Religius

Djindar Tamimy: Jejak Pemikiran dan Perjuangan Ideolog Muhammadiyah

12 Mins read

“Pada dasarnya setiap manusia memiliki empat dimensi pergaulan : pergaulan dengan sesama manusia, pergaulan dengan lingkungan hidup, pergaulan dengan diri sendiri, dan pergaulan dengan Allah Swt. Landaskan empat dimensi itu di atas ajaran Islam, niscaya hasilnya akan memuaskan baik lahir maupun batin, dan membawa kita ke kehidupan yang istiqamah “
–Djindar Tamimy,
100 Wisdom of Muhammadiyah, 2010–

Beberapa waktu lalu saya menulis tentang sosok Ki Bagoes Hadikusumo. Pada kesempatan ini, saya hendak menuliskan pula sosok muridnya Ki Bagoes yang juga dikenal sebagai ideolog Muhammadiyah. Murid Ki Bagoes Hadikusumo tersebut adalah H.M. Djindar Tamimy. Penyajian sosok berikut ini menggunakan metode penulisan kepustakaan yang diramu dari buku yang berhubungan dengan sosok pak Djindar, atau karya yang ditulis oleh pak Djindar, dan juga wawancara langsung (telling story) dengan putra pertamanya H. Riezam Djindar Tamimy.

Tulisan ini pernah dipublikasikan di majalah Quadrum MPK PP Muhammadiyah, dan saya sampaikan di blog pribadi ini untuk kepentingan pendidikan. Tulisan ini akan dimulai dengan mengemukakan aspek latar belakang historis pak Djindar berupa riwayat pendidikan dan tokoh-tokoh yang mempengaruhi pemikiran Pak Djindar, dan terakhir menyajikan pemikiran pak Djindar sendiri.

Pendidikan dan Tokoh di Balik Pak Djindar

Pak Djindar, begitu namanya akrab dipanggil merupakan putra ke sepuluh dari 11 saudara dari pernikahan Haji Muhammad Tamim bin Haji Muhammad Dja’far dan Siti Asmah binti Haji Muhammad. Pak Djindar lahir di Kampung Kauman Yogyakarta pada tanggal 1 Saffar 1342 Hijiriyah yang bertepatan pada tanggal 28 Juli 1923 Miladiyah. Kelahiran beliau berdekatan dengan berpulangnya Allahuyarham KH Ahmad Dahlan yang wafat pada tanggal 23 Februari 1923.

Bersama istrinya, Siti Oemayyah binti Haji Muharrar yang lebih dikenal dengan Ummy Edrys dari Karangkajen, Pak djindar diamanahi 5 orang anak yakni Mohammad Di’am (wafat dalam usia 2 bulan), Mohammad Riezam, Titik Roihati, Titiek Richwatin, dan Moh Roihan. Yang unik adalah selain dari almarhum Mohammad Di’am, keempat anak dari pak Djindar berikutnya lahir pada hari senin semua, dan alhamdulillah hingga saat ini semuanya masih hidup dan mengabdi untuk Muhammadiyah.

Dalam lingkungan Muhammadiyah, Pak Djindar dikenal sebagai seorang ideolog Muhammadiyah. Hal ini dapat dipahami karena beliau benar-benar memahami bagaimana sepak terjang dan paham agama Islam yang diyakini KH Ahmad Dahlan, sekaligus membumikan apa yang beliau yakini. Menyatunya kata dan perbuatan adalah ungkapan yang sangat pas untuk menggambarkan ketokohan Pak Djindar. Kekuatan ideologi Muhammadiyah yang menyatu kuat dalam diri Pak Djindar tentu dipengaruhi oleh faktor-faktor tertentu. Berikut ini akan disajikan apa saja yang mempengaruhi pemikiran dan ideologi pak Djindar.

