Deklarasi Gerakan Nasional Anti Islamophobia (GNAI) pada Jum’at (15/7) kemarin viral di Twitter. Gerakan tersebut konon dibentuk guna melawan isu islamofobia di dunia yang oleh media Barat digambarkan sebagai teroris dan radikalis. Selain GNAI, narasi anti-islamofobia juga menjadi tekad Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) DIY bersama Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) melalui acara seminar nasional yang diselenggarakan di kampus UMY, Sabtu (16/7).
Deklarasi GNAI yang digelar di Aula Buya Hamka Masjid Al-Azhar Jakarta itu dihadiri sejumlah tokoh, yaitu Wakil Ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid, Ketua Persaudaraan Alumni (PA) 212 Slamet Maarif, Sekretaris Jenderal PP Syarikat Islam Ferry Juliantono, Wakil Ketua Partai Ummat Buni Yani, Ketua Umum Partai Masyumi Reborn Ahmad Yani, Habib Mukhsin, Mustofa Nara, Refly Harun, Alfian Tandjung, Habib Umar Husain dan sejumlah politikus dan aktivis lainnya.
Hadir juga mantan anggota DPR RI Hatta Taliwang, mantan anggota DPR Ariadi Ahmad, Rizal Fadilah, Anton, dan aktivis era ‘98 Andrianto. Sementara di jajaran inisiator dan pendiri GNAI ada nama Wakil Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Buya Anwar Abbas, Sekretaris Jenderal PP Syarikat Islam Ferry Juliantono, Cucu pendiri NU KH. Wahab Hasbullah yakni Gus Aam, Ahmad Dhani Prasetyo, Habib Mukhsin, Ustaz Umar Husein, dan Ustaz Alfian Tandjung.
Tidak hanya itu, sejumlah tokoh juga memberikan testimoni lewat video yang ditayangkan di lokasi acara, antara lain Ustaz Abdul Somad (UAS) dan Ketua Umum PP Syarikat Islam Hamdan Zoelva. Deklarasi dan pernyataan sikap GNAI dibacakan oleh Presidium GNAI, Ferry Juliantono. “Kesadaran baru itu kini telah termanifestasikan dalam bentuk pencanangan Hari Anti Islamophobia se-Dunia,” terang Ferry di Jakarta, Jumat (15/7), seperti dilansir dari Sindo News.
Islamofobia apa yang dimaksud GNAI dengan deklarasinya? Siapa di balik GNAI? Apa tujuan asli dari GNAI tersebut? Apakah terkait persiapan menuju Pemilu 2024 dengan memainkan emosi umat Islam? Semua pertanyaan ini penting karena dua faktor. Pertama, aktor-aktor familiar di lingkaran GNAI. Kedua, mulai semaraknya persiapan politik untuk Pemilu 2024. Tidak ada deklarasi yang ujug-ujug digelar. Selain perlu dana, deklarasi tersebut tidak akan terjadi tanpa kepentingan politik tertentu.
Oposisi Menuju 2024
Gus Nadirsyah Hosen sebenarnya sudah menyindir keras GNAI sebagai deklarasi yang politis: jualan emosi umat. “Gak ada Islamophobia. Presiden sudah naik haji, bahkan masuk Ka’bah dan makam Nabi Muhammad. Wapresnya ulama besar. Rukun Iman-Rukun Islam semuanya bisa dijalankan & difasilitasi di Indonesia. Yang ada itu, politisi jualan emosi umat. Ayo cerdaskan umat, jangan mau dibohongi terus,” kata Gus Nadir, melalui akun Twitter miliknya, Minggu (17/7).
Ada satu fakta menarik, bahwa Hidayat Nur Wahid, yang posisinya di PKS sudah masyhur, ada di GNAI. Pada saat yang sama, PKS lagi gencar-gencarnya mencari suara umat Islam pada Pemilu yang akan datang karena alur koalisinya diboikot oleh PDIP. Para partai enggan untuk berkoalisi dengan PKS karena konsekuensinya adalah tidak bisa koalisi dengan PDIP. Poros partai hari-hari sedang seru, dan demi kemenangan nanti, persiapan PKS dimulai dari sekarang. GNAI salah satunya.
Bagaimana bisa begitu? Umumnya GNAI diprakarsai oleh para oposisi PDIP. UAS, Alfian Tandjung, dan dai-dai yang hadir pada deklarasi kemarin adalah tokoh yang selama ini dianggap mendapat intimidasi pemerintah. Dari mereka pula, narasi islamofobia mencuat ke publik. Kontra-narasi radikalisme dan terorisme yang digalakkan pemerintah dituduh bagian dari islamofobia tadi. Jadi di situ ada banyak elemen: PKS, PA 212, dan para dai yang dicap ‘radikal’. Sungguh perpaduan yang pas.
GNAI sebagai wadah persatuan oposisi menuju Pemilu 2024, dengan demikian, adalah perkawinan politikus dengan agamawan. Islam dalam konteks ini tidak lebih dari alat pemersatu saja, sedangkan islamofobia yang dimaksud ialah masifnya kontra-radikalisme dan kontra-terorisme. Di bawah naungan GNAI, suara umat Islam akan bersatu; bersatu untuk kepentingan 2024 atas nama membela Islam.
Tentu saja GNAI merupakan sesuatu yang legal; bagian dari demokrasi. Namun demikian, ia wajib dikritik keras karena memainkan isu sensitif, yaitu islamofobia. Di Indonesia, islamofobia tidak ada. Kalau pun kontra-radikalisme/terorisme sangat masif dan Islam selalu jadi sasaran, itu merupakan respons terhadap maraknya eksploitasi Islam. Para penipu umat menebar teror dan kebencian atas nama Islam, dan ketika dikonter maka mereka teriak bahwa negara ini benci Islam. Islamofobia di sini sarat politis.
Melihat Islamofobia
Di Barat, islamofobia jelas terasa. Di Jerman misalnya, hari-hari ini islamofobia meningkat. Di Prancis, atribut Muslim dilarang atas nama sekularisme. Namun apa yang terjadi di Barat tidak bisa diseret ke Indonesia. Islamofobia tidak monolitis, banyak faktor kenapa ia bisa terjadi. Indonesia dengan mayoritas pemeluk Islam justru sedang diseret ke arah ortodoksi nasional: banyak komunitas keagamaan yang semakin eksklusif dan bahkan mencederai keindonesiaan itu sendiri.
Dengan demikian, deklarasi GNAI tidak memiliki dasar yang kuat kecuali bahwa ia dibangun untuk menyemai suara umat Islam sebanyak-banyaknya di tahun politik yang kian dekat. Dalam perspektif tersebut, maka islamofobia yang dimaksud sangat subjektif. Para aktivis khilafah dan para penipu umat berkomplot untuk mengais suara dengan menegasikan fakta-fakta besar, yaitu bahwa di negara ini umat Islam bebas melakukan apa pun, termasuk menindas sesama warga negara.
Islamofobia di Indonesia sangat peyoratif. Istilahnya sudah dimanipulasi sedemikian rupa. GNAI menggunakan istilah tersebut untuk mempersonifikasi diri sebagai korban ‘rezim zalim’. Semua memang sepakat untuk melawan islamofobia, namun islamofobia ala GNAI tidak lebih dari organisasi lintas ideologi untuk satu kepentingan: kekuasaan. Para ustaz dan penceramah radikal itu nyata, dan sekarang ia kawin silang dengan para politikus penipu umat. Siapa mereka? Semua orang tahu siapa dalangnya.
Wallahu A’lam bi ash-Shawab…