SAAT bicara soal anak yang masuk TK (Taman Kanak-kanak), maka orientasi terhadap lembaga pendidikan terbawah — meski ada PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini) — mulai berubah. Biasanya terbelah pada dua sisi. Yakni, bagi orangtua, berharap anak-anak harus segera bisa Calistung (baCA tuLIS hiTUNG). Bagi pengatur pendidikan (Dinas Pendidikan dan institusi terkait), bahwa TK adalah arena bermain dan belajar; yang bisa diuraikan sebagai hanya pengenalan terhadap Calistung bukan inti dari pembelajaran.
Saling silang pendapat terhadap ‘dua kepentingan’ ini terus terjadi. Sepertinya tidak berkesudahan. Menjadi dilema yang berkepanjangan. Apalagi, kenyataannya pada pendidikan yang menjadi kelanjutannya, SD (Sekolah Dasar), seakan mengharuskan para siswa untuk bisa Calistung. Bahkan, di SD-SD tertentu, tes masuk yang diminta terhadap anak adalah Calistung. Ini standar dan ukuran kemampuan anak yang tidak terbantah.
Jadi, adalah wajar jika para orangtua sepertinya ngotot menginginkan anaknya yang masuk TK, keluarnya dari situ sudah bisa Calistung. Jadi, dengan kata lain permintaan orangtua agar anaknya bisa Calistung merupakan kewajiban yang harus dipenuhi.
Jika tidak? Apalagi, kalau bukan menganggap TK tersebut sebagai buruk dan orangtua pun menyesal memasukkan anaknya ke situ, mengingat tidak ada bekal yang bisa dibawa untuk masuk ke SD. Sekaligus menjadi jelek lah nama TK tersebut.
Para penyelengggara TK, demi tidak mau nama baiknya jelek, kemudian seperti menyetujui pendapat sebagian orangtua yang tidak mau mengerti soal tumbuhkembang anak. Dengan menggenjot para muridnya dengan penekanan pada Calistung. Target setiap anak bisa Calistung menjadi hal utama.
Unsur bermain yang seharusnya menjadi inti dari pembelajaran di TK terabaikan. Para murid TK tanpa disadari dibentuk secara otomatis seperti mereka yang duduk di SD. Kesalahan ini semakin terjerambab karena orangtua sangat senang jika anaknya dikasih pekerjaan rumah (pr).
Padahal, hakekat diadakannya TK adalah untuk meningkatkan daya cipta anak-anak dan memacunya untuk belajar mengenal berbagai macam ilmu pengetahuan. Yakni, melalui pendekatan nilai budi bahasa, agama, sosial, emosional, fisik, motorik, kognitif, bahasa, seni, dan kemandirian. Semua dirancang sebagai upaya mengembangkan daya pikir dan peranan anak dalam hidupnya. Kegiatan belajar ini dikemas dalam model belajar sambil bermain.
Undang-undang Sistem pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003 Pasal 28 menyatakan, “Pendidikan aak usia dini pada jalur pendidikan formal berbentuk Taman Kanak-kanak (TK), Raudhatul Athfal, atau bentuk lain yang sederajat”.
TK adalah jenjang pendidikan formal pertama yang memasuki anak usia 4-6 tahun, sampai memasuki pendidikan dasar. Menurut Peraturan Pemerintah nomor 27 tahun 1990, tentang pendidikan prasekolah BAB I pasal 1 disebutkan “Pendidikan prasekolah adalah pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani anak didik diluar lingkungan keluarga sebelum memasuki pendidikan dasar (Depdikbud, Dirjen dikdasmen,1994: 4).
Pembelajaran di TK hendaknya disesuaikan dengan usia anak yang masih suka bemain. Kegiatan pembelajaran Calistung (baca tulis berhitung) harus diintegrasikan dalam kegiatan bermain, dalam program eksplorasi maupun dalam kegiatan sentra.
Jika seusai TK anak-anak belum bisa Calistung sebagaimana layaknya yang kita inginkan, tentu saja, orangtua tidak harus kecewa. Karena sejalan dengan tumbuhkembang usianya dipastikan anak bisa Calistung saat di SD. Dasar-dasar yang sudah ditanamkan saat TK diyakini cukup untuk penyesuaian saat di SD.
Pemaksaan bahwa selepas TK si anak sudah harus pandai Calistung bukan pada tempatnya dikedepankan. Kepercayaan terhadap lembaga pendidikan yang anak masuki memang penting, sehingga tidak terjadi pandangan yang salah. Seperti halnya hidup dan kehidupan, kemampuan Calistung pun ada tahapannya.
Penyair, Lulusan IKIP Jakarta 1983, Mantan Guru dan Wartawan.
Selengkapnya baca di sini I