Pilarkebangsaan.com. Saat ini kita, eh saya, dihimpit dua identitas besar. Islamisme Puritan yang selalu mencurigai budaya sebagai sesuatu yang menghalangi kemurnian Islam. Puritanisme ini nyaris menghancurkan basis identitas budaya.
Keris dianggap pangkal kesyirikan, mandi kembang dianggap mistik (padahal fungsinya semacam aromaterapi), dan ritual-ritual budaya dianggap menjurus pada kesyirikan. Curiga melulu. Payahnya, kubu ini juga sering melanjutkan tindakannya dengan vandalisme! Kalaupun tidak, biasanya mereka secara brutal mempertontonkan aksinya. Di-video dan disebarkan dengan bangga.
Aksi bajingan ISIS di Suriah dan Irak, yang merusak patung-patung peninggalan peradaban Mesopotamia di museum, juga memporak-porandakan peninggalan kuno yang masih otentik di Palmyra, juga membom makam Imam an-Nawawi, adalah di antara contoh. Di Lumajang, kemarin lusa, saat secara ekstravagan seseorang membuang sesaji, juga serpihan dari Puritanisme. Di Malang, beberapa tahun silam makam Karaeng Galesong juga dirusak. Di Makassar, makam Sultan Hasanuddin juga pernah menjadi target perusakan.
Di Yogyakarta juga sama. Makam dirusak demi alasan pemurnian ajaran agama dan karena bisa menjadi sarana kemusyrikan. Jika kuburan dirusak dengan alasan berpotensi membuat orang musyrik karena disangka menyembah kuburan, maka sebaiknya âanunya antumâ juga dipotong karena berpotensi zina.
Soal makam kuno, ada dua pendekatan. Pola pertama dianut oleh Pak Hartono Ahmad Jaiz, yang melalui bukunya mengulas makam-makam keramat di Indonesia, dan tuduhan-tuduhan kasar bagi peziarahnya sebagai penyembah kubur (âUbbadul Qubur, istilah yang pada mulanya dipakai oleh Ibnu Taimiyah) Buku âKuburan-Kuburan Keramat di Nusantaraâ karya Pak Hartono dan Hamzah Tede menyiratkan pola kritis yang melampaui batas dengan justifikasi mengerikan bagi para peziarah kubur. Tuduhan yang terlampau menggeneralisir.
Pola kedua dianut oleh dua sahabat ini, Mas Yaser Muhammad Arafat dan Mas Lutfi Ghozali Muhammad yang lebih simpatik, rasional, dengan sisi pendekatan arkeologis non-mistis. Bahwa, makam memiliki sejarahnya sendiri, sebagaimana jasad yang dikuburkan di dalamnya. Setiap corak nisan, inskripsi maupun jenis bebatuan dan corak ukiran, adalah penanda zaman. Corak nisan bukan lahir dari ruang hampa, melainkan ada sentuhan budaya dengan penanda dan tinanda yang khas dan juga berkaitan dengan posisi keagamaann sosok yang dimakamkan di bawahnya.
Setidaknya ini yang saya baca dari karya Mas Yaser, âNisan Hanyakrakusuman: Batu Keramat dari Pesarean Sultanagungan di Yogyakartaâ. Sedangkan Mas Luthfi masih merampungkan karyanya, yang merupakan hasil penjelajahannya atas nisan-nisan kuno yang bertebaran di sekujur Pulau Jawa. Semoga lekas terbit.
Keduanya bagian dari arus besar Sarkub alias Sarjana Kuburan, sebutan unik bagi para penggemar ziarah makam keramat; yang mendekati makam kuno secara estetik-arkeologik. Mengingatkan saya pada buku âInskripsi Tertua Islam di Indonesiaâ karya Claude Guillot dan Ludvik Kalus yang memang layak dibaca.
Okey, selain Muslim Puritan, dalam kurun satu dasawarsa terakhirâdi jagat medsosâjuga muncul fenomena Jawaisme Puritan. Kubu ini semacam antitesis dari kelompok Muslim Puritan. Sama-sama kaku, keras kepala, saling mencurigai dan xenopobhia.
