NKRI

Indonesia Ini Rumah Siapa sih? (2)

3 Mins read

Kisah Brown v. Board of Education of Topeka, Amerika Serikat, tahun 1954 bisa menjadi salah satu contoh keberanian negara dalam melndungi hak-hak konstitusional warga negaranya. Kisah ini merujuk pada keputusan Mahkama Agung Amerika Serikat yang memutuskan bahwa pemisahan rasial di sekolah-sekolah negeri adalan inkonstitusional, bahkan jika segregasi itu tetap mempertahankan kesetaraan kualitas. Karena, menurut keputusan Mahkama Agung, “separate educational facilities are inherently unequal” (Memisahkan fasilitas pendidikan secara inheren adalah ketidaksetaraan itu sendiri).

Kasus ini bermula di tahun 1952 ketika sekolah negeri di Distrik Topeka, Kansas, menolak pendaftaran seorang siswi kulit hitam putri dari Oliver Brown, di mana sekolahan itu adalah sekolah negeri terdekat dari rumahnya. Kalau tidak, putri Oliver Brown ini harus sekolah di sekolah dasar khusus anak-anak kulit hitam yang jaraknya sangat jauh dari rumahnya. Yang perlu diketahu, di Distrik Topeka, sekalipun ada kebijakan segregasi sekolah kulit putih dan hitam, namun semua sekolah negeri memiliki kuaitas yang sama, baik bangunan, transportasi, kurikulum, maupun kualifikasi guru.

Brown dan dua belas keluarga kulit hitam lain yang mengalami nasib sama melakukan class action di pengadilan Federa. Setelah melalui proses peradilan, Mahkama Agung akhirnya memutuskan memenangkan gugatan Brown dengan menyatakan bahwa kebijakan “separate but equal” (pemisahan tapi setara) adalah inkonstitusional.

Keputusan ini ditentang, terutama di negara-negara bagian selatan. Berbagai cara dilakukan untuk menyiasati keputusan peradilan tersebut, misalnya, dengan mengubah aturan zonasi atau bekerja sama dengan aparat penegak hukum setempat untuk mendapatkan catatan perilaku anak-anak kulit hitam sehingga sekolah memiliki alasan untuk menolaknya. Tidak hanya warga kulit putih yang menentang, bahkan para pejabat publik dan politisi ikut menggerakan warga untuk menentang keputusan tersebut.

 

Misalnya, pada 1957, Gubernur Orval Faubus mengerahkan pasukan Garda Nasional Negara Bagian Arkansas yang berada di bawah wewenangnya untuk menghalangi siswa kulit hitam mendaftar di Little Rock Central High School. Presiden Eisenhower sampai memanggilnya agar menaati putusan peradilan. Tapi sang Gubernur tetap membandel. Akhirnya, Presiden Eisenhower memutuskan untuk mengambil alih komando Garda Nasional Arkansas di bawah kewenangan federal dan memerintahkan mereka semua untuk kembali ke barak. Sang Presiden kemudian menerjunkan pasukan federal dari Divisi ke-101 Lintas Udara yang bermarkas di Fort Campbell, Kentucky, ke sekolah tersebut untuk mengawal dan memastikan agar para siswa kulit hitam dapat mendaftar dan mengikuti pelajaran.

Enam tahun kemudian, Gubernur Negara Bagian Alabama, George Wallace, dalam rangka memenuhi janji kampanyenya, menghalangi pelajar kulit hitam untuk mendaftar sebagai mahasiswa di University of Alabama di kota Tuscaloosa. Kali ini penentangannya lebih gila. Sang Gubernur berdiri di depan pintu Foster Auditorium University of Alabama untuk menghadang dua calon mahasiswa berkulit hitam, Vivian Malone dan James Hood. Wakil Jaksa Agung Amerika Serikat, Nicholas Katzenbach, harus turun tangan mengantar kedua calon mahasiswa tersebut. Kehadiran Wakil Jaksa Agung rupanya tidak membuat Gubernur Wallace menyingkir dari tempatnya. Sambil melipat tangan di dada, dia tetap berdiri di depan pintu auditorium menghadang dua calon mahasiswa kulit hitam.