Selain lingkungan Kauman yang sudah sangat agamis, dan dikenal sebagai kampung santri, Lingkungan pendidikan keluarga pak Djindar tentu sangat besar mempengaruhi ketokohannya. Ayah beliau adalah murid langsung dari KH Ahmad Dahlan, dan sebagai generasi pertama anggota Muhammadiyah sekaligus sebagai anggota Hoofdbestuur Muhammadiyah periode KH Ahmad Dahlan. Riwayat ayahnya sebagai pengurus besar Muhammadiyah, ternyata kelak diikuti oleh pak Djindar sejak tahun 1947 di masa perjuangan kemerdekaan Indonesia hingga 1990 di masa Allahu yarham AR Fakhruddin.

Secara formal, Pak Djindar memulai pendidikannya di TK Bustanul Athfal ‘Aisyiyah Kauman pada tahun 1929. Selanjutnya meneruskan studinya di Standaar School Muhammadiyah di Suronatan tahun 1936, kemudian terakhir di Pesantren Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah Yogyakarta (1941). Kelak di Mu’allimin itulah beliau bertemu dengan tokoh-tokoh yang mempengaruhi pemikiran keagamaan beliau.

Selain model perkaderan formal yang ia tempuh di madrasah Muhammadiyah, fondasi keagamaan dan kepemimpinan pak Djindar ditempa lewat model perkaderan klasik yang justru sangat berperan utama dalam membentuk seorang Pak Djindar. Model Perkaderan Klasik itu adalah forum-forum pengajian yang terdiri dari: Pengajian malam selasa warisan KH Ahmad Dahlan, Pengajian Da’wah Al amal, Pengajian khusus dengan KH. Mas Mansur bersama 12 pimpinan Tarbiyatul Athfal, Pengajian Malam Selasa yang diasuh oleh KH Hadjid, Pengajian dan Itikaf dua tahun berturut-turut pada tahun 1969-1970 di mesjid Kaliurang yang diasuh KH Hadjid, Pengajian yang diasuh PP Muhammadiyah dan PWM DIY termasuk di dalamnya pengajian rutin Ramadhan, dan forum pengajian kerabat kerja kantor PP Muhammadiyah setiap bakda jamaah Sholat Zhuhur. Dalam pengajian-pengajian itulah pak Djindar selain mendalami ilmu agama, juga bertemu dengan jamaah akar rumput Muhammadiyah. Sehingga beliau memahami betul bagaimana situasi kebatinan umat Islam terutama warga Muhammadiyah pada saat itu.

Adapun tokoh-tokoh yang mempengaruhi secara langsung pemikiran DDjindar Tamimy adalah KH Mas Mansur, Ki Bagus Hadikusumo, Buya Ar Sutan Mansur, H.M Yunus Anis, KH Faqih Usman, dan KH Ahmad Badawi. Menurut pengakuan putranya pak Riezam Djindar, pak Djindar sangat berkesan terhadap Ki Bagus Hadikusumo. Kibagus adalah murid KH Ahmad Dahlan yang suka ngeyel, tetapi kalau sudah memperoleh pemahaman yang kuat maka Ki Bagoes adalah murid paling setia dan istiqomah. Ki bagus tidak ingin menggunakan gelar kiai, karena menurutnya hanya KH Ahmd Dahlan yang pantas menyemat gelar itu.

Dari Kibaguslah pak Djindar memahami betul bagaimana visi profetik dan progresif KH Ahmad Dahlan dalam memprakarsai adanya Muhammadiyah dan bagaimana ia menerapkan dalam kehidupan nyata. Melalui H.M Yunus Anis Pak Djindar diajak untuk membantu kerja dakwah PP Muhammadiyah. Dan sejak itu pak Djindar fokus dalam proses dakwah Muhammadiyah hingga akhir hayatnya. Meski banyak tawaran yang diberikan kepada beliau untuk menduduki jabatan tertentu seperti menjadi anggota DPR GR, menjadi pengurus salah satu lembaga koperasi, dan lembaga Amal Usaha Muhammadiyah yang strategis, dan sebagainya, namun pak Djindar tetap menolak tawaran itu dan tetap berdakwah di Muhammadiyah serta menjadi guru di Mualimin dan Pendidikan Ulama Tarjih Muhammadiyah.

