Berita terkait karyawan PT. Kereta Api Indonesiat yang tertangkap memiliki banyak persenjataan berat sedikit mengejutkan masyarakat. Densus 88 menangkapnya pada tanggal 14 Agustus 2023, tiga hari sebelum perayaan hari Kemerdekaan Indonesia ke 78. Investigasi Densus 88 memperlihatkan bahwa tersangka merupakan pendukung Islamic State of Iraq and Syiria atau ISIS yang tergabung dalam Jaringan Mujahidin Indonesia Barat (MIB) sejak tahun 2010, dan berniat untuk menargetkan teror pada markas kepolisian dan TNI.
Ini mengingatkan kita kepada peristiwa bom bunuh diri yang terjadi di markas kepolisian sektor Astana Anyar, Bandung, pada tanggal 7 Desember 2022. Selain menewaskan pelaku, bom ini juga menewaskan satu orang aparat kepolisian. Humas kepolisian melansir bahwa pada akhirnya mereka dapat menangkap 5 orang lainnya yang terkait erat dengan peristiwa bom bunuh diri tersebut, sekaligus merupakan bagian dari kelompok JAD (Jamaah Asharut Daulah).
Sejatinya, walau pun agama apa pun tidak mengajarkan prinsip kekerasan, terutama terorisme, namun gerakan kekerasan yang mengatasnamakan agama apa pun akan selalu ada. Selain di Indonesia, gerakan ekstremisme Hindu di India yang membuat teror terhadap masyarakat muslim, ditandai pada bulan April 2023 silam dengan penembakan seorang politisi muslim oleh seseorang yang berteriak ‘Jai Shri Ram’ yang berarti kemenangan atas Rama, juga merupakan simbol ketaatan.
Lalu, kembali ke tahun 2021 ketika terjadi ledakan bom di Oklahoma, Amerika Serikat, dan ternyata ditemukan fakta bahwa kelompok the White Christian Nationalism berada di belakang teror tersebut. Lalu, kelompok ekstremisme nasionalis Buddha yang mengangkat sentimentalisme terhadap kelompok ras dan agama lain berada di balik beberapa serangan bom, mafia, dan pemakssaan migrasi di beberapa tempat di Myanmar dan Sri Lanka.
Bagaimana di Indonesia?
Selain kasus pengemboman markas kepolisian di Astana Anyar, pernah terdengar kasus bom panci di Bandung 2017 silam, yang rencananya akan diledakkan di sebuah restoran dan kafe, juga gereja di Bandung.
Pelakunya ditenggarai menulis surat kesetiaan terhadap pemimpin ISIS, Abubakar Al Bagdadi. Perilaku mengarah ekstremisme kekerasan dan terorisme juga sudah dipupuk sejak usia muda, hal ini ditekankan dalam riset Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) Universitas Islam Negeri Jakarta. Riset ini mengungkap hasil survei terkait Sikap Keberagaman Siswa dan Mahasiswa (1-15 Oktober 2017) yang melibatkan gen Z (generasi yang lahir dari tahun 1997-2012) sebagai sampel survei. Hasilnya mengungkap bahwa mereka memiliki opini intoleran dan radikal yang cukup tinggi.
Hasil penelitian lainnya terkait ekstremisme kekerasan diungkap dalam Dinamika Ekstremisme Kekerasan, suatu Studi Kasus di Provinsi Lampung, Banten, dan Jawa Barat (Alam, Harisyah dkk), yang menunjukkan bahwa di antara Lampung dan Banten dengan kluster tinggi penyebaran ekstremisme kekerasan mengarah ke terorisme, Jawa Barat memiliki kluster penyebaran yang menjangkau hampir seluruh kabupaten/kota.
Jangan lupakan juga kita pernah mengalami konflik besar di daeah timur di tahun 1999 paska reformasi ketika konflik besar di Ambon terjadi dan seperti sudah diduga bahwa isu yang terangkat adalah konflik agama sebagai basisnya, di mana terjadi serangan besar terhadap kelompok muslim di Tobelo setelah terjadi pembakaran Gereja Silo satu hari setelah Natal sebelumnya, lalu dibalas dengan membakar Masjid An-Nur (Dr. Yusnarida, 1999)
Setelah Konflik, Lalu Pengentasannya?
Banyak aksi ekstremisme kekerasan mengarah ke terorisme suka atau tidak harus diakui dilatarbelakangi sentimen serta konservatisme terhadap ideologi agama tertentu. Rekognisi ini bukan berarti menjustifikasi agama sebagai penyebab kekerasan ekstremisme kekerasan dan terorisme, melainkan bagaimana kita memetakan bagaimana pelaku ekstremisme kekerasan secara konservatif mengatasnamakan ideologi agama mereka untuk membenarkan tindakan mereka. Dan, ini berlaku bagi pelaku berlatar belakang agama dan kepercayaan apa pun.
Dalam level pemerintahan pusat, Negara telah merilis Peraturan Presiden Republik Indonesia (Perpres) Nomor 7 Tahun 2021 tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme (PE) Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme Tahun 2020-2024. Peraturan ini dirilis dengan dasar kekhawatiran terjadinya peningkatan ancaman ekstremisme kekerasan mengarah pada terorisme dengan ancaman keamanan dan stabilitas keamanan nasional. Dalam turunannya, Jawa Barat juga telah merilis Peraturan Gubernur Jabar no 40 tahun 2022 terkait Rencana Aksi Daerah PE.
Di luar dua praktik baik tersebut, kita juga masih melihat efektivitas program moderasi beragama yang diinisiasi oleh Kementerian Agama bagi aparat sipil negara (ASN) dan direncanakan akan menyasar pula kepada institusi pendidikan melalui koordinasi Kementerian Agama dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Riset dan Teknologi. Hal ini menyikapi temuan bahwa perilaku radikalisme dan ekstremisme sudah ditemukan dalam usia muda dan sekolah, serta bagaimana memupuk perilaku toleransi dan inklusivitas dalam lingkungan sekolah yang cenderung lebih multikultural. Semoga praktik-praktik baik ini dapat terus berlanjut untuk mengurangi potensi konflik berbasis agama yang akan berujung pada ekstremisme kekerasan, untuk Indonesia yang lebih damai lagi.