Dr. Moewardi adalah seorang dokter lulusan STOVIA atau Sekolah Kedokteran di Batavia. Ia merupakan Ketua Barisan Pelopor pada 1945 di Surakarta. Moewardi juga turut terlibat dalam peristiwa Proklamasi 17 Agustus 1945. Julukan “dokter gembel” juga sangat melekat pada Moewardi, berkat kesederhanaan dan kedermawanannya.
Awal Kehidupan
Moewardi lahir di Desa Randukuning, Pati, Jawa Tengah, pada 30 Januari 1907. Ia merupakan anak ke-7 dari Mas Sastrowardojo dan Roepeni, seorang mantri guru. Pada 1913, Moewardi bersekolah di Hollandsch Inlandsche School (HIS) di Kudus, yaitu sekolah dasar dengan bahasa pengantara bahasa Belanda. Dapatkan informasi, inspirasi dan insight di email kamu. Daftarkan email Moewardi menjadi murid yang pintar di sekolahnya.
Berkat kepintarannya tersebut, sang ayah, Sastrowardojo memindahkan Moewardi ke Europesche Lagere School (ELS), sekolah untuk keturunan Eropa di Pati, karena sekolah ini jauh lebih dekat dari rumahnya. Sastrowardojo juga menginginkan agar anak-anaknya dapat menjadi orang yang lebih pandai dan memiliki kedudukan tinggi daripada dirinya.
STOVIA
Moewardi lulus dari ELS pada 1921. Ia melanjutkan sekolahnya di STOVIA atau Sekolah Kedokteran di Batavia. Ayahnya meminta dr. Umar di Cilacap (ayah angkat Mayjen Ernest Julius Magenda, Direktur Intelejen ABRI era 1960-an) untuk memberi rekomendasi kepada Moewardi. Berkat rekomendasi tersebut, akhirnya Moewardi dapat melanjutkan pendidikannya di STOVIA.
Selama hampir 12 tahun Moewardi baru dapat memperoleh ijazah dokternya. Hal ini bukan karena dirinya bodoh. Sewaktu muda, Moewardi aktif di dunia mahasiswa sehingga ia harus menunda-nunda kelulusannya.
Organisasi Pandu
Moewardi aktif menjadi anggota dari Nederlandsch Indische Padvinders Vereeniging (NIPV), organisasi kepanduan untuk usia anak-anak. Ia mencapai jenjang Assistant Troep Leider, wakil pimpinan pasukan yang sangat jarang dicapai oleh anak-anak bumiputra. Meskipun di organisasi kepanduan Belanda ini ia gagal, karier Moewardi dalam kepanduannya di nasional atau pemuda Hindia Belanda terus berlanjut.
Pada 1925, ia dipercaya menjadi ketua Jong Java cabang Jakarta. Moewardi juga terpilih menjadi salah satu utusan Jong Java pada Kongres Pemuda Nasional di Jakarta. Ia juga turut mengikrarkan Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928. Moewardi menjadi salah sat komisaris besar atau pemimpin tertinggi dalam Jong Java Padvinderij yang kemudian berubah menjadi Pandu Kebangsaan dan berubah kembali menjadi Kepanduan Bangsa Indonesia.
Keterlibatan Proklamasi
Setelah lulus dari STOVIA, Moewardi menjadi seorang dokter. Ia mendapat julukan sebagai dokter gembel, karena Dokter Moewardi lebih senang bergaul dengan gembel dibanding golongan atas.
Kiprah Moewardi tidak hanya berhenti di kedokteran dan organisasi kepanduan, namun ia juga turut aktif dalam usaha melawan penjajahan di Indonesia. Saat Jepang datang menggantikan Belanda, ia menjadi Syuurengotaico. Syuurengotaico adalah jabatan yang bertugas memimpin Barisan Pelopor Kota Istimewa Jakarta atau Jakarta Tokubetsu Shi. Barisan Pelopor sendiri sebenarnya adalah bentukan Jepang, namun oleh para pemuda digunakan sebagai gerakan memerdekakan Indonesia.
Selama bergabung dalam Barisan Pelopor, Moewardi sempat menjadi buronan tentara Jepang karena perlawanannya. Dalam satu kesempatan, Moewardi sempat berdebat dengan Soekarno. Perdebatan antara keduanya terjadi dalam proses pembacaan teks proklamasi. Moewardi meminta agar Soekarno segera membacakan teks proklamasi, meskipun Moh. Hatta belum datang. Tetapi, Soekarno bersikukuh untuk menunggu Moh. Hatta.
Akhir Hidup
Demi kemerdekaan Indonesia, Moewardi sempat melepas status sementara sebagai dokter. Kemudian, setelah ibukota dari Yogyakarta berpindah ke Jakarta, Moewardi memilih untuk menetap di Solo. Di Solo, Moewardi kembali menjalankan profesinya sebagai seorang dokter.
Lalu, pada 13 September 1948, Mayor Hendroprijoko, Jenderal TNI, mencegah Moewardi untuk berpratkek mengingat kondisi negara yang sedang darurat. Namun, Moewardi tidak mengindahkan perkataan Mayor Hendroprijoko. Ia tetap kukuh untuk menjalankan proses operasi sesuai jadwal yang ditentukan. Moewardi mengatakan bahwa ia tidak akan dibunuh oleh bangsa sendiri, melainkan hanyalah Belanda, sehingga pasiennya harus tetap dioperasi.
Tak lama setelah Moewardi berangkat ke rumah sakit, terdengar keriuhan dari letusan senjata api. Moewardi pun diculik dan kantor polisi di dekat rumah sakit telah habis diserbu. Proses penculikan yang terjadi pada Moewardi dapat dikatakan cukup unik. Saat itu, para penculik sempat membiarkan Moewardi untuk menyelesaikan proses operasi terlebih dulu. Setelah itu, terdengar kabar bahwa seluruh korban penculikan termasuk Moewardi telah tewas dibunuh.
Untuk mengenang sosoknya secara resmi Moewardi dinobatkan sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional melalui Surat Keputusan Presiden RI No. 190 Tahun 1964. Nama Moewardi juga disematkan sebagai nama rumah sakit yang diputuskan melalui Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jawa Tengah pada 24 Oktober 1988.
Referensi:
Departemen Sosial RI. (1995). Wajah dan Sejarah Perjuangan Pahlawan Nasional Vol 4. Departemen Sosial RI dan Direktorat Urusan Kepahlawanan dan Perintis Kemerdekaan.
Verelladevanka Adryamarthanino
Selengkapnya baca di sini I