DI DALAM dalam buku 1001 Soal Kehidupan, ada sebuah persoalan yang ditanyakan kepada Buya Hamka perihal makna Ketuhanan Yang Maha Esa. Pertanyaan itu berbunyi, “Menurut sila pertama Pancasila, sebagai dasar negara kita disebut “Ketuhanan Yang Maha Esa.” Apakah Esa di sini dalam arti menurut ajaran (keyakinan) ajaran Islam atau juga menurut ajaran Kristen, atau Hindu Bali?
Dan Buya Hamka menjawabnya dengan lugas bahwa Pancasila adalah kebijakan yang telah mapan di negara kita. Pancasila juga merupakan implementasi dari Piagam Jakarta. Piagam Jakarta sendiri jelas merupakan kesepakatan yang telah dibuat oleh wakil-wakil golongan Nasionalis, Islam, Kristen, untuk mendirikan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
“Ketuhanan Yang Maha Esa,” terlihat dalam segi manapun lebih dekat dengan pendirian kita umat Islam Indonesia jika dibandingkan dengan agama lain, baik Kristen atau Hindu Bali. Kita tidak mengakui ada tuhan selain Allah.
Esa berarti Tunggal,’ atau ‘Satu’, agama kitalah yang mengakui kesatuan itu dengan mutlak. Dirumuskan dengan ucapan;
لا اله الا الله وحده لا شريك له، له الملك وله الحمد، يحي و يميت وهو على كل شيء قدير
“Tiada Tuhan selain Allah yang tiada sekutu bagi-Nya, milik-Nya kerajaan, dan bagi-Nya segala puji, Dia menghidupkan dan mematikan, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu.”
قل هو الله أحد، الله الصمد، لم يلد ولم يولد، ولم يكن له كفوًا أحد
“Katakanlah (Muhammad), ‘Dialah Allah, Yang Esa. Allah-lah tempat meminta segala sesuatu. (Allah) tidak beranak dan tidak diperanakkan. Dan tidak ada yang menyamai-Nya.” (al-Ikhlas: 1-4).
Asalkan kita umat Islam sadar akan pendirian Tauhid kita dan sadar pula akan lebih banyaknya bilangan kita, maka dengan menjunjung tinggi Pancasila yang memiliki sila pertama dan utama ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’, kita lah yang akan lebih banyak dapat bergerak luas memajukan agama kita di Negara Republik Indonesia ini.
Namun jika kita bermalas-malasan, berpecah-belah, maka “Ketuhanan Yang Maha Esa” akan tetap tertulis juga sebagai dasar negara, tetapi akan ditafsirkan oleh mereka yang mempersekutukan Allah dengan yang lain sesuai dengan tafsirannya masing-masing. (Buya Hamka, 1001 Soal Kehidupan, Gema Insani).
Ada pernyataan menarik dalam jawaban sang penulis tafsir Al Azhar tersebut. Menurutnya, umat Islam Indonesia jika sadar dengan pendirian tauhid mereka dan mampu mengelola kuantitas mereka sebagai masyarakat mayoritas di negeri ini, maka dengan menjunjung tinggi Pancasila yang berketuhanan yang maha esa, mereka akan mampu memajukan Islam di negeri ini.
Namun hal itu tidak akan pernah terjadi manakala umat Islam Indonesia bermalas-malasan apalagi berpecah-belah di antara mereka. Dan apa yang terjadi selanjutnya, sila pertama yang bernafaskan tauhid itu memang tetap akan tertulis sebagai dasar negara namun dengan penafsiran golongan di luar Islam baik itu orang agama lain, kelompok liberal, kaum komunis, aliran sesat dan lain sebagainya.
Dan disadari atau tidak hal itu sudah mulai terasa saat ini. Bagaimana kita bisa melihat banyaknya narasi yang dibangun oleh para “tangan tersembunyi” untuk membenturkan Islam dan Pancasila hari ini kian terasa.
Kita tentu ingat ada pernyataan seorang tokoh sebuah lembaga yang ditugasi negara sebagai “pengurus” Pancasila yang menyatakan bahwa musuh terbesar Pancasila adalah agama. Dia juga pernah mengusulkan agar kalimat Assalamualaikum diganti dengan salam Pancasila dalam pertemuan-pertemuan publik.