Pemikiran Agama Islam Pak Djindar

Pemikiran Keagamaan dan Muhamamdiyah yang akan disajikan dalam tulisan ini banyak diperoleh dari wawancara dengan putranya, pak Riezam Djindar. Momentum yang justru menjadi sangat transenden bagi pak riezam (sebagai anak tertua pada saat itu) adalah ketika mendampingi dan merawat Pak Djindar dalam situasi pak Djindar memperoleh ujian sakit Kanker yang kritis pada tahun 1993-1996.

Sebagaimana dituturkan oleh pak Riezam, bahwa sesungguhnya Pak Djindar sangat manaruh harap agar warga Muhammadiyah membaca dan memahami betul mengapa KH Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah. Kesalahan dalam menafsirkan motivasi dan gerakan KH Ahmad Dahlan, akan berakibat fatal bagi keberlangsungan Muhammadiyah kini dan akan datang. Karena itu generasi sekarang menurutnya harus benar-benar membaca dan memahami sejarah, dan sejarah itu sangat penting.

Sebagai contoh kecil saja misalnya, Pak Djindar sangat kurang setuju dengan buku-buku ke-Muhammadiyahan yang banyak beredar ketika berbicara tentang sebab-sebab berdirinya Muhammadiyah. “ora koyo ngene” kata Pak Djindar sebagaimana disampaikan kepada putranya. Pertama dalam buku banyak ditulis bahwa berdirinya Muhammadiyah karena faktor pendidikan, faktor agama, dan faktor kemasyarakaan seperti yang ditulis oleh Pak Mustafa Kamal pada edisi pertama. Kekurangsetujuan Pak jindar adalah karena apa yang ditulis dalam buku tersebut menurutnya mengecilkan peran KH Ahmad Dahlan sebagai inti gerakan dan sebagai subyek.

Menurut Pak Djindar, yang menyebabkan adanya Muhammadiyah itu adalah karena KH Ahmad Dahlan itu sendiri yang didorong kuat oleh prinsip-prisip paham agama Islamnya KH Ahmad Dahlan, dan juga karena kualitas Dahlan sebagai ulama dan seorang intelektual pada saat itu. Jadi bukan karena faktor ini atau faktor itu. Beliau menggunakan istilah “Adanya”, bukan berdirinya. Pak Jindar mengatakan begini seperti disampaikan oleh Pak Riezam, “adanya Muhammadiyah itu karena KH ahmad dahlan yang disebabkan karena prinsip paham agama dan kualitas ulama dan intelektualnya”. Setelah mengetahui historisitas tersebut, kemudian buku pak mustafa kamal diperbaiki agar lebih sempurna demi kebenaran ilmu oleh pak Riezam.

Menurut pak Djindar, Ajaran Agama Islam itu ada dalam Al quran dan Sunnah saja. Isinya adalah risalah Allah, dan Risalah Allah itu harus di amalkan. Untuk mengamalkan, maka harus menggerakkan masyarakat dan tidak cukup hanya dengan keterangan saya menjalankan perintah Allah Swt. Yang namanya mengamalkan itu adalah “saya mengerjakan Sholat, dan menggerakkan orang lain untuk sholat”. Untuk menggerakkan maka diperlukan “gerakan”. Dari logika ini, maka KH Ahmad Dahlan menyimpulkan bahwa dirinya harus membuat gerakan. Gerakan ini diprakarsai oleh Ahmad Dahlan pada tahun 1905 setelah beliau kembali dari menunaikan ibadah Haji yang ke dua.

Menurut Pak Jindar, dalam kapasitasnya sebagai ulama dan tentu intelektual, Dahlan Melihat bahwa umat Islam di sekitarnya sangat semrawut, sehingga muncul keprihatinan yang mendalam untuk mencari solusi atas kesemrawutan tersebut. Tetepi sebelum berpikir mencari solusi, KH Ahmad Dahlan sering bertanya, “mengapa ya Umat Islam kok bisa semrawut?” Kesemrawutan itu terlihat dari merebaknya praktik syirik, churafat, bid’ah, tahayul, taklid, kemiskinan, dan tertinggal jauh pendidikannya dibanding negara-negara barat.

Padahal dari kitab-kitab tarekh yang dibaca Ahmad Dahlan, Umat Islam itu mestinya sangat hebat. Tetapi kok yang ada di sekitar Ahmad Dahlan cuma begini ya.” Lalu KH ahmad dahlan mencari jawabanya dengan metode komparatif, (sebagaimana dituturkan oleh pak Djindar kepada Pak Riezam), beliau membandingkan Umat Islam ketika dibina nabi Muhammad dengan situasi sekarang. Dari refleksi itu, Dahlan menemukan jawab, yakni bahwa kemunduran umat Islam saat itu dikarenakan kekeliruan dalam memahami ajaran agama Islam dan karena masyarakat kita disekat-sekat oleh mazhab yang menyebabkan perpecahan dan dipengaruhi oleh tradisi Hindu-Budha yang sinkretik.

Sehingga layaklah kalau umat Islam begini (semrawut). Padahal Jauh sebelum era sekarang, dari zaman nabi, zaman sahabat, dan tabi’in, umat Islam begitu hebat. Bahkan kelak Islam dapat menguasai dua kekuatan besar peradaban dunia (sebelah barat ada kekuatan Romawi, dan di sebelah timur ada kekuatan Parsyi). Dalam kontek itu, menurut Pak Rizam, pak Jindar lebih suka menggunakan frase “orang-orang Islam” untuk menyebut masyarakat Islam yang masih jauh dari kondisi ideal bukan umat Islam yang menurutnya khusus untuk menggambarkan suatu masyarakat Islam yang sudah ideal.

Dari pertanyaan-pertanyaan yang muncul tersebut sebagai sebuah tindakan refleksi KH Ahmad Dahlan, lalu beliau mencoba mencari solusinya. Menurut KH Ahmad Dahlan, yang disampaikan oleh pak Djindar kepada putranya pak riezam, bahwa “cara untuk merubah umat Islam untuk menjadi hebat adalah dengan kembali kepada Al quran dan Sunnah Rasulullah Saw. Kesimpulan ini menjadi prinsip agamanya Ahmad Dahlan dan kelak prinsip ini termaktub di dalam Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup Muhammadiyah yakni dalam memahami Agama Islam Muhammadiyah berdasar pada Al quran dan Sunnah Rasulullah. Sepaham dengan KH Ahmad Dahlan, Pak Djindar menegaskan pentingnya Umat Islam sekarang, apalagi Muhammadiyah untuk benar-benar memahami dan menjalankan ajaran Islam sesuai sumber aslinya yakni Al quran dan As sunnah Rasulullah SAW.

Untuk mengembalikan Al Quran dan As Sunnah ke dalam hati sanubari umat Islam, maka Dahlan merumuskan, (yang disampaikan pak jindar kepada putranya) sebuah gerakan yang akan menggerakkan dan menggembirakan orang-orang Islam dalam mempelajari dan memahami ajaran Islam yang sebenar-benarnya dan kemudian membimbing mereka dalam mengamalkan dan menghayatinya.

Menurut Pak jindar, KH Ahmad Dahlan dalam memberikan pengajian selalu menggembirakan jamaahnya. Sehingga jamaahnya menjadi ikut gembira dan bersemangat, seperti dalam pengajian bustanul atfal dan pengajian malam selasa. (Pengajian ini masih berlangsung hingga sekarang, awalnya berlokasi di Kauman, saat ini telah pindah di aula madrasah Muallimin Muhammadiyah Yogyakarta)

Menurut Pak Jindar, gerakan Ahmad Dahlan itu selalu menggembirakan dan tidak menakuti jamaah. Sehingga pengajiannya menjadi ramai dan semarak. Dalam tiap pengajian, ada satu pokok penting yang selalu disampaikan kepada jamaah yakni untuk selalu ittiba’ kepada Nabi Muhammad. Sehingga gerakan awal Dahlan itu (1905) bernama Gerakan Ittiba’ nabi Muhammad. Lalu gerakan mengikuti nabi Muhammad itu dibahasa arabkan dengan nama gerakan Muhammadiyah.

