Bhinneka Tunggal Ika

Insight Pemikiran Habermas dalam Dinamika Politik Indonesia

3 Mins read

Filsuf Jerman paling signifikan pada paruh kedua abad ke-20, Jurgen Hebermas, lahir di Usseldorf, Jerman, pada tanggal 18 Juni 1929. Salah satu pemikir sosial dan politik paling signifikan di zaman kita, gagasan politiknya mencakup ranah publik, rasionalitas komunikatif, dan demokrasi deliberatif. Dia menganjurkan wacana logis di antara orang-orang yang setara sebagai landasan demokrasi.

Selain itu, Habermas menggarisbawahi pentingnya ruang publik sebagai forum bagi warga negara untuk berdiskusi secara terbuka dan tidak memihak mengenai masalah politik. Teori rasionalitas komunikatifnya sangat menekankan nilai percakapan dan debat dalam mencapai konsensus dan pemahaman. Keyakinan politiknya mendukung keterlibatan demokratis yang kritis dan terlibat.

Habermas menulis Sistemwandel der Oeffentlichkeit (Perubahan Struktur Opini Publik, 1962) sebagai bagian dari Habilitations-Schrift ketika dia terlibat dalam operasional Institut. Karya ini kemudian menjadi salah satu ciptaan awalnya yang paling terkenal sebagai anggota Institut. Tempat tinggalnya selesai di Mainz pada tahun 1961. Ia melanjutkan kuliah di Universitas Heidelberg pada tahun tersebut hingga tahun 1964. Ia kemudian meninggalkan posisinya sebagai profesor untuk kembali ke Universitas Frankfurt untuk mengambil kelas sosiologi dan filsafat Horkheimer.

Keunggulannya di kalangan mahasiswa Frankfurt merupakan salah satu faktor yang penting untuk memahami statusnya sebagai seorang intelektual Marxis. Mirip dengan Adorno dan Hokheimer, Habermas berpartisipasi dalam gerakan mahasiswa kiri Jerman, kadang-kadang dikenal sebagai “kiri baru”, namun sebagai seorang sarjana Marxis, perannya terbatas.

Ia mendapatkan popularitas khusus di Kelompok Mahasiswa Sosialis Jerman, atau Sozialistischer Deutsche Studentenbund. Dalam hal ini, ia dikenal sebagai pemikir segar yang seharusnya meneruskan warisan intelektual Horkheimer, Adorno, dan Marcuse.

Namun ketika gerakan ini mulai menggunakan kekerasan yang tidak dapat diterima dalam aksinya pada tahun 1970an, interaksi positifnya dengan gerakan tersebut semakin memburuk. Mirip dengan pendahulunya, Hebermas mengecam gerakan-gerakan ini, menyebutnya sebagai gerakan-gerakan “kecil”, “bentuk pemerasan yang berulang-ulang”, “revolusi palsu”, dan tidak produktif.

Meski demikian, status Habermas sebagai pemikir neo-Marxis tampaknya memasuki babak baru akibat konflik ini. Dia meninggalkan Frankfurt pada tahun 1970 dan bekerja di institut lain, Institut Max Planck zur Erfoschung der Lebensbedingungen Wissenshaftlichtechnischen Welt (Institut Max Planck untuk Penelitian Kondisi Kehidupan Dunia Ilmiah-Teknis) di Starnberg, di mana dia menjadi sesama mahasiswa CF von Weizsacker.

Pada tahun 1972, Jurgen Habermas menjabat sebagai direktur di sana. Pada tahun 1994, ia pensiun dari jabatannya sebagai profesor filsafat di lokasi yang sama. Ia juga mempunyai kebebasan untuk merumuskan landasan teori kritisnya di sini, yang sangat berbeda dengan nada, substansi, dan pendekatan para pendahulunya, termasuk Adorno, Hokheimer, dan Marcuse, serta dengan para ahli teori Marxis pada umumnya.

Teori Kritis dalam Dinamika Politik

Dari sudut pandang teori kritis, setidaknya ada beberapa ciri yang dapat kita dekonstruksi dengan meminjam pengertian-pengertian yang telah kita gali sebelumnya, mulai dari alienasi, reifikasi, hingga emansipasi. Dapat dengan mengambil studi kasus pada Undang-Undang tentang Desa nomor 6 tahun 2014.

Gagasan pertama—alienasi—dapat menjelaskan mengapa kemiskinan berkembang ketika UU Desa diberlakukan. Bisa saja seorang penduduk desa tersingkir dari desanya meskipun ia lahir, besar, dan menghabiskan seluruh hidupnya di sana. Fakta bahwa warga tersebut benar-benar menjadi “miskin” secara struktural akibat program yang dilaksanakan tidak memenuhi kebutuhan masyarakat desa tidak disebutkan dalam konteks ini.

Dalam kajiannya, Partisipasi Masyarakat dalam Pemanfaatan Dana Desa di Desa Pitu, Richard Djiko dan Remelia Dalensang juga menyebutkan bahwa beberapa inisiatif pemerintah hanya bersifat proyek dan tidak benar-benar menjawab kebutuhan masyarakat.

Konsep kedua, reifikasi, terdapat pada fenomena eksploitasi masyarakat desa berkedok kesejahteraan dan pengentasan kemiskinan. Dalam proses pemberlakuan UU Desa, perangkat desa secara tidak langsung diminta mempertanggungjawabkan hasil penggunaan dana desa; akuntabilitas ini berbentuk laporan pertanggungjawaban yang mereka siapkan dan serahkan untuk digunakan sebagai alat evaluasi bagi pembuat kebijakan.

Untuk meyakinkan pengambil keputusan bahwa program dana desa berfungsi dengan baik, terdapat permasalahan manipulasi data terkait hasil penggunaan dana desa. Kasus pemberian bantuan tunai, markup pembelian sembako di desa, dan beberapa kasus pemalsuan data pelaporan merupakan contoh umum manipulasi data tersebut.

Menurut ICW, munculnya mark-up dinilai menjadi salah satu faktor penyebab terjadinya korupsi di dusun tersebut. Hal ini menunjukkan bagaimana permasalahan dan dinamika spesifik yang dihadapi masyarakat desa disarikan dari permasalahan tersebut dan direduksi menjadi serangkaian karakter dan angka. Fenomena masyarakat yang walaupun miskin secara jumlah, namun tidak merasa dirugikan ketika ditanya, disebabkan oleh kejadian tersebut. Hal ini disebabkan karena pelaksanaan program yang salah sasaran akibat seringnya standar pengukuran tidak memperhatikan kearifan lokal atau kekhasan daerah.

Emansipasi adalah konsep analisis akhir. Penerapan prinsip emansipasi memang bisa mencegah situasi korupsi dana desa. Saat ini, kepala desa dianggap mempunyai posisi yang kuat dalam pengelolaan keuangan daerah. Orang-orang yang seharusnya terlibat aktif dalam pengusulan, pengorganisasian, dan pengawasan terkadang hanya menjadi penonton. Meski menurut Habermas hal ini tidak perlu menjadi persoalan karena masih terdapat ranah informal berupa ruang publik, namun hal ini dapat dilatarbelakangi oleh minimnya ruang untuk menyampaikan pendapat, terutama di ruang formal.

Di pedesaan, ruang publik dapat diwujudkan melalui kegiatan perkumpulan yang berlangsung di pos patroli setelah penyuluhan pertanian selesai, serta kegiatan perkumpulan informal lainnya. Ruang publik merupakan tempat dimana masyarakat umum dapat mengekspresikan tujuannya. Idealnya, tujuan-tujuan yang terserap dapat menjadi dasar pengambilan keputusan sebelum dibuatnya rencana kerja oleh perangkat desa untuk pengalokasian dana desa.

 

Karishma Artamevia Krisga, A student at UHAMKA University majoring in Communication Science, currently actively pursuing higher education with a focus on communication management.

1657 posts

About author
Pilarkebangsaan.com adalah media yang menfokuskan diri pada topik kebangsaan, keadilan, kesetaraan, kebebasan dan kemanusiaan.
Articles
Related posts
Bhinneka Tunggal Ika

Dari Catalonia Hingga ke Papua

3 Mins read
“Kewarganegaraan bukan sekadar status hukum, tetapi praktik sosial yang terus dinegosiasikan.” – Dalam pusaran globalisasi, batas-batas negara semakin kabur, tetapi nasionalisme justru semakin…
Bhinneka Tunggal Ika

Bhinneka Tunggal Drama; Nasionalisme dalam Satu Tayangan

3 Mins read
Ben Anderson, pengkaji Indonesia yang paling masyhur mungkin, pernah menandaskan, bangsa ada berkat kapitalisme cetak. Media massa—koran, buku—memungkinkan insan-insan yang tak saling…
Bhinneka Tunggal Ika

Radio Braille Surabaya: Media Inklusi Bagi Penyandang Disabilitas

3 Mins read
Menembus keterbatasan, Radio Braille Surabaya (RBS) hadir sebagai wujud ekspresi dan media untuk menyuarakan hak-hak penyandang disabilitas. Keterbatasan fisik, khususnya penglihatan, tidak…
Power your team with InHype
[mc4wp_form id="17"]

Add some text to explain benefits of subscripton on your services.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *