Sejarah dicipta perempuan. Kita mengingat ia bernama Fatmawati. Pada 17 Agustus 2021, kita melihat Indonesia sesak bendera. Teringatlah nama penjahit bendera merah-putih, selain ingatan tentang penulis dan pembaca teks proklamasi.
Berita-berita terheboh tetap naskah proklamasi dan ketokohan Soekarno-Hatta. Fatmawati masih teringat tapi “sepintas” dan “penggenapan”.
Kita menata ingatan dari majalah-majalah lama, berharap ada durasi lama bagi penghormatan Fatmawati. Kliping mungkin memberi sedikit kejutan bagi kita telah lama mengurangi peristiwa membaca majalah-majalah edisi cetak.
Berita dan cerita mengenai Fatmawati terus ada di internet meski berulang atau terbatas. Kini, kita kembali ke halaman-halaman kertas belum punah. Ikhtiar membaca pemaknaan sejarah dan pelbagai hal.
Di majalah Intisari edisi Agustus 1970, kita membaca hasil wawancara bersama Fatmawati. Indonesia sedang bertokoh moncer Ibu Tien Soeharto. Orang-orang tetap memiliki ingatan dan penasaran atas peran Fatmawati dalam babak-babak sejarah Indonesia.
Fatmawati bercerita peristiwa menjahit bendera merah-putih di rumah beralamat di Jalan Pengangsaan Timur 56. “Pokoknja kira-kira medio Oktober 1944. Seingat ibu, bendera itu ibu selesaikan sedikit demi sedikit, lebih kurang 2 hari lamanja, berhubung waktu itu ibu sedang dalam keadaan hamil tua, mengandung putra pertama.”
Sejarah Indonesia bakal tercipta. Fatmawati berada dalam peran menentukan dengan menjahit bendera merah-putih. Ia pun menjelang mencipta sejarah keluarga (berpolitik).
Semula, ia memang tak berpikiran jauh bakal memiliki anak-cucu terus berkecimpung di politik. Kehamilan menjelang proklamasi mengartikan rahim perempuan mencipta sejarah berkepanjangan. Kita mengetahui dan membuktikan pada masa sekarang.
Di majalah Intisari, Fatmawati lugu menjawab masalah peran, tak menghendaki sebagai tokoh depan. Kita simak: “Pada tanggal 17 Agustus 1945, ibu lebih banjak bertugas dalam mempersiapkan dapur umum untuk pemuda-pemuda dan anak-anak pedjuan jang mendjga bapak di Pegangsaan Timur 56. Ibu mempersiapkan ini hanja dibantu oleh beberapa orang pembantu rumah tangga.”
Kita disadarkan sejarah Indonesia tak melulu terbahasakan politik. Rumah menjadi ruang bagi perempuan memiliki peristiwa dan bahasa berbeda dari para lelaki berdandan parlente memberi bahasa bertaut kekuasaan. Di rumah, Fatmawati mengurusi masakan, memberi pengabdian bagi perut-perut lapar.
Kita tak mengetahui makanan disantap saat siang atau menunggu berbuka puasa. Penasaran membutuhkan jawaban adalah masakan dan minuman di dapur dalam episode bersejarah Indonesia.
Sejarah tak selalu berada di serambi atau halaman depan. Fatmawati turut berada di depan tapi memilih peran besar di dapur sejarah. Kita menduga peran dan dampak politis berlatar 1945 memungkinkan kaum perempuan bergerak lincah untuk berada di depan dan belakang dalam babak-babak penentuan sejarah.
Pada masa berbeda, orang-orang berduka. Fatmawati pamitan setelah memberi hikmah atas sejarah dan biografi percintaan bersama Soekarno.
Di majalah Femina edisi 3 Juni 1980. Duka tak ingin lama. Redaksi justru memasang foto Fatmawati periang. Selama puluhan tahun, wajah periang itu menentang pesimisme dan lara.
“Puluhan ribu orang berdesakan ketika jenazah dimakamkan keesokan harinya di pekuburan Karet, Jakarta.” Di situ, Adam Malik berpidato: “Kami tidak akan melepas dikau dengan duka cita. Kami lepaskan engkau dengan semangat juang dan janji yang lebih tinggi dan lebih kuat untuk membebaskan rakyat dari ketakutan, kebodohan, dan kemiskinan.”
Liputan di Femina menimbulkan kesan keinsafan Fatmawati sebagai istri tokoh tenar. Ia diakui tak mau mencampuri politik.