Nama itu diberikan oleh jamaahnya sendiri, untuk menyebut sebagai jamaah pengikut nabi Muhammad Saw. Dengan demikian maka istilah Muhammadiyah itu muncul bukan pada tahun 1912, melainkan justru di awal gerakan kiai Dahlan. Dari sini, lalu pengajian kiai dahlan berkembang dari Kauman ke kampung-kampung lain di Yogyakarta hingga ke luar Yogyakarta.

Dengan demikian, Pak Djindar meletakkan sebuah pemahaman yang baik dan cendrung keluar dari pemahaman umum tentang bagaimana kita memahami proses kelahiran Muhammadiyah yang akrab disebut tanggal 18 nopember 1912 itu. Sebagaimana dituturkan pak Riezam yang ia peroleh dari Pak Djindar, seiring perjalan waktu bahwa sahabat dan muridnya dahlan mengajukan masukan kepada Kiai Dahlan bahwa tidak mungkin gerakan itiba’ nabi Muhammad ini akan menjadi berkembang luas hanya dengan pengajian. Lalu disampaikanlah kepada kiai dahlan, untuk mengembangkan inovasi bagi gerakan Muhammadiyah (gerakan Ittiba’) ini.

Menurut pak Jindar, terjadi dialog antara Kiai Dahlan dengan murid-muridnya. Diberikan kesempatan kepada murid dan sahabat-sahabatnya untuk mengutarakan pemikirannya. Dan disampaikanlah perihal perlunya membesarkan gerakan ini. Lalu kiai bertanya, jalan keluarrnya bagaimana? Maka dijawablah perlunya organisasi dalam mengembangkan jamaah ini dan Dahlan menerima masukan ini. Kepada murid-muridnya beliau berujar, “berikan saya waktu untuk menelaah sumber Al quran dan Sunnah terkait bagaimana Islam memandang organisasi.” Lalu ketemulah Al quran surat Ali Imran ayat 104 itu sebagai landasan gerakan muhammadiyah sebagai sebuah organisasi Islam.

Maka tanggal 18 november 1912, bertepatan 8 Dzulhijjah 1330 dinyatakan legalitas organisasi Muhammadiyah dan dilaporkan kepada pemerintah Hindia Belanda secara resmi pada saat itu. Dalam kacamata Pak Jindar, perlu dipahami bahwa tahun 1912 itu bukanlah berdirinya Muhammadiyah melainkan berganti status dari sebuah gerakan jamaah, menjadi organisasi modern yang rapi dan terstruktur. Mengapa bukan sebagai lahirnya Muhammadiyah? hal ini dikarenakan Muhammadiyah sudah ada terlebih dahulu sebelum tahun 1912 seperti pendirian madrasah Muhammadiyah di Suronatan pada tahun 1911 H.

Jadi, bermuhammadiyah yang benar menurut pak Djindar adalah sesuai maksud dari kiai dahlan memprakarsai Muhammadiyah. Yakni menjalankan ajaran Islam dengan menggembirakan umatnya. Orientasinya adalah untuk kebaikan dan kemajuan ummat Islam. Bermuhammadiyahnya Dahlan tidak memikirkan tentang apa yang akan ia dapatkan dari Muhammadiyah. Yang akan didapatkan adalah apa yang sebenarnya umat butuhkan yakni mampu memahami, menghayati dan mengamalkan ajaran Islam dengan baik dan benar.

Kritik Pada Muhammadiyah dan Kisah Teladan Pak Djindar

Pak Jindar, sangat terbuka terhadap kritik dan biasa berbeda pandangan dengan orang lain. Jiwa toleran dan berpikir terbuka itulah yang membuat beliau juga mengkritik Muhammadiyah tanpa rasa canggung meskipun beliau juga anggota sekaligus pimpinan Muhammadiyah. Sebagaimana diketahui pak Djindar pernah menjabat sebagai wakil ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah.

