Menurut Lisitya Nur Hidayah dalam bukunya, Nasida Ria: Sejarah The Legend of Qasidah (1975-2011), trend majelis selawat naik pada era 2010-an. Trend ini dipopulerkan oleh oleh Habib Syekh bin Abdil Qadir Assegaf dengan grup hadrahnya, Ahbabul Musthofa. Naiknya trend ini sekaligus menggerus popularitas kasidah modern yang digawangi Nasida Ria.
Belakangan ini, majelis selawat semakin menjamur di mana-mana. Dari majelis yang diadakan oleh perorangan, hingga majelis yang diadakan pemerintah mulai dari tingkat desa hingga kabupaten. Biasanya, template tajuk majelis acara adalah nama instansi atau daerah penyelenggara ditambah kara “Bersholawat.” Sebagai contoh, “Hogwarts Bersholawat.”
Sebagai disclaimer, penulis bukanlah bagian dari golongan anti majelis selawat. Penulis bahkan telah mengenyam masa 20 tahun masa belajar di institusi terafiliasi dengan orang yang menjadi garda terdepan dalam melestarikan kegiatan majelis selawat.
Tidak paralel dengan konteks majelis selawat
Suatu sore di Bulan Ramadan, bapak penulis menyalakan radio untuk menunggu waktu berbuka puasa. Penulis yang sedang tidur, terbangun ketika radio menyiarkan lantunan lagu yang tak asing di telinga. Sembari mengumpulkan kesadaran, penulis berusaha mengenali lirik yang dinyanyikan sang vokalis hadrah.
Setelah sekian detik berpikir, penulis menginsyafi bahwa lagu yang grup hadrah tersebut bawakan adalah “Ana Welshoug” yang dipopulerkan Miriyam Faresh. Lagu tersebut sering penulis dengar ketika kegiatan ekstrakurikuler bahasa Arab di madrasah tsanawiyah dulu. Pembina ekstrakurikuler pernah menjelaskan bahwa lagu ini bercerita tentang kerinduan seorang wanita kepada lelaki pujaannya, tidak ada hubungan sama sekali dengan selawat ataupun hal-hal religius lain.
Belum sempat mengendalikan diri, penulis langsung tercenung ketika penyiar menutup segmen tersebut dengan harapan bahwa apa yang dibawakan grup hadrah tadi dapat mendatangkan syafaat bagi pendengar di Hari Kiamat kelak. Pikiran penulis langsung melayang ke isi klip video lagu tersebut yang sangat sungguh tidak layak menjadi wasilah yang mendatangkan pahala, apalagi syafa’at.
Dewasa ini, fenomena yang demikian terus merejalela, bahkan bisa jadi menjadi hal yang sudah menjadi arus utama. Lagu-lagu Arab yang sejatinya bercerita tentang percintaan laki-laki dan perempuan, layaknya lagu-lagu Dewa 19, BCL, Rossa, atau penyanyi pop lain, banyak masuk menjadi setlist majelis selawat yang seharusnya sakral di mata agama.
Beberapa lagu pop Arab yang seringkali ‘nyasar’ ke majelis selawat belakangan ini adalah “’Ala Bali”, “Habbeitak” yang aslinya berjudul “Haga Mestakhabeya,” “Shooq,” “’Ala Baly,” “Zawjaty,” dan lain-lain.
Pembaca tentu bisa membayangkan apabila ada majelis selawat di alun-alun kota yang didatangi ribuan orang, beberapa di antaranya adalah ustaz, habib, bahkan kiai, kemudian si vokalis hadrah menyanyikan lagu “Sedang ingin bercinta” yang dipopularkan Dewa 19.Bisa jadi vokalis hadrah akan dipaksa turun, atau bahkan diamuk massa. Begitulah kira-kira ketika lagu macam “’Ala Bali” atau “Habbeitak” dinyanyikan di majelis selawat.
Yang menjadi penyelamat adalah ketitdaktahuan hadirin akan arti lirik yang dibawakan vokalis dengan sentuhan ala-ala selawatnya itu. Terlebih ada pandangan yang salah kaprah bahwa setiap yang disajikan dalam bahasa Arab adalah sesuatu yang islami.
