. Dalam narasi rayuannya dia menegaskan bahwa perempuan-perempuan ini seharusnya tidak dapat dilihat oleh laki-laki manapun.
Namun, lanjutnya, karena perempuan itu harus diajari ajaran yang amat penting dan harus bertatap muka dan berbincang, maka terlebih dahulu mereka âdihalalkanâ sekalian. Yang menikahkan dirinya sendiri, yang menikah juga dirinya sendiri. Bila wanita itu punya suami dan merupakan muridnya pula, maka dicerai dihadapannya dengan talaq tiga terlebih dahulu. Bila perempuan itu gadis, maka dia nikahi langsung. Luar biasa rayuan Dajjal ini.
Soekarno mengungkapkan bahaya Dajjal yang sedang bermain pikabo dengan Tuhan. Seakan Tuhan tidak melihat kebusukan niat mereka. Soekarno mewanti bahwa ini bisa terjadi karena seorang merasa agama ini hanyalah aspek lahiriah semata. Tanpa moralitas tinggi (akhlaqul karimah). Padahal dalam satu hadis yang dinisbahkan kepada Nabi Saw. seorang menemukan âAku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang agungâ.
Tapi Nabi sudah pernah mewanti mengenai hal ini pula. Dalam Bidayatul Hidayah Imam al-Ghazali menyitir hadis Nabi tentang Ulama Suâ. âSaya lebih takut pada sesuatu yang menimpa kalian selain Dajjalâ. âApa itu wahai Rasulullahâ. âMaka Nabi menjawab: âUlama Suââ. Ulama yang bejat (Ulama Suâ) akan mengajak kepada keburukan dengan rayuan-rayuan agama. Menjadikan ilmu yang dimilikinya sebagai sarana untuk memperoleh kenikmatan duniawi semata. Bagi mereka, ilmu agama hanya sarana untuk mendekat kepada penguasa dan mendapatkan harta. Ulama jenis ini menjauhkan orang-orang dari Islam alih-alih mendekatkan mereka.
***
Pembacaan lanjutan mengantarkan kita pada keyakinan akan pemahaman Soekarno pada sejarah Islam dan ushul fikih. Sebuah artikel dalam Panji Islam awal Juli 1941 mengajukan judul âBloedtranfusie dan Sebagian Kaum Ulamaâ. Kisahnya berkisar pada rencana pembahasan donor darah dalam Kongres Muslimin Indonesia (KMI) ketiga yang digelar oleh al-Madjlisul Islamil âAla Indonesia (MIAI) pada 5-8 Juli 1941 di Solo, Jawa Tengah.
Sikap para ulama sebelum acara resmi itu terbagi. Sebagian memperbolehkan dan sebagian lainnya melarang. Menurut Soekarno alasan para ulama yang mengharamkan adalah karena darah orang Muslim suci, sedangkan tubuh orang kafir tidak suci, maka haram memasukkan yang suci ke dalam yang tidak suci.
Soekarno menggunakan Maqashidusy Syariah di dalam menjawab hal ini. Menjaga hidup (hifdzun nafs) adalah salah satu tujuan pokok agama. Donor darah adalah salah satu usaha dalam menjaga nyawa seseorang, maka seharusnya tidak ada larangan, bahkan dalam kondisi khusus menjadi wajib, untuk mendonorkan darah terhadap Muslim ataupun non-Muslim. Terlebih lagi, dalam paparan Soekarno, Islam dipenuhi dengan contoh nyata tentang budi pekerti yang amat mulia termasuk kepada musuh dalam peperangan.
Namun, narasi lebih lengkap diberikan dari utusan Nahdlatul Ulama (NU) dalam kongres tersebut. KH. Ahmad Iljas menjelaskan kondisi donor yang berbeda menciptakan hukum yang berbeda. Sebuah penjelasan yang lebih menyeluruh dari seorang ulamanya ulama. Menurutnya, pada dasarnya donor darah adalah mubah seperti hukum pemberian. Namun kondisi di mana donor darah digunakan sebagai modal moral bagi peperangan bukan di jalan Allah, bahkan menyerang umat Islam sendiri, maka donor darah itu menjadi haram. Paling tidak umat Islam tidak ikut mendorong terciptanya rasa siap perang pada peperangan yang demikian (Lihat https://www.nu.or.id/post/read/63440/nu-pernah-haramkan-donor-darah-apa-pasal).
Lalu, apabila tentara itu benar-benar perang, terluka parah, menyerah dan kehabisan darah. Apa hukum donor darah dalam kondisi demikian. Dalam kondisi ini, saya percaya fatwa ulama NU akan lebih kompleks. Gampangnya, situasi berubah maka hukum berubah. Bisa jadi hukumnya adalah wajib karena seperti narasi Soekarno bahwa menjaga hidup adalah salah satu tujuan utama syariah.
***
Pada akhirnya kita bisa berkata. Dua artikel memberikan gambaran akan cinta dan pemahaman Soekarno pada Islam. Dia mencintai Islam dengan ilmu sehingga para penghasut agama harus dilawan. Dia memahami bahwa Islam bukan hanya fikih, namun juga ushul fikih yang mencipta etika dan adab (tasawuf). Namun, gambaran Soekarno yang memiliki pemahaman keagamaan Islam cukup dalam seperti ini tidak banyak dimunculkan, bukan?