Ia mengkritik bahwa “sekarang orang-orang yang menjadi anggota Muhammadiyah lebih banyak memiliki keinginan untuk kepentingannya sendiri. Jadi banyak “kepentingan” dalam Muhammadiyah sekarang.” Saat ini sudah banyak orang-orang muhammadiyah yang memanfaatkan Muhammadiyah untuk kepentingan atau keuntungan sendiri. Banyak fenomena di mana orang berbondong mencari nomor baku Muhammadiyah tetapi untuk kepentingan mencari kerja di amal usaha Muhammadiyah. Jadi Muhammadiyah sekarang banyak digerakkan oleh orang yang bukan Muhammadiyah.

Beberapa kisah yang terungkap yang berhubungan dengan pak Djindar bisa kita jadikan pembelajaran. Salah satunya adalah kisah kedatangan pak Amin Rais untuk meminta pendapat dan saran kepada pak Djindar. Sewaktu Pak Amin sowan ke pak Jindar untuk meminta pendapat tentang rencana memprakarsai sebuah partai yang lahir dari rahim muhammadiyah, Pak Jindar mengatakan “rencana itu bagus tapi kalau tidak dikendalikan akan menjadi boomerang bagi Muhammadiyah.” Ternyata yang dimaksudkan boomerang bagi Muhammadiyah itu kelak dijelaskan kepada putranya.

Pak Djindar khawatir bahwa nanti banyak orang-orang berkualitas untuk mengikuti jejak Amin Rais sehingga Muhammadiyah akan ditinggalkan sebagaimana pernah terjadi pada tahun 1962. Kekhawatiran Pak Jindar yang kedua adalah apabila muncul orang seperti Amin Rais yang berkehendak untuk mendirikan partai lain pula dari rahim Muhammadiyah, maka Muhammadiyah akan kehilangan orang-orang berkualtas dan berpotensi terjadinya konflik internal antar pendukung partai.

Ada satu kisah lain yang bisa kita ambil pelajaran. Suatu ketika pak jindar dicurhati oleh seorang tokoh Muhammadiyah. Beliau kecewa dengan pelayanan PKU Muhammadiyah. Lalu mengatakan saya tidak akan sekali-kali berobat dan kembali lagi ke Muhammadiyah. Menurut Pak Jindar, yang disampaikan kepada putranya, PKU itu milik Muhammadiyah. Maka jika ada sesuatu yang tidak berjalan dengan sebenarnya, pelayanan yang kurang, maka justru orang yang pertama sekali mengingatkan dan memperbaiki adalah orang Muhammadiyah itu sendiri, Bukan malah mengatakan tidak akan kembali. Itu bukan tempatnya dan tidak sepantasnya begitu.

Pak Jindar itu sangat perhatian pada Muhammadiyah meskipun dalam situasi sakit dan di penghujung usianya. Dua hari sebelum beliau wafat, pak Riezam dipanggil oleh pak Jindar untuk memanggil tokoh Islam Muhammadiyah yakni pak Agus Serri Dimyati dan seorang lagi tokoh Muhammadiyah dari Bantul. Setibanya di rumah pak Djindar, beliau mengatakan kepada mereka berdua, “Mbok Islame wong Muhammadiyah kuwi dipenerke.” (tolong pelaksanaan agama Islam orang-orang Muhammadiyah itu dibenarkan atau diperbaiki untuk menjadi benar). Sebelum memanggil dua tokoh ini, pak Jindar juga memanggil dua tokoh lain yaitu pak Amin Rais dan Buya Syafi’i secara berlainan waktu. Kepada dua orang tokoh ini pak Jindar berpesan, “Tolong Muhammadiyah ini dijaga”.

