Termasuk di antara beberapa hal yang tak lagi asing adalah paham ekstrem yang terbahasakan dengan paradigma berat sebelah. Topik ini selalu dibahas dari segala aspek-aspeknya. Bahkan sudah tak terbilang kasus sekaligus solusi dari bahayanya paradigma tersebut.
Namun apa arti sebuah kehendak jika dihadapkan pada kehendak yang lain. Pada akhirnya semuanya hanya akan berperang sesuai dengan kehendak masing-masing. Lebih dari itu hal tersebut menyangkut sebuah paham yang berangkat dari pemikiran.
Dengan alasan kebebasan berpikir maka tak ada ruang untuk menyalahkan sebuah paham yang dihasilkan. Namun ruang akan terbuka lebar jika paham yang salah terejawantah dalam sebuah aksi atau mengundang sebuah aksi. Dari itu tulisan ini adalah sebagai bentuk penyadaran terhadap sebuah paham yang kami anggap salah sebelum melangkah menjadi sebuah aksi.
Ekstremisme, paham yang menyimpang dari garis terang sangat mudah merayu pikiran manusia untuk mengamininya. Dengan gaya praktiknya yang totalitas ia mampu menarik perhatian banyak orang untuk mengikutinya.
Ekstrem kanan dengan totalitas implementasi ajaran kerasnya telah menghipnotis otak idealis-religius untuk mengembalikan segalanya pada teks keagamaan, tanpa sedikit pun melirik pada konteks.
Sedangkan ekstrem kiri dengan totalitas implementasi ajaran longgarnya mampu meracuni otak idealis-sosialis untuk hidup di atas nilai-nilai sosial, tanpa peduli pada teks.
Dengan pesona anggunnya kedua paham tersebut telah merenggut nadi kebenaran dari kehidupan manusia. Sehingga melahirkan sikap fanatik buta bagi para pengikutnya. Sikap inilah yang rentan menimbulkan masalah baru.
Salah satu instrumen yang mungkin untuk meredam paham tersebut beserta sisa-sisa sikap fanatik buta yang dilahirkan darinya adalah pesantren. Terdapat dua aspek yang kami rasa tepat untuk mengangkat pesantren sebagai api yang mampu menghanguskan paham ekstremisme.
Pertama, aspek sosiologis. Pesantren merupakan tempat sakral yang dihuni oleh para penuntut ilmu, yang disebut santri, yang datang dari berbagai daerah. Masing-masing dari mereka memiliki cara hidup yang berbeda. Mereka membawa pola hidup dari daerahnya masing-masing.
Apa yang membuat mereka bahagia, marah, ketawa dan murung berbeda di antara satu dengan yang lainnya. Sehingga mereka dituntut untuk hidup saling memahami dengan merangkul perbedaan yang ada menjadi sebuah persatuan melalui jalinan kekeluargaan.
Makanya tak pernah ditemukan tawuran antar santri. Insting sosial mereka dituntut peka dalam menjalani hidup di tengah pelbagai perbedaan.
Merangkul perbedaan di sini bukan lantas melepas norma sosial yang berlaku. Ada sebagian perbedaan yang ditolak karena alasan menyebabkan perpecahan. Jadi, tetap ada acuan dalam memilih cara hidup yang akan dijalani dalam jalinan kekeluargaan mereka.
Sehingga perbedaan yang pada biasanya meniscayakan konflik terkelola dalam ruang persatuan. Kesamaan nilai yang saling terpadu dalam cara hidup yang mereka bawa dari daerahnya masing-masing berhasil meninabobokkan hasrat pertikaian dan menyelimutinya dengan keharmonisan. Dan tentunya terdapat upaya dalam menemukan kesamaan nilai cara hidup mereka.
Relevansi aspek pertama dengan aksi perlawanan terhadap paham berat sebelah adalah terletak pada bagaimana seharusnya kita menyikapi sebuah perbedaan. Ejawantah aspek ini lebih mengarah pada korban paradigma sesat tersebut.
Karena objek dari aspek pertama ini adalah hati dengan melatihnya lebih peka pada lingkungan sekitar, sehingga terbentuk insting sosial yang baik dan selaras. Aspek ini sebagai tameng dari paham ekstremisme atau alat untuk menyadarkan para korban yang terdeteksi virus ekstremisme.
Terdapat dua nilai sosial dalam aspek yang pertama ini. Pertama, nilai persatuan dalam hidup keberagaman. Kedua, nilai pentingnya mengembalikan perbedaan kepada suatu acuan. Nilai pertama lebih tepat jika dihadapkan pada paham ekstrem kanan.
Sebagaimana ia dipandang keliru karena tidak peduli konteks, maka nilai yang pertama hadir untuk mengingatkan akan pentingnya persaudaraan dan adanya kesamaan nilai pada setiap perbedaan.
Hal ini sebagai upaya untuk menghapus virus fanatisme buta terhadap penyampaian yang didasarkan pada teks-teks keagamaan secara mentah. Sementara nilai kedua lebih tepatnya untuk diarahkan pada paham ekstrem kiri.
Sebagaimana ia terlalu longgar di dalam merangkul beberapa perbedaan bahkan sampai tak peduli pada teks, maka nilai kedua datang sebagai warning bahwa nafsu manusia sangat mampu merayu akalnya untuk menjauhi garis-garis norma yang agama berlakukan.
Dengan refleksi nilai kedua ini diharapkan agar otak nakal manusia tetap memiliki sandaran dalam memutuskan sesuatu.
Kedua, aspek paradigmatis. Pesantren menyetir kerangka berpikir para santri dengan model toleransi dan keterbukaan. Misalnya dalam disiplin ilmu fikih atau yurisprudensi Islam yang di dalamnya terdapat multi-mazhab. Bahkan di internal mazhab pun masih banyak perbedaan pendapat.
Melalui ilmu fikih pesantren mengajak para santri memunyai banyak wawasan tentang pemikiran ulama yang beragam. Dengannya ia mengajari bagaimana konteks masing-masing ulama mendorong terciptanya teks yang berbeda.
Relevansi aspek kedua ini hampir sama dengan yang aspek pertama. Dengan aspek ini diharapkan agar lebih terbuka dalam menyikapi perbedaan pendapat, bahkan dalam internal agama pun. Dalam konteks keindonesiaan perbedaan tak lagi bisa dielakkan.
Kaum ekstrem tak jarang punya keinginan menghapus realitas ini. Salah satu aksi yang bisa saja dilancarkan adalah dengan mendirikan negara khilafah. Kehidupan pesantren dengan modelnya yang inklusif patut dicontoh untuk menjaga keutuhan bangsa ini dengan tetap merawat indahnya kemajemukan yang ada.
Pesantren juga mengajak para santri untuk memahami agama melalui teks-teks keagamaan di samping juga memahami konteks yang ada, bukan dengan cara berpikir bebas tanpa adanya sandaran. Kami sebut misanya kegiatan bahtsul masail—kegiatan tersebut merupakan upaya memadukan teks dengan konteks.
Dengan kegiatan tersebut santri diajarkan agar tidak terlalu terpaku pada teks dan juga tidak berpikir bebas dalam mengatasi sebuah kasus. Dalam kaitannya dengan ekstremisme tentu paradigma seperti ini sangat menjamin kedamaian.
Sebagaimana paradigma ekstrem kanan yang selalu terikat dengan teks, dengan mengupayakan konteks ditarik oleh teks secara paksa, model sikap dalam bahtsul masail sangat membantu membungkamnya.