Telaah

Catatan Sejarah Politik Islam dari Demokrasi ke Dinasti

5 Mins read

Perjalanan politik Islam pasca wafatnya Rasulullah berjalan secara dinamis, tidak statis sesuai dengan konteks zamannya. Tentu saja, dalam prakteknya Rasulullah tidak memberikan aturan baku tentang proses suksesi kepemimpinan berikutnya. Ijtihad para sahabat dan musyawarah menjadi ciri khas yang mewarnai karaketeristik politik Islam pada mulanya.

Ijtihad melalui penunjukan dan musyawarah menjadi ciri demokratis dalam suksesi kepemimpinan pada masa itu. Tidak ada pewarisan kepemimpinan berdasarkan sistem kekeluargaan dan nepotis, sebelum akhirnya masa demokratis itu berubah secara drastis menjadi kepemimpinan dinasti yang bercorak monarki pada masa Umayyah.

Jika kita memahami masa Khulafaur Rasyidin, kepemimpinan Islam didasarkan pada sistem yang lebih demokratis dan berbasis musyawarah. Keempat khalifah (Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib) dipilih melalui konsultasi dan kesepakatan di antara para sahabat dan tokoh-tokoh penting umat Islam. Tidak ada unsur pewarisan kekuasaan dari ayah ke anak.

Khalifah Ali, misalnya, sebagai menantu Rasulullah tidak menjadi pengganti pertama setelah wafatnya Nabi. Hal ini menunjukkan corak politik Islam pada masa awal tidak mengenal sistem dinasti.

Masa Khulafaur Rasyidin yang Demokratis

Setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW pada tahun 632 M, terjadi perdebatan di kalangan para sahabat mengenai siapa yang akan menjadi pemimpin umat Islam. Walaupun ada isyarah dari Nabi tentang penunjukan Abu Bakar untuk menjadi imam shalat, misalnya, tetapi secara eksplisit Rasulullah tidak membakukan sistem dan metode suksesi kepemimpinan. Absennya regulasi ini mendorong para sahabat melakukan musyawarah.

Di Saqifah Bani Sa’idah, terdapat diskusi antara kaum Muhajirin (mereka yang berhijrah dari Mekkah) dan kaum Anshar (penduduk Madinah yang menerima kaum Muhajirin). Umar bin Khattab kemudian mengusulkan nama Abu Bakar, dan setelah melalui perdebatan, Abu Bakar dipilih dengan suara mayoritas dan diberikan baiat oleh kaum Muhajirin dan Anshar.

Pemilihan ini berdasarkan musyawarah (syura) di antara para sahabat senior dan tokoh-tokoh utama dari kaum Muhajirin dan Anshar. Suara mayoritas sebagaimana dalam sistem demokrasi menjadi penentu dalam suksesi kepemimpinan tersebut. Inilah proses politik yang banyak dilupakan yang menganggap sistem politik Islam tidak mengenal pemilihan yang demokratis.

Menjelang wafatnya, Abu Bakar menunjuk Umar bin Khattab sebagai penerusnya. Penunjukan ini dilakukan setelah konsultasi dengan para sahabat utama, dan keputusan Abu Bakar diterima oleh mayoritas umat Islam. Umar kemudian dibaiat secara resmi setelah kematian Abu Bakar.

Dalam fase ini penunjukan langsung oleh khalifah yang sedang menjabat tidak pula merujuk pada keturunan. Abu Bakar melibatkan sahabat senior dalam proses konsultasi dan persetujuan dari para sahabat. Proses konsultasi menunjukkan tidak adanya sistem kekuasaan absolut dalam diri Khalifah, tetapi membutukan lembaga konsultatif yang harus dipertimbangkan.

Fase yang lebih menarik dan menjadi pondasi bagi sistem demokrasi Islam terjadi pada masa akhir Umar bin Khattab. Menjelang wafatnya, Umar bin Khattab membentuk sebuah dewan syura yang terdiri dari enam sahabat yang dianggap layak menjadi khalifah berikutnya: Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Thalhah bin Ubaidillah, Zubair bin Awwam, Sa’ad bin Abi Waqqas, dan Abdurrahman bin Auf.

Dalam proses pergantian kepemimpinan, Umar tidak menunjuk penerus langsung, tetapi memberikan tugas kepada dewan syura untuk memilih di antara mereka. Setelah musyawarah panjang, Utsman bin Affan dipilih sebagai khalifah dengan suara terbanyak.