Kubu terakhir ini selalu curiga terhadap apapun yang berbau Islam dan Arab. Di beberapa grup FB dan linimasa medsos, dalam seminggu ini, beredar sebuah ungkapan sengak. Pertama, penolakan terhadap unsur âmenutup auratâ dalam pakem sendratari dan pakaian Jawa.
Kedua, ungkapan curiga adanya Arabisasi yang ditandai dengan penggunaan aksara Arab-Jawi di bawah aksara Latin, di beberapa papan penanda jalan dan perkantoran kawasan sub suku Melayu di Indonesia. Padahal, aksara Arab-Jawi telah digunakan sebagai bagian dari pola komunikasi diplomatik dan lingua franca ilmu pengetahuan di antara kesultanan di Indonesia, selain aksara daerah-lokal dan Latin yang masuk seiring dengan penjajahan bangsa Eropa.
Dan, sebagaimana aksara Bali yang dimunculkan di bawah tulisan Latin di ruang publik di Prov Bali, aksara Lontara di titik-titik fasilitas umum di Sulawesi Selatan, aksara Jawa (Honocoroko) di Yogyakarta dan Solo, aksara Sunda di wilayah Jawa Barat, maka sah-sah saja jika kawasan Melayu dan Banjar juga memakai aksara Arab-Jawi dalam penulisan petunjuk di ruang publik, berdampingan dengan alfabet Latin.
Sebab, ini juga bagian dari penyerapan budaya Nusantara. Dan, tentu saja, Nusantara bukan Jawa-sentris. Ini harus dipahami. Sebab, budaya sifatnya dinamis. Saling menyerap dan memanfaatkan, baik secara etik maupun estetik. Sebagaimana diam-diam maupun secara norak, sadar atau tidak, Eropa-sentris juga mengakar dalam penampilan, pola komunikasi dan pola pikir keseharian manusia Indonesia.
Fenomena ini harus didudukkan dengan cara pandang yang komprehuensiiip (meminjam istilah pelawak Timbul Srimulat). Sebab, bagi kubu terakhir ini, Jawa(isme) adalah adiluhung, luhur, berperadaban tinggi, lemah lembut, anti-kekerasan. Lantas dinarasikan dan diperbandingkan dengan Arabisme yang brutal, berdarah-darah, dan citra negatif lain. Apalagi, dalam dua hari terakhir, ada cuitan dari seorang keturunan Arab yang menyebut penduduk asli Nusantara (definisi âasliâ ini juga perlu didiskusikan) sebagai babi (!) dan memaki-maki dengan menggunakan bahasa yang kasar. Semakin ngeri lah kecurigaan terhadap âArabisasiâ ini, dan alergi terhadap âArabâ.
Benarkah demikian? Yang sini berperadaban, yang sana brutal. Nggak juga. Kalau hanya klaim berdasarkan etnisitas dan ras, masing-masing punya jejak berdarah dalam sejarahnya. Apakah Jawa anti kekerasan, lemah lembut dan berbeda dengan Arab yang dikesankan brutal? Ya nggak juga. Sejarah Jawa juga berdarah-darah. Intrik politik juga brutal. Anehnya, kubu Jawaisme Puritan ini pandangannya selalu tertuju pada Arab-Islam (yang juga punya sejarah kelam), dan tidak menoleh pada Eropa (Katolik/Protestan) yang dalam kurun beberapa abad terakhir tak kalah banyak menumpahkan darah di negeri jajahannya.
Terus piye cak? Harus obyektif. Itu saja. Pada batas tertentu identitas keislaman dipegang teguh, dan di sisi lain, tak perlu menganggap rendah budaya etnis, juga tak perlu menganggap etnis tertentu paling unggul. Sebab, bakal terjatuh pada fasisme. (mmsm)
Rijal Mumazziq Z.