Sebenarnya kekeliruan di atas sangat bisa diatasi. Perwakilan grup hadrah bisa googling terlebih dahulu mengenai serba-serbi tembang yang akan dibawakan di majelis. Dari riset yang sangat mudah dan murah ini bisa diketahui apakah suatu lagu berbahasa Arab ini parallel dengan konteks majelis selawat atau tidak.
Infiltrasi kultur ultras sepakbola?
Ultras adalah jenis kelompok militan pendukung tim sepakbola yang muncul di Italia. Mereka bisa dikenali dengan pakaian yang serba gelap, membawa panji-panji besar bergambar logo atau pemain klub yang didukung, menyanyikan lagu dukungan, dan memeragakan koreografi sepanjang pertandingan.
Menurut hemat penulis, kultur ultras sedikit-banyak memengaruhi kultur majelis selawat, utamanya di kalangan muhibbin yang datang ke majelis selawat. Yang paling kentara adalah tradisi membawa panji besar ketika majelis sedang berlangsung. Yang menjadi catatan adalah para pembawa panji ini seringkali terletak di bagian depan atau tengah kerumunan penonton. Hal ini tentu akan membuat pandangan penonton yang berada di belakang panji tertutup.
Alih-alih datang ke majelis untuk selawatan bersama mendatangkan ketentraman hati, justru kegondokan yang didapat. Bagaimana tidak? Muhibbin yang datang akan merasa sumpek karena pandangan mereka tertutup panji-panji tersebut.
Kultur ultras lain yang masuk ke majelis selawat adalah joget koreografi. Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa muhibbin majelis selawat hari ini begitu regot kala kasidah-kasidah dilantunkan. Bahkan di kalangan muhibbin yang sudah terorganisasi, terdapat banyak macam variasi koreografi yang diperagakan dengan kompak dan heboh.
Koreografi yang begitu mengasyikkan seringkali melalaikan sehingga membuat muhibbin joget dengan regot. Hal ini tentu akan mengurangi kesakralan majelis selawat. Apalagi ada kepercayaan bahwa ketika sesi mahallul qiyam Kanjeng Nabi datang ke majelis tersebut.
Apakah pantas jika Nabi disambut dengan goyangan ala-ala konser musik dangdut ataupun cadas itu? Didepan pak lurah saja kita sungkan untuk joget, bagaimana jika yang di depan kita adalah Nabi Muhammad, Sang Manusia Sempurna?
Kena tegur Founding Father
Kerancuan-kerancuan di atas bukan tidak pernah ditegur. Founding father majelis selawat sendiri, Habib Syeikh seringkali menegur perilaku muhibbin selawat yang melampaui batas ini. Pria asal Solo itu mengkritisi koreografi muhibbin yang dinilai berlebihan dan merusak pengkhayatan atas kasidah-kasidah di majelis. Ia tak segan menyebut hadirin yang joget dengan sebutan orang setres.
Menurutnya, apa yang ia dendangkan adalah do’a dan selawat yang harusnya ditanggapi dengan khidmat dan khusyuk.
Habib Bidin yang merupakan pimpinan grup hadrah Az-Zahir juga pernah mengingatkan muhibbin tentang maraknya setlist yang tidak parallel. Lebih spesifiknya lagi, ia menegaskan bahwa lagu “Habbeitak” yang belakangan marak masuk setlist majelis bukanlah selawat.
Menjadi sasaran empuk perundungan
Inovasi-inovasi nyleneh di atas menjadi bahan ideal untuk digoreng oleh pihak yang antimajelis selawat. Mereka meledek bahwa majelis selawat hari ini adalah konser dangdut dengan atribut islami. Hal ini tentu makin menguatkan mosi mereka yang berpendapat bahwa majelis selawat adalah sesuatu yang bidat. Majelis selawat yang normal saja sudah menjadi bulan-bulanan vonis bidat versi kelompok ini, apalagi majelis selawat dengan infiltrasi lagu-lagu pop Arab dan tradisi ultras sepakbola?