Katzenbach segera melapor ke Presiden John F. Kennedy. Sang Presiden langsung menandatangani Perintah Eksekutif Nomor 1111 yang isinya adalah mengambil alih komando Garda Nasional Negara Bagian Alabama dari tangan Gubernur. Atas dasar perintah tersebut, Pimpinan Garda Nasional, Mayor Jenderal Henry Graham, kemudian memerintahkan Gubernur Wallace untuk minggir dan membiarkan Malone dan Hood untuk masuk ke dalam auditorium.

 

Kisah-kisah di atas memberi pelajaran bagi kita bahwa perlindungan hak-hak konstitusional warga negara adalah aspek penting untuk memastikan bahwa seluruh warga negara memiliki hak yang sama. Negara harus hadir untuk memastikan bahwa tidak ada regulasi yang lahir justru untuk membenarkan pelanggaran hak-hak ini. Negara juga harus bersikap tegas terhadap seluruh aparatnya jika melakukan pelanggaran hak konstitusional warga negara.

Dalam banyak kasus, pragmatisme politik seringkali lebih menggiurkan bagi para politisi. Melindungi kelompok minoritas dan melawan arus besar suara mayoritas seringkali tidak menjadi pilihan seorang politisi karena itu bisa berarti mengarah pada kekalahan dalam sebuah kompetisi politik untuk meraih kekuasaan. Di Indonesia, tidak adanya perlindungan terhadap komunitas Syiah dan Ahmadiyah bisa dilihat dari perspektif ini.

Namun, kita semua harus menanyakan pada diri kita sendiri: untuk apa kekuasaan yang ada di genggaman jika itu dicapai dan dipertahankan dengan menghancurkan Indonesia. Kita semua harus menyadari bahwa Indonesia adalah rumah bersama bagi setiap warganya. Bukanlah sebuah rumah jika ada sebagian penghuninya yang tidak merasa nyaman tinggal di dalamnya. Bukan sebuah rumah jika ayah-ibu membiarkan ada sebagian putra-putrinya yang menjadi korban kebiadaban dari anggota keluarga lain, apalagi sampai ayah-ibu turut ambil bagian dalam tindakan biadab itu. Sesederhana itulah jika kita membayangkan Indonesia sebagai rumah bersama.

Jika kita menemukan ada sebagian saudara kita yang dengan perasaan pedih melangkahkan kakinya keluar dari rumah Indonesia karena merasa tidak mendapatkan kenyamanan, mungkin kita perlu mengingat makna sebuah rumah. “Home is where love resides, memories are created, friends and family belong, and laughter never ends” (Rumah adalah tempat di mana cinta bersemayam di dalamnya, merasa memiliki kawan dan keluarga, dan tiada henti berbagi tawa).[mmsm]

 

*) Artikel ini adalah hasil kerja sama arrahim.id dan Jaringan GUSDURian untuk kampanye #IndonesiaRumahBersama

Ahmad Zainul Hamdi

Pimpinan Umum Arrahim.id; Direktur Moderate Muslim Institute; Senior Advisor Jaringan GUSDURian

Selengkapnya baca di sini I

2118 posts

About author
Pilarkebangsaan.com adalah media yang menfokuskan diri pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan kenegaraan
Articles
Related posts
NKRI

Haji Fachrodin, Tokoh Muhammadiyah di Jalur Kiri

6 Mins read
Tokoh utama di Muhammadiyah yang telah terinfiltrasi ideologi Marxisme adalah Haji Fachrodin, salah seorang murid ideologis K.H. Ahmad Dahlan. Bagaimana lika-liku beliau…
NKRI

Pandangan Historis Kenapa Kalimantan Timur Jadi Ibu Kota Negara

1 Mins read
Kutai itu kalau diibaratkan dengan buku Pramoedya Ananta Toer adalah Bumi Manusia dan Anak Semua Bangsa. Selain karena Kutai adalah awal kerajaan…
NKRI

Naifnya Pengedar Khilafah dalam Merusak Bangsa Indonesia

2 Mins read
Bagi para pengedar paham khilafah, perbedaan jatuhnya bulan Ramadan di Indonesia dianggap salah. Mereka kira, perbedaan ini bentuk dari persoalan dan ketidakakuran…
Power your team with InHype

Add some text to explain benefits of subscripton on your services.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *