Pesantren selama ini dikenal sebagai lembaga pendidikan keislaman tertua di Nusantara. Oleh karenanya, warisan khazanah pesantren di nilai memiliki corak tersendiri dibanding dengan lembaga pendidikan lainnya. Warisan intelektual pesantren terdedikasikan sampai saat ini untuk pembangunan nasional.
Meski begitu, tak pelak jika dinamisasi pendidikan pesantren selalu terjadi dalam setiap eranya. Untuk itu peran sentral ulama menjadi titik temu yang bisa menyatukan pesantren dengan perkembangan zaman. Kebaruan dan kontekstualisasi pendidikan pesantren tampaknya menjadi suatu keniscayaan.
Dalam perkembangannya, salah satu ulama yang memiliki andil besar dalam proses dinamika pembaharuan pesantren ialah KH Hasyim Asy’ari. Lahir pada 14 Februari 1871 di Jombang, Jawa Timur, ulama dengan nama lengkap Muhammad Hasyim Bin Asy’ari bin Abdul Wahid ini telah lekat dengan dunia pesantren sejak belia.
Sejak kecil ia telah menimba ilmu dengan Ayah dan Kakeknya. Setelah itu, Hasyim Asy’ari remaja sudah berkelana di beberapa pesantren di pulau Jawa untuk menimba ilmu agama. Hingga pada tahun 1892, ia melanjutkan rihlah pencarian ilmunya menuju Mekkah (Bachtiar, 2018). Di Mekkah, ulama yang mendapat gelar Hadratussyaikh ini menimba ilmu dari banyak ulama terkemuka.
Sepulangnya dari Mekkah, KH Hasyim Asy’ari mendirikan pondok pesantren Tebuireng di Jombang, Jawa Timur. Pesantren ini pada kemudian hari disinyalir sebagai pelopor pembaharuan pendidikan pesantren di Nusantara. Corak pembaharuan tersebut sudah terlihat sedari awal pesantren yang didirikannya itu mulai beroperasi.
Ini terjadi ketika pada saat itu sistem sorogan dan bandongan tengah menjadi tumpuan pembelajaran di banyak pesantren, Kiai Hasyim Asy’ari justru menerapkan metode musyawarah untuk para santri seniornya. Metode yang mirip dengan corak seminar di perguruan tinggi ini dianggap cocok untuk santri lama yang telah melahap bayak ilmu. Sedangkan untuk santri yang masih junior tetap berlangsung metode sorogan dan bandongan (As’ad, 2012). Namun demikian, hal ini tentu menjadi keberanian tersendiri terkait langkah awal pembaharuan yang digarap olehnya.
Dalam tata kelola kelembagaan pesantren juga dimulai pembaharuan yang pertama, yaitu dengan memperkenalkan sistem madrasah. Sistem yang diberi nama Madrasah Salafiyah ini, meskipun masih memakai kurikulum diniyah (kegamaan), namun telah dikemas ke dalam sistem pembelajaran bertingkat yang mencakup tujuh kelas. Kelas ini terbagi menjadi dua jenjang, yaitu sifr awwal dan sifr tsani di tahun pertama dan kedua. Sehingga setelah itu diteruskan dengan madrasah selama enam tahun pada jejang kedua.
Selain itu, juga diberlakukan pembelajaran bahasa Arab dengan pembelajaran aktif di madrasah. Model ini memungkinkan para santri dapat menguasai bahasa arab, baik secara lisan maupun tulisan. Selain itu juga mulai dimasukkan berbagai buku-buku umum dan surat kabar ke dalam madrasah (As’ad, 2012). Tujuannya tak lain agar para santri memiliki pengetahuan yang luas.
KH Hasyim Asy’ari memiliki pemikiran yang terbuka terhadap segala realitas yang ada. Maka reformasi kurikulum dengan memasukkan ilmu-ilmu umum ke dalam sistem pendidikan pesantren merupakan keniscayaan.
Ia tampaknya ingin mengembalikan pemahaman bahwa dalam Islam sejatinya tidak ada dikotomi antara ilmu agama dan ilmu umum (As’ad, 2012). Adapun reformasi kurikulum yang dicanangkan oleh KH. Hasyim Asy’ari didasarkannya pada kebutuhan masyarakat atas realitas sosial yang ada (Ijtihadi al-ijtimaiyah). Sebab pada saat itu, juga didirikan lembaga pendidikan Islam milik belanda yang dioperasikan oleh kaum reformis, yang memandang bahwa pesantren sudah tidak relevan terhadap perkembangan zaman (Hanani, 2019).
Selain itu, juga diberlakukan pembelajaran bahasa Arab dengan pembelajaran aktif di madrasah. Model ini memungkinkan para santri dapat menguasai bahasa arab, baik secara lisan maupun tulisan. Selain itu juga mulai dimasukkan berbagai buku-buku umum dan surat kabar ke dalam madrasah (As’ad, 2012). Tujuannya tak lain agar para santri memiliki pengetahuan yang luas.
Pada periode selanjutnya, KH Hasyim Asy’ari mengintegrasikan kurikulum pendidikan barat yang dikenalkan kolonial belanda, dengan kurikulum pendidikan ilmu keagamaan. Sehingga menghasilkan kesatuan kurikulum baru yang dimiliki pesantren. Maka selain mengkaji bahasa Arab dan kitab kuning, para santri juga belajar baca-tulis huruf latin, ilmu pengetahuan umum, pidato, berorganisasi (Bachtiar, 2018), bahasa Belanda, bahasa Inggris dan mengetik (As’ad, 2012). Hingga pada tahun 1950, pesantren Tebuireng telah membuka madrasah dan sekolah, sebagai wujud formalisasi pendidikan terhadap kebutuhan zaman. Berbagai perkembangan ini, sekarang telah diadopsi oleh berbagai pesantren di penjuru nusantara.
Namun demikian, berbagai pembaharuan yang dilakukan oleh Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari tersebut, tidak lantas kemudian meninggalkan dimensi karakternya. Ini dibuktikan dengan pengembangan tata krama dan adab-adab dalam mencari ilmu.
Baginya ilmu dapat menjadi berkah dan manfaat, tatkala seluruh stakeholder pesantren memiliki adab-adab terhadap ilmu. Karena sebetulnya pendidikan tidaklah hanya sekadar proses transmisi ilmu, namun juga untuk melahirkan manusia yang berkarakter dan bertakwa. Kesemuanya ini termaktub dalam kitab karyanya, Adab Al-‘Alim wa Al-Muta’alim. Wallahua’lam.
Muhamad Nur Ma’ruf
Santri Alumni Ponpes API ASRI Syubbanul Wathon Tegalrejo Magelang, asuhan KH. Yusuf Cludlori (Gus Yusuf Ch). Mahasiswa Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Minat pada kajian Studi Keislaman dan kepesantrenan.