Direktur Jaringan GUSDURian Alissa Qotrunnada Wahid atau Alissa Wahid mengkritisi realitas kebebasan beragama di Indonesia, yang menurutnya masih jauh dari semangat Bhinneka Tunggal Ika. Meskipun hak beragama dijamin oleh konstitusi, praktiknya sering kali tidak sejalan dengan prinsip tersebut. Menurutnya, Bhinneka Tunggal Ika belum benar-benar tercermin dalam kesetaraan bagi semua warga negara.
“Kita selalu membanggakan Indonesia sebagai negara yang harmonis dan rukun, tetapi realitanya tidak seindah slogan-slogan itu. Padahal, hak beragama itu dilindungi oleh konstitusi, disebutkan oleh konstitusi tapi faktanya tidak demikian,” ungkap Alissa saat menyampaikan orasi ilmiah dalam Simposium Festival Beda Setara di Convention Hall UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Merujuk pada laporan Setara Institute tentang intoleransi dan pelanggaran kebebasan beragama, Alissa menyebut laporan tersebut menunjukkan adanya tren peningkatan dari 2014 hingga saat ini, meskipun ada perkembangan positif yang belum mencapai stabilitas jangka panjang.
Alissa menilai upaya Kementerian Agama (Kemenag) melalui program moderasi beragama mampu memberikan dampak positif. Namun, ia menegaskan bahwa angka pelanggaran masih terbilang besar. Putri sulung Gus Dur tersebut menyebutkan bahwa tren intoleransi cenderung meningkat selama tahun-tahun politik, seperti Pemilu dan Pilkada, karena sentimen agama kerap digunakan untuk memanipulasi opini publik.
“Apakah tahun-tahun itu adalah tahun-tahun Pemilihan Umum Presiden dan Pilkada? 2014-2015 2019-2020, 2023 dan kita memperhitungkan tahun ini pasti angkanya naik. Jadi kita juga perlu memperhitungkan itu kenapa? Karena berdasarkan penelitian, sentimen agama menjadi salah satu sentimen yang kemudian dipelintir menjadi sentimen kebencian kalau ada kontestasi politik,” jabar dia.
Hal ini, sambungnya, menjadi perhatian lantaran agama di Indonesia merupakan aspek penting yang masih dipertahankan kuat oleh masyarakat Indonesia. “Di Indonesia, agama memiliki peran yang sangat signifikan dalam kehidupan masyarakat. Lebih dari 90 persen warga Indonesia, termasuk Gen Z, menganggap agama sebagai hal yang penting,” kata dia.
Menurut Alissa, tingginya angka pelanggaran kebebasan beragama sebagian besar dipicu oleh peran agama dalam politik, yang sering kali disalahgunakan untuk kepentingan tertentu. Namun, pertanyaannya adalah, praktik beragama yang seperti apa yang akan memengaruhi kehidupan kita sebagai bangsa dan negara?
“Yang menarik, ternyata 20 tahun terakhir ini masyarakat Indonesia menyatakan bahwa agama makin besar pengaruhnya. Paling tinggi dari seluruh dunia ketika ditanya dibandingkan dengan 20 tahun yang lalu. Apakah agama makin penting bagi negara Anda? Indonesia paling tinggi itu 83 persen, yang lainnya kan sedikit-sedikit. Spanyol itu 7 persen yang menganggap penting,” pungkas Alissa di hadapan lebih dari 200 peserta yang hadir.
Indonesia sering dipromosikan sebagai model toleransi beragama di dunia, negara dengan semboyan “Bhinneka Tunggal Ika” yang merepresentasikan kerukunan dalam keberagaman. Namun, kritik Alissa Wahid, Direktur Jaringan GUSDURian, mengingatkan bahwa klaim ini masih jauh dari kenyataan. Di balik slogan yang mengagungkan harmoni, terdapat problematika serius yang menunjukkan bahwa kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia belum sepenuhnya terwujud.
Konstitusi Republik Indonesia secara jelas menjamin hak kebebasan beragama melalui Pasal 29 ayat (2) UUD 1945, yang menyatakan bahwa “negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.” Di atas kertas, ini adalah pernyataan yang kuat dan komprehensif. Namun, praktiknya sering kali menunjukkan sebaliknya.