Kesaksian oleh SK Trimurti: “Ia belum berisi akal-akalan yang tetek bengek, tidak diembel-embeli pemikiran yang macam-macam, lain halnya dengan Nyonya Sun Yat Sen, Nyonta Chiang Kai Sek dan Nyonya Marcos.”
Ia bukan ibu merecoki politik. Di babak sejarah, ia tak lama bersama Soekarno. Asmara dan politik memiliki belokan nasib. Sekian pelaku dan saksi sejarah memberi catatan kaitan bahwa nasib Fatmawati turut berpengaruh dalam seruan hak-hak perempuan dan debat undang-undang perkawinan.
Orang-orang mengenang Fatmawati dengan keutamaan bendera merah-putih. Deretan ingatan memanjang dalam beragam hal. Kita diajak mengingat Fatmawati dan kosmetika di majalah Femina edisi 17 Juni 1980. Foto-foto memunculkan riang.
Fatmawati dalam tampilan sederhana dan anggun. Ia tetap mengajak kaum perempuan riang. Keterangan pendek: “Ibu Fatmawati seorang yang senang bersolek. Zaman dulu lipstiknya dari kertas gincu, rambutnya dipelihara dengan abu dari tungku.”
Martha Tilaar menulis kenangan memilih tak berduka. Ia berencana membuat buku berjudul Tata Rias dan Busana Indonesia. Selama dua bulan terakhir, ia bergaul dengan Fatmawati. Perempuan riang itu dipilih mewakili tokoh angkatan 45. Fatmawati diajak dalam pemotretan.
Kita membaca rahasia-rahasia melalui Martha Tilaar: “Untuk perawatan rambut, Ibu Fatmawati mencuci rambut dengan abu gosok yang telah direndam dalam air beberapa hari lamanya…. Setelah dicuci dengan air abu tungku, kulit kepala digosok-gosok dengan jeruk purut yang sudah dipotong dan diremas-remas.”
Kita beralih ke masalah wajah dan kulit: “Untuk perawatan wajah, Ibu Fatmawati rajin memakai bedak dingin. Bedak dingin dibuat dari beras yang dibusukkan kemudian dicampur dengan bunga cempaka, kenanga, melati dan pandan.
Selain itu, Ibu Fatmawati juga menggunakan daun jambu kluthuk yang masih muda. Daun itu diremas-remas ke wajah dan seluruh tubuh. Kulit akan halus dan warna kulit pun akan kuning kehijau-hijauan.” Ibu Fatmawati dalam tata cara tradisional untuk cantik, segar, dan riang.
Kita diajak melacak lagi kemunculan gagasan dan perwujudan kecantikan khas bagi kaum perempuan di Indonesia. Fatmawati tampil sebagai sosok tak terlalu terdikte oleh ukuran kecantikan dan kosmetika Barat. Kesadaran atas khasiat beragam tanaman dan tata cara sederhana tetap menjadikan perempuan Indonesia cantik, anggun, dan mulia.
Pada 1961, terbit buku berjudul Ilmu Ketjantikan dan Kesehatan Sedjati disusun penulis bernama samaran Putery Merdeka. Buku memuat pujian dari Soekarno mengacu hadis Nabi: “Perempoean itoe tiang negara. Baik perempoean, baik negara. Roesak perempoean, roesaklah negara.”
Soekarno pun mengingatkan agar menumbuhkan budi pekerti untuk pemuliaan Indonesia. Soekarno lumrah dihadirkan dalam buku bertema kecantikan bila kita mencatat beragam gagasan bertema perempuan dan lakon-lakon asmara teralami Soekarno, sejak masa kolonial sampai masa 1960-an.
Fatmawati menjadi panutan dalam sejarah dan pembentukan kedirian perempuan. Sosok penting telah berperan besar tapi tak meninggalkan catatan atau buku berkaitan cara berbusana dan pengetahuan kosmetika tradisional.
Fatmawati di dapur sejarah perlahan terbaca tapi rahasia-rahasia kecantikan masih dinantikan terbaca lengkap untuk referensi kaum perempuan Indonesia mengalami zaman “ketagihan” cantik pada abad XXI. Begitu.
Bandung Mawardi
Kuncen Bilik Literasi. Penulis buku Silih Berganti (2021), Titik Membara (2021), Tulisan dan Kehormatan (2021), Bersekutu: Film, Majalah, Buku (2021), Dahulu: Mereka dan Puisi (2020), Pengutip(an) (2020), Terbit dan Telat (2020), Pengisah dan Pengasih (2019).
Selengkapnya baca di sini I