Menurut pak Rizam, Islamnya pak Jindar itu masuk kategori “radikal”. Radikal yang saya maksudkan adalah bahwa beliau bisa menerima perbedaan dengan masih selalu memegang prinsip. Temannya dari kalangan Nahdhatul Ulama misalnya dengan ustadz Toha Abdurrahman, Tolhah Mansur dan lain-lain. Bahkan begitu toleranya beliau, beliau bisa menerima perbedaan dengan anaknya sendiri. Hal ini sesuai dengan salah satu pesannya agar kader Muhammadiyah tetap terbuka dengan organisasi lain, tetapi tetap mengacu kepada keyakinan dan cita-cita hidup muhammadiyah.

Hal ini termaktub dalam salah satu pesannya (Dijindar Tamimy, 1976), “Orang yang Muhammadiyah centris (didasarkan atas faham agamanya serta keyakinan dan cita-cita hidup (ideologi)-nya, tidaklah berarti bahwa dia tidak mau beramal dan berjuang dengan menggunakan organisasi-organisasi yang lain. Tetapi kalau dia memasuki atau menggunakan organisasi lain untuk beramal dan berjuang, tentu motivasinya tidak lain kecuali untuk mengamalkan dan memperjuangkan Faham Agama serta Keyakinan dan Cita-Cita Hidup Muhammadiyah; karena itulah yang diyakininya.”

Salah seorang muridnya di PUTM, Ustad Wiharto, yang saat ini aktif sebagai pengurus MPK PP Muhammadiyah, mengatakan bahwa pak Djindar selalu berpesan agar Muhammadiyah itu dipahami dan dilaksanakan dengan baik dan benar sesuai niat KH Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah. Beliau berpesan, “Bermuhammadiyah itu harus dimulai dan bersandar kepada pengertian atau paham dan keyakinan agama yang meliputi; memahami dengan sungguh-sungguh ajaran agama Islam dengan tepat, melaksanakan dan menerapkan agama islam dalam arti yang sebenar-benarnya, dan itu tidak akan bisa kecuali dengan berorganisasi disertai jihad bil amwal wal anfus’

Pak Djindar Wafat

Pada bulan April tahun 1993 pak Djindar divonis harus melakukan operasi atas sakit kanker yang bersarang pada tubuhnya. Sebelum dilakukan operasi, beliau memanggil istrinya dan anak-anaknya, dan mengatakan “Ada dua hal yang masih ada dibenak saya yang semoga dapat selesai sebelum saya meninggal, yakni adik-adikmu dan Muhammadiyah. Untuk adikmu saya serahkan kepada ibumu dan kamu sebagai anak sulung.

Sedangkan tentang Muhammadiyah, tolong sampaikan kepada pak Amien, atau pak Syafi’i, atau pak Dimyati, agar menjaga benar-benar Islamnya orang-orang Muhammadiyah.” Setelah berjuang dengan sekuat jiwa dan raga dalam menjalani ujian sakit kanker selama lebih kurang tiga tahun, pada tanggal 11 Dzulhijjah 1416 Hijriyah yang bertepatan pada tanggal 29 April 1996 M, pak Djindar dipanggil Allah Swt untuk menemui sang pemberi Ruh di rumahnya Jl. Nyai Ahmad Dahlan no. 25 Yogyakarta. Sehari sebelum beliau wafat, pak Djindar masih mengingatkan kepada keluarganya “mbok Islame wong Muhammadiyah ki dipenerke lan dimantepke” (tolong Islamnya orang Muhammadiyah itu diluruskan dan dimantabkan).

