Penggagas konsep NKRI adalah seorang tokoh Muhammadiyah yaitu Djuanda Kartawidjaja. Tanpa Djuanda Kartawidjaja, konsep Mosi Integral ala Mohammad Natsir pada 16 Agustus 1950 tidak akan terwujud.
Deklarasi konsep NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) oleh Djuanda Kartawidjaja disebut-sebut sebagai pernyataan kemerdekaan yang kedua. Djuanda Kartawidjaja adalah tokoh sentral di balik konsep kesatuan bangsa. Djuanda Kartawidjaja juga memperkenalkan konsep kemaritiman.
Mosi Integral Mohammad Natsir
Melalui Mosi Integral, Mohammad Natsir memiliki jasa besar dalam menyatukan Indonesia sebagai sebuah negara kesatuan yang utuh. Karena setelah merdeka, Indonesia merupakan negara federal yang terpisah menjadi tujuh negara bagian dengan sembilan wilayah otonom.
Dalam Capita Selecta 2 (1957), M. Natsir menyatakan bahwa Mosi Integral ialah kesadaran bersama seluruh rakyat Indonesia di wilayah federasi untuk bersama-sama bersatu dan kompak menanggung segala akibatnya sebagai satu kesatuan utuh. Natsir menyelesaikan dua per tiga Konsep Indonesia yang kemudian disempurnakan oleh Djuanda.
Deklarasi Djuanda Menyelamatkan Dunia
Dalam Pengajian Bulanan PP Muhammadiyah di Jakarta, Jumat 7 Desember 2018, Dekan Perikanan dan Kelautan Universitas Padjajaran (UNPAD) Dr. Yudhi Nurul Ihsan menyatakan bahwa dunia internasional layak berterimakasih pada kader Muhammadiyah bernama Djuanda Kartawidjaja.
Yudhi menganggap, deklarasi Djuanda berhasil menghindarkan dunia dari kekacauan geo-ekonomi dan geo-politik.
Yudhi tidak berlebihan. Ditetapkannya Deklarasi Djuanda 1957 oleh PBB sebagai hukum laut internasional pada Konvensi Hukum Laut ke-3 (UNCLOS) tahun 1982 otomatis meminimalkan risiko konflik yang ditimbulkan oleh negara yang secara sepihak melanggar UNCLOS dengan membawa pedoman ganjil. Misalnya pada kasus perebutan Natuna di mana Tiongkok membawa klaim sepihak melalui pedoman Nine Dash Line yang sangat subjektif.
Deklarasi Djuanda untuk Konsep Kemaritiman
Sebelum Deklarasi Djuanda, konsep kesatuan NKRI diketahui hanya berupa kedaulatan wilayah-wilayah daratan. Pada wilayah laut, kepemilikan Indonesia hanya diukur sejauh tiga mil dari garis pantai sesuai hukum Territoriale Zee en Maritieme Kringen Ordonnatie 1939 (TZMKO 1939).
Artinya, semua lautan di luar tiga mil garis pantai yang berada di antara pulau-pulau Indonesia adalah milik laut internasional dan bebas dieksploitasi oleh kapal asing.
Dalam Indonesia Beyond the Water’s Edge: Managing an Archipelagic State (2009), John G. Butcher mencatat peraturan tiga mil yang ditetapkan Belanda sejak 1880 itu diambil dari acuan Inggris sebagai kekuatan maritim terkuat pada zamannya.
Akibatnya, konflik laut di lepas tiga mil garis pantai antara pelaut asing dengan kerajaan lokal maupun negara dengan mayoritas perairan pun sering terjadi. Pada akhirnya banyak negara dengan kawasan laut dominan merasa tidak puas dengan TZMKO 1939, termasuk Indonesia.
Penyempurna Konsep NKRI Bernama Deklarasi Djuanda
Deklarasi Djuanda berupa pernyataan bahwa Indonesia sebagai negara yang terdiri dari ribuan gugusan pulau memiliki kekhususan definisinya sendiri sehingga wilayah kedaulatan laut Indonesia adalah termasuk laut sekitar, di antara dan di dalam kepulauan Indonesia yang menjadi satu kesatuan wilayah NKRI atau dikenal dengan sebutan sebagai negara kepulauan (Archipelagic State).
Setelah melalui perjuangan diplomatik panjang, termasuk peran khusus dari Profesor Mochtar Kusumaatmadja, Deklarasi Djuanda ditetapkan sebagai landasan Hukum Indonesia mengenai Perairan Indonesia.