Pemilihan oleh dewan syura yang dibentuk oleh khalifah sebelumnya, yang anggotanya terdiri dari tokoh-tokoh terkemuka dan memiliki kredibilitas tinggi di kalangan umat Islam menandai sistem perwakilan parlementer yang sangat canggih pada masanya yang dapat menghindari konflik kepentingan.

Setelah terbunuhnya Utsman bin Affan, terjadi kekacauan di Madinah. Para sahabat dan penduduk Madinah kemudian meminta Ali bin Abi Thalib untuk menjadi khalifah. Ali pada awalnya enggan menerima jabatan ini, namun akhirnya menerima setelah desakan yang kuat dari banyak pihak. Ali dibaiat sebagai khalifah oleh mayoritas umat Islam, terutama oleh kaum Muhajirin dan Anshar.

Kekosongan kepemipinan akibat tragedy pembunuhan terhadap pemimpian menuntut proses pemilihan yang darurat. Khalifah Usman  belum sempat memberikan regulasi dalam proses suksesi ini. Metode persetujuan dan Baiat dari umat dan tokoh-tokoh terkemuka tanpa adanya dewan syura formal terjadi di tengah situasi darurat dan kebutuhan mendesak akan kepemimpinan.

Jika diamati, metode dan proses suksesi politik dalam Islam mengalami perbedaan dari masa ke masa. Namun secara umum, tidak dikenal sistem dinasti dan monarki absolut dalam masa awal Islam. Proses dan metode suksesi kepemimpinan pada masa Khulafaur Rasyidin sangat dipengaruhi oleh prinsip-prinsip demokrasi seperti syura, keadilan, dan konsensus. Meskipun terdapat penunjukan langsung oleh khalifah sebelumnya dalam beberapa kasus, proses ini selalu melibatkan konsultasi dengan para sahabat senior dan mendapatkan baiat dari umat Islam, sehingga legitimasi kekuasaan tetap kuat dan diterima secara luas oleh masyarakat.

Ada empat ciri khas yang patut dicatat dalam prinsip demokrasi masa tersebut :

  • Musyawarah (Syura): Musyawarah menjadi metode utama dalam pemilihan khalifah, baik melalui pertemuan langsung seperti yang terjadi pada pemilihan Abu Bakar maupun melalui dewan syura seperti yang terjadi pada pemilihan Utsman.
  • Konsensus: Pemilihan khalifah dilakukan berdasarkan konsensus dari para sahabat dan tokoh-tokoh terkemuka, meskipun kadang-kadang terdapat perbedaan pendapat yang harus diselesaikan melalui diskusi dan kompromi.
  • Konsultasi dan Penunjukan: Penunjukan penerus oleh khalifah sebelumnya (seperti yang dilakukan oleh Abu Bakar terhadap Umar) juga merupakan bagian dari metode suksesi, tetapi tetap melibatkan persetujuan dan baiat dari umat.
  • Baiat: Setiap khalifah dipilih melalui proses baiat, yaitu sumpah setia yang diberikan oleh umat Islam, terutama dari kalangan sahabat dan pemuka masyarakat. Baiat ini merupakan simbol legitimasi kekhalifahan.

Matinya Demokrasi dan Munculnya Para Dinasti

Setelah terbunuhnya Khalifah Ali bin Abi Thalib pada tahun 661 M, Muawiyah bin Abu Sufyan, yang sebelumnya menjabat sebagai Gubernur Suriah, berhasil menguasai kekuasaan dan mendirikan Dinasti Umayyah. Dinasti Umayyah menjadi titik awal terbentuknya sistem dinasti dalam kepemimpinan Islam. Pada saat ini, kekuasaan tidak lagi diserahkan melalui musyawarah, tetapi diwariskan kepada keturunan keluarga penguasa, dimulai dari Muawiyah yang mengangkat putranya, Yazid bin Muawiyah, sebagai penerusnya.

Perubahan dari sistem Khulafaur Rasyidin ke Dinasti Umayyah merupakan transformasi dari kekhalifahan yang berdasarkan syura (musyawarah) menjadi kekhalifahan yang bersifat kerajaan, di mana kekuasaan diwariskan secara turun-temurun. Proses pemilihan demokratis yang menjadi warisan Khulafaur Rasyidin telah mati dan ditinggalkan. Sistem dinasti menjadi corak utama pada masa ini hingga berikutnya.

Proses perubahan pada masa Umayyah ini mencerminkan pergeseran dari konsep kepemimpinan umat yang berbasis pada kesepakatan bersama menuju sistem monarki, di mana kekuasaan lebih bersifat dinasti dan terpusat pada satu keluarga.Muawiyah memperkenalkan sistem yang lebih terpusat dengan mengatur suksesi berdasarkan penunjukan oleh khalifah yang sedang menjabat. Khalifah menentukan penggantinya dari anggota keluarga atau kerabat terdekat, menciptakan dasar untuk sistem dinasti.

Dinasti Umayyah diikuti oleh Dinasti Abbasiyah (750–1258 M), yang meskipun berhasil menggulingkan Umayyah, tetap mempertahankan sistem dinasti. Sistem ini kemudian diteruskan oleh dinasti-dinasti Islam lainnya seperti Dinasti Fatimiyah, Mamluk, dan akhirnya Kekaisaran Ottoman yang bertahan hingga abad ke-20.

Perubahan ini memiliki dampak yang signifikan terhadap struktur politik dan pemerintahan dunia Islam. Sistem dinasti membuat stabilitas politik lebih terjamin dalam jangka pendek, tetapi juga menyebabkan berbagai konflik internal dan pertikaian untuk memperebutkan tahta. Pertikaian antar anggota kerajaan dan konflik internal menjadi salah satu yang tak terhindarkan.

Proses suksesi kepemimpinan dalam sejarah kekhalifahan Islam mengalami perubahan dari sistem yang lebih demokratis dan inklusif di masa awal menuju sistem dinasti yang lebih terpusat dan eksklusif. Peralihan ini mencerminkan perubahan dalam struktur kekuasaan dan mekanisme penunjukan penguasa, dengan dinasti-dinasti selanjutnya lebih menekankan pada warisan kekuasaan dan intrik politik dibandingkan dengan prinsip-prinsip pemilihan yang lebih inklusif.

Perubahan konsep dan metode kepemimpinan tersebut bukan baku aturan Islam. Dalam proses politik ada ijtihad yang selalu menjadi pegangan penting dengan merujuk pada sumber hukum Tuhan. Perubahan terjadi berdasarkan dinamika politik yang ada, karena Islam tidak memberikan aturan teknis tentang pemilihan kepemimpinan, tetapi memberikan pedoman universal tentang kepemimpinan.

Kemana selanjutnya ijtihad konsep politik Islam ? Haruskah kembali pada konsep demokratis atau mempertahankan dinasti? Haruskah membunuh prinsip demokrasi atau melanggengkan dinasti? Tentu perlu ijtihad politik yang baik sesuai dengan kondisi zaman yang ada. Zaman telah berubah, tetapi prinsip universal dan ideal tentang kepemimpinan dalam Islam harus dipertahankan dalam bentuk yang sesuai dengan tantangan zaman.

1657 posts

About author
Pilarkebangsaan.com adalah media yang menfokuskan diri pada topik kebangsaan, keadilan, kesetaraan, kebebasan dan kemanusiaan.
Articles
Related posts
Telaah

Ekosistem Bisnis Car Rental di Bandara Soekarno Hatta

23 Mins read
Bandara Internasional Soekarno-Hatta merupakan gerbang utama transportasi udara Indonesia dengan jumlah penumpang yang terus meningkat setiap tahunnya. Sebagai salah satu bandara tersibuk…
Telaah

Prinsip Pareto: Strategi Cerdas Manajemen Keuangan Saat Lebaran

1 Mins read
Lebaran selalu menjadi momen yang dinanti-nanti, penuh kebahagiaan dan kebersamaan. Namun, tak bisa dimungkiri, momen ini juga identik dengan peningkatan pengeluaran. Dari…
Telaah

Ketidakpastian Opini Publik, Antara Keyakinan dan Ambivalensi

3 Mins read
“Lebih baik ragu-ragu daripada salah melangkah, atau lebih baik yakin meski tersesat?” Pernyataan ini mungkin terdengar seperti dilema filosofis yang biasa ditemukan dalam…
Power your team with InHype
[mc4wp_form id="17"]

Add some text to explain benefits of subscripton on your services.