Pak Djindar menghadap Allah Swt dengan tidak membawa apapun kecuali amal ibadah selama beliau hidup. Beliau meninggalkan seorang istri dan 4 orang anak. Kepada Muhammadiyah beliau mewariskan pemikiran yang tertulis dalam beberapa buku di antaranya adalah:

  1. Penjelasan Muqaddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah (bersama H. Djarnawai Hadikusumo);
  2. Pokok pikiran tentang Ad-Dien Al-Islamy” (stensil);
  3. Pokok pikiran-pokok pikiran tentang Muhammadiyah, makalah;
  4. Makalah pengajian Ramadhan tahun 1987, “Kaji Ulang Masalah Lima Dalam Muhammadiyah” yang diterbitkan menjadi buku dengan judul Dialog Pemikiran Islam Dalam Muhammadiyah
  5. Ajaran Islam yang asasi: kelompok ayat Al quran untuk mengetahui jalan hidup yang benar (1976) dan disunting ulang oleh H. M.Djaldan Badawi (2006). Putranya pak Djindar, Riezam DT menulis sebuah buku yang banyak dikembangkan dari catatan-catatan ayahnya yang diberi judul “Muhammadiyah: Prakarsa Besar Kiai Haji Ahmad Dahlan”.

Sebagai penutup, dalam buku ajaran Islam yang asasi, Pak Djinar mengingatkan bahwa “Faham agama itulah yang membentuk keyakinan dan cita-cita hidup (ideologi) seseorang. Dialah yang menjadi landasan dan motivasi, serta menentukan arah dan sasaran, dan menjadi pedoman serta pegangan hidup dan kehidupannya.”

Dengan demikian, seyogianyalah anggota Muhammadiyah benar-benar harus mempelajari, menghayati dan mengamalkan apa sebenarnya faham agama Islam yang benar sesuai tuntunan Rasulullah SAW. Terakhir, dengan perjuangan dan keteladanan yang telah pak Djindar lakukan untuk Muhammadiyah, mari kita doakan semoga beliau mendapat tempat yang mulia di sisi Allah Swt, diampuni segala khilafnya, dan amanah yang beliau wariskan kepada kita sebagai bagian dari jamaah Muhammadiyah dapat kita wujudkan. Amin

 

Sumber Tulisan

1. Haedar Nashir, (editor), Dialog Pemikiran Islam Dalam Muhammadiya, Badan Pendidikan Kader PP Muhammadiyah, Yogyakarta, 1992
2. M. Yunan Yusuf, Yusron Razak, dan Sudarnoto (ediyor) Ensiklopedi Muhammadiyah, Majlis Pendidikan Dasar dan Menengah Pimpinan Pusat Muhammadiyah dan PT. Raja Grafindo Persada Jakarta, 2005.
3. 100 Wisdom of Muhammadiyah, 2010
4. Profil 1 abad Muhammadiyah, Majelis Pustaka dan Informasi PP Muhammadiyah, 2010
5. M.Djindar Tamimy, Ajaran Islam yang asasi: kelompok ayat Al quran untuk mengetahui jalan hidup yang benar, (1976) dan disunting ulang oleh H. M.Djaldan Badawi (2006).
6. Wawancara Langsung langsung dengan Pak Riezam DT, putra pertama pak Djindar Tamimy

 

Penulis: Nugroho Noto Susanto

1383 posts

About author
Pilarkebangsaan.com adalah media yang menfokuskan diri pada topik kebangsaan, keadilan, kesetaraan, kebebasan dan kemanusiaan.
Articles
Related posts
Religius

Islamisme: Tantangan Abadi dalam Sejarah dan Masa Depan NKRI

2 Mins read
Sejak berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), isu hubungan antara Islam dan negara telah menjadi perdebatan yang tak kunjung usai. Di satu…
Religius

Meneroka Makna Hari Guru Nasional dalam Islam

2 Mins read
Dalam dinamika sosial yang semakin kompleks, peran guru telah berevolusi menjadi jauh lebih dari sekadar pengajar. Guru kini berperan sebagai arsitek masa…
Religius

Syariah dan Ekonomi Halal: Transformasi Konsep Agama Jadi Solusi Global

2 Mins read
Dalam satu dekade terakhir, istilah syariah telah melampaui batasan keagamaan dan menjelma menjadi fenomena global yang memengaruhi berbagai aspek kehidupan, termasuk ekonomi….
Power your team with InHype
[mc4wp_form id="17"]

Add some text to explain benefits of subscripton on your services.