Pemberantasan tindakan intoleransi, ekstremisme dan terorisme tidak bisa berjalan tanpa dukungan berbagai pihak. Tiga masalah tersebut bisa diberhentikan atau dimitigasi apabila masing-masing pihak saling bermitra.
Sepnjang dasawarsa ini, radikalisme, ekstremisme, dan terorisme masih menjadi ancaman di Indonesia. Temuan berbagai peneliti, (di Jawa Tengah khususnya), dari 29 kabupaten dan 6 kota di Jawa tengah, menunjukkan 82% wilayah yang menjadi tempat domisili napiter. Artinya secara teoritis masih rentan masyarakat berinteraksi dengan eks napiter.
Catatan Sejarah
Menurut beberapa hasil survie, setidak-tidaknya perkabupaten terdapat 8 napiter berdomisili tinggal di kabupaten tersebut. Masing-masing napiter berdomisili itu di antaranya masih berstatus merah (liar dan membahayakan). Karena itu wilayah Jawa Tengah masih menjadi zona merah di dalam aktivitas radikalisme dan terorisme.
Di Indonesia tindakan intoleransi, ekstremisme dan terorisme diperkuat dengan berdirinya pondok-pondok besar yang menjadi prodak paham terorisme tersebut. Ada 4 pondok pesantren yang terindikasi kelompok teroris Jemaah Ansharud Daulah dan Jemaah Islamiyah.
Yang mengejutkan, santri-santriwati juga peka terhadap tindakan membayakan ini. Mereka lebih banyak melayani daripada menolak segala ajaran, paham, dan tindakan dari radikalisme tersebut.
Maka itu, banyak pelaku radikalisme dan terorisme yang dilakukan oleh perempuan semakin menjunjukkan siginifikannya. Ini akibat dari kontestasi dan kerjasama antara keluarga, kelompok radikal, dan lembaga pendidikan tersebut.
Faktor-Faktor
Sejarah membuktikan, ada keterlibatan perempuan, anak usia 11 tahunan di dalam aktivitas radikalisme dan terorisme. Mengapa terjadi? Faktornya adalah karena ada doktriner yang terjadi di dunia mereka (lembaga keagamaan, sekolah, lingkungan keluarga). Faktor lain, para pemuda ini masih mencari jati diri (identitas) sehingga mereka masih semangat-semangatnya untuk mengembangkan diri baik dalam basis agama maupun lainnya.
Institusi pendidikan juga memiliki andil dalam horizon terjadinya radikalisme dan terorisme di Indonesia. Bila dianalisis lebih mendalam, terjadinya radikalisme ternyata berawal dari tindakan intoleransi yang terjadi sesama teman-teman sekolah.
Bahkan guru-guru sekolah juga terlibat di dalam propaganda paham radikalisme dan ekstremisme. Termasuk pula, kurikulum-kurikulum (tersembunyi) yang mengajarkan paham radikal baik kurikulum sekolah atau kegiatan ekstrakulekuler menjadi penyumbat pertama target radikalisme.
Makanya, tingkat keterpaparan yang terjadi di akar rumput menjadi niscaya. Misalnya, pada tahun 2018 terjadi serangkain bom yang dilakukan oleh satu keluarga, yaitu ibu, bapak, dan anaknya.
Bom bunuh diri ini dialamatkan pada kelompok keagamaan yang berbeda, yaitu pada pihak agama Kristen. Mereka mengebom di tiga gereja di Surabaya. Selanjutnya, bom bunuh diri pada 28 Maret 2021 di Gereja Katedral Makassar yang dilakukan pasangan suami-isteri: Lukman dan Yogi Safitri Fortuna.
Faktor yang lain adalah kesenjangan ekonomi, marginalisasi dan diskriminasi, tatakelola pemerintahan yang buruk, pelanggaran HAM dan lemahnya penegakan hukum, konflik berkepanjangan, serta radikalisasi di dalam lembaga pemasyarakatan.
Faktor-faktor di atas akhirnya berlanjut kepada faktor selanjutnya, yaitu berakar dari latar belakang dan motivasi individu, memposisikan diri sebagai korban (victimization), kekecewaan kolektif, distorsi terhadap pemahaman tertentu (yang berakar dari kepercayaan, ideologi politik, etnis dan perbedaan budaya, jejaring sosial, serta kepemimpinan).
Strategi Kongkrit
Untuk itu, butuh strategi dan cara untuk mencegah ektremisme, radikalisme dan terorisme dalam basis kemitraan. Ada banyak cara dalam menanggulangan radikalisme di Indonesia.
Pertama, membangun pemahaman bersama tentang bahaya ekstremisme; kedua, membangun kesamaan persepsi melalui forum koordinasi di semua level terkait bahaya ekstremisme berbasis kekerasan sebagai ancaman mendesak (violent extremism as an imminent threat)
Ketiga, mengarusutamakan pencegahan kekerasan ekstrem melalui pengalokasian anggaran, perencanaan kegiatan, pelaksanaan program; keempat, strategi pencegahan untuk mencegah individu yang akan menjadi bagian dari kelompok ekstrim kekerasan dengan mengamati lingkungan yang memungkinkannya untuk berkembang.
Bila strategi tersebut dilakukan, setidak-tidaknya terorisme bisa landai dan tidak mengganggu aktivitas kehidupan umat manusia di Indonesia.