Kasus-kasus intoleransi yang terjadi di berbagai daerah menjadi bukti nyata dari ketimpangan ini. Misalnya, masih banyak rumah ibadah yang ditutup paksa, izin pendirian gereja atau tempat ibadah lainnya yang dipersulit, hingga perlakuan diskriminatif terhadap kelompok agama atau kepercayaan minoritas. Contoh lainnya adalah kasus Ahmadiyah dan Syiah, yang hingga kini masih menjadi sasaran persekusi dalam berbagai bentuk, mulai dari pengusiran hingga pelarangan praktik ibadah mereka.
Fenomena ini menunjukkan bahwa negara belum optimal dalam melindungi warganya dari tindakan intoleran, bahkan terkadang aparat negara terlibat dalam pelanggaran tersebut. Tidak sedikit kebijakan lokal yang diterbitkan dengan dalih menjaga kerukunan, tetapi justru menjadi legitimasi diskriminasi terhadap kelompok tertentu. Contoh nyata adalah Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan 8 Tahun 2006 tentang Pendirian Rumah Ibadah, yang sering kali digunakan untuk mempersulit kelompok agama minoritas mendirikan tempat ibadah mereka.
Kritik Alissa Wahid juga menyoroti bahwa kebebasan beragama sering kali hanya menjadi slogan tanpa implementasi nyata. Harmoni yang diagung-agungkan lebih sering terlihat sebagai topeng yang menutupi realitas diskriminasi dan eksklusivitas. Ketidakadilan ini tidak hanya mencederai kelompok minoritas, tetapi juga merusak semangat kebangsaan yang seharusnya mendasarkan diri pada kesetaraan dan penghormatan terhadap perbedaan.
Hal ini semakin diperparah oleh minimnya pendidikan toleransi di tingkat masyarakat. Pola pikir eksklusif dan stereotip terhadap kelompok lain masih menjadi tantangan besar dalam membangun bangsa yang benar-benar inklusif. Generasi muda sering kali tidak dibekali dengan pemahaman mendalam tentang pentingnya keberagaman, sehingga intoleransi terus diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Untuk memperbaiki situasi ini, langkah pertama yang harus dilakukan adalah memperkuat peran negara dalam menegakkan hukum secara adil dan konsisten. Negara harus berani bersikap tegas terhadap pihak-pihak yang melanggar kebebasan beragama, termasuk kelompok mayoritas yang menggunakan posisinya untuk mendiskriminasi kelompok lain. Selain itu, kebijakan-kebijakan yang diskriminatif harus direvisi agar tidak lagi menjadi alat legitimasi tindakan intoleran.
Selain itu, pendidikan multikultural harus menjadi fokus utama dalam kurikulum nasional. Masyarakat Indonesia, khususnya generasi muda, harus diajarkan untuk memahami, menghormati, dan menghargai perbedaan. Dengan pendekatan ini, intoleransi dapat dicegah sejak dini, dan generasi mendatang dapat tumbuh dengan semangat kebhinnekaan yang sejati.
Kebebasan beragama adalah pilar penting dalam menjaga persatuan bangsa. Ketidakmampuan negara untuk menegakkannya secara ideal hanya akan membuka ruang bagi konflik dan perpecahan. Indonesia harus berani menghadapi tantangan ini dengan serius dan membuktikan bahwa semboyan “Bhinneka Tunggal Ika” bukan hanya sekadar slogan, tetapi nilai yang hidup dalam setiap aspek kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Orasi Alissa Wahid adalah pengingat penting bahwa perjuangan untuk kebebasan beragama di Indonesia belum usai. Ini adalah panggilan bagi seluruh elemen bangsa untuk bersama-sama menciptakan lingkungan yang lebih adil, setara, dan damai, di mana setiap individu dapat menjalankan keyakinannya tanpa rasa takut atau diskriminasi. Hanya dengan demikian, Indonesia dapat benar-benar menjadi rumah bagi semua, sesuai dengan semangat Bhinneka Tunggal Ika.