Ditetapkannya landasan hukum itu terangkum dalam UU No.4/PRP/1960 yang kemudian diterima dan ditetapkan oleh Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) dalam Konvensi Hukum Laut ke-3 (UNCLOS) tahun 1982 sebagai hukum laut internasional.
Johanis Leatemia dalam Pengaturan Hukum Daerah Kepulauan (2019) mencatat Deklarasi Djuanda sebagai penegasan bahwa wilayah laut dan daratan Indonesia merupakan satu kesatuan dalam filosofi “Tanah-Air”.
Dengan ditetapkannya Deklarasi Djuanda, maka wilayah NKRI yang semula berdasarkan TZMKO 1939 hanya sebesar 2,1 juta kilometer persegi, berubah drastis menjadi 5,4 juta kilometer persegi.
“Dengan diadopsinya Deklarasi Djuanda itu oleh lembaga Kemaritiman PBB, sekarang garis batas kepemilikan laut kita mencapai 12 mil, 24 mil, sampai Zona Ekonomi Eksklusif yang mencapai 200 mil dari garis pantai. Ir. Djuanda melampaui zamannya,” puji Yudhi (7/12/18).
Lingkup Politik Djuanda
Berdasarkan Surat Keputusan Presiden RI No.244/1963, Pemerintah Indonesia menetapkan Djuanda Kartawidjaya sebagai pahlawan nasional pada 1963. Jasa Juanda ternyata tidak hanya di bidang hukum konvensi laut dunia.
Selain berjasa dalam perjuangan mewujudkan kedaulatan bahari, Djuanda tercatat memiliki banyak peran dalam berbagai bidang politik.
Dalam Mengenal Pahlawan Indonesia (2008) Arya Ajisaka menyebut setelah selesai mengabdi pada 1937 Djuanda bekerja menjadi tenaga ahli Jawatan Pengairan Jawa Barat dan anggota Dewan Daerah Jakarta.
Pada catatan lain, dalam masa-masa setelah proklamasi pada 28 September 1945, Djuanda berhasil memimpin elemen pemuda Indonesia untuk berperang mengambil-alih jawatan Kereta Api dari penjajah Jepang sehingga kemudian dirinya diangkat sebagai Ketua Jawatan Kereta Api wilayah Jawa dan Madura.
Dari menjadi Ketua Jawatan Kereta Api inilah karir Djuanda terus naik hingga menjadi Menteri Perhubungan. Selama hidupnya, Djuanda tercatat 17 kali duduk di kabinet pemerintahan dengan berbagai jabatan seperti Menteri Perhubungan, Menteri Pertahanan, Menteri Pekerjaan Umum hingga Perdana Menteri, jabatan terakhirnya.
Kecintaan Djuanda Kartawidjaja pada Muhammadiyah
Dalam kaitannya dengan Muhammadiyah, Djuanda merupakan seorang pengurus Muhammadiyah di kota kelahirannya, Tasikmalaya.
Catatan paling umum mengenai hubungan Djuanda denga Muhammadiyah adalah keputusannya untuk mengabdi menjadi guru SMA Muhammadiyah di wilayah Kramat Jakarta dengan gaji sekadarnya pada tahun 1934.
Karena alasan nasionalisme, Djuanda memilih menjadi guru SMA Muhammadiyah daripada menerima tawaran menjadi asisten dosen di almamaternya, Technische Hooge School (THS) Bandung, tempat dirinya lulus pada 1933 yang merupakan lembaga pendidikan Belanda.
Dalam masanya di SMA Muhammadiyah Kramat Jakarta itu, Djuanda atas rekomendasi seorang aktivis Muhammadiyah yang lain yaitu Otto Iskandar Dinata ditunjuk menjadi direktur atau kepala sekolah.
Djuanda Kartawidjaya meninggal dunia dalam posisinya sebagai Perdana Menteri pada 7 November 1963.
Asian Recorder dan Kantor Berita Antara bulan November 1963 mencatat berbeda. Ir. Djuanda Kartawidjaja dikabarkan wafat terkena serangan jantung pada 6 November saat sedang bertugas dalam upacara pembukaan helatan olahraga internasional Games of The New Emerging Forces di Hotel Indonesia Jakarta.
Beberapa catatan meragukan kematian Djuanda dan menganggap kematiannya bukan terjadi akibat serangan jantung.
Atas berbagai jasa yang diberikan oleh pemilik status jenderal titular bintang 4 tersebut, nama Djuanda diabadikan sebagai bandara di Surabaya dan taman Hutan Raya di Bandung, Jawa Barat dan nama berbagai sarana umum di berbagai kota di Indonesia.