Di dalam bukunya yang lain saat menyikapi pidato Presiden Soekarno yang saat itu menyinggung masalah Pancasila, Hamka menyatakan:
“…saja sama andjurkan dengan beliau (Soekarno), marilah kita kaum Muslimin berdjuang dalam Urat Tunggangnja Pantja Sila, Sila Ketuhanan Jang Maha Esa sadja, ja’ni dengan artinja jang penuh. Karena bilamana berdjuang dengan Sila Ketuhanan Jang Maha Esa sadja, didjamin, akan terpeliharalah Sila Jang Empat lagi. Dan mana tahu, entah suatu waktu dikurangi satu, misalnja kebangsaan. Atau dihilangkan sama sekali, namun Ketuhanan Jang Maha Esa akan tetap dalam sadjanja, jang meliputi segala matjamnja Sila.
Atau mana tahu, karena mendalamnja Ketuhanan Jang Maha Esa itu, karena dia sadja urat tunggang dari segenap Sila, entah tumbuh pula Sila-sila jang lain lagi. Pantja Sila, Sapta Sila, Seribu Sila. Karena buatan manusia tidaklah tetap, dan buatan Tuhan djugalah jang tetap.
Dan mana tahu, entah datang lagi beberapa pertjobaan ke dalam Negara kita ini, karena angin2nja telah tampak. Ada Sila jang gugur, ada Sila jang tergontjang, ada urat jang tertjabut.
Pada waktu itu hanja satu sila sadja jang akan tetap, tidak akan dapat ditjabut; Ketuhanan Jang Maha Esa.
Manusia datang, dan manusia pergi. Keadaan bertukar, dan keadaan berganti. Tjobaan datang dan angin ribut pantjaroba. Sesudah angin ribut, sesudah selebat-lebat hudjan turun, matahari akan tjerah kembali, serta alam kembali kepada kemurniannja, dan satu tetaplah tinggal, jaitu, KETUHANAN JANG MAHA ESA”.
Dengan dia kita rela menempuh hidup. Dengan dia sadja kita rela menempuh maut. Bahkan tidak ada maut, hanjalah liqaak (bertemu dengan Allah). Sedjauh-djauh perdjalanan, siapapun djua, namun kepadanja djuga akan kembali, akan pulang, kepada dia sadja, lain tidak
“Ketuhanan Jang Maha Esa! sumber hakiki dari segala Sila dan Kesusilaan”.
Suatu kenjataan, adalah bahwa Agama Islam dipeluk oleh golongan jang terbesar dari bangsa Indonesia. Pengaruh Agama Islam telah berurat berakar pada Kebudajaannja dan Adat-Istiadatnja. Boleh dikatakan bahwa orang tidak mengenal tjorak lain di Indonesia, ketjuali Islam.
PANTJASILA sebagai Falsafat Negara Indonesia, akan hidup dengan suburnja dan dapat terdjamin, sekiranja kaum Muslimin sungguh-sungguh memahamkan agamanja, sehingga agama mendjadi pandangan dan mempengaruhi seluruh langkah hidupnja.
Tidaklah ada suatu agama, dan tidaklah ada satu faham (ideologie), jang dapat mendjamin kesuburan Pantjasila itu di Indonesia, melebihi Islam.
Pertama karena didjamin oleh Kesatuan adjaran Islam itu sendiri. Kedua karena pemeluk Islamlah jang terbesar di Indonesia. Dan pertjobaan mentjuri djalan air buat mendjamin suburnja Pantjasila di Indonesia, adalah suatu Tahsisul ‘Umjaan; laksana raba-rabaan orang buta, di malam gelap gulita.
Jang dikandung bertjetjeran, jang dikedjar tidak dapat. Maka untuk mendjamin PANTJASILA, marilah kita bangsa Indonesia jang mengakui Allah sebagai Tuhannja, dan Muhammad sebagai Rasul bersama-sama meng hidupkan Agama Islam dalam masjarakat kita.
Andjuran kita ini sesuai dengan apa jang pernah diutjapkan oleh BUNG KARNO di dalam pertemuan Pegawai Kementerian Penerangan pada tanggal 28 Maret 1952;
PANTJASILA itu telah lama dimiliki oleh bangsa Indonesia, sedjak lahirnja Sarekat Islam jang dipelopori oleh Almarhum H.O.S. Tjokroaminoto….. Dan kita tambahkan;
PANTJASILA TELAH LAMA DIMI LIKI OLEH BANGSA INDONESIA, JAITU SEDJAK SERUAN ISLAM SAMPAI KE INDONESIA DAN DITERIMA OLEH BANGSA INDONESIA. KITA TAK USAH KUATIR FALSAFAT PANTJASILA AKAN TERGANGGU, SELAMA URAT TUNGGUNGNJA MASIH TETAP KITA PUPUK; KETUHANAN JANG MAHA ESA.” (Buya HAMKA, Urat Tunggang PANTJASILA, Jakarta: Pustaka Keluarga Djakarta, tahun 1951).
Tulisan mantan ketua MUI pertama itu seolah-olah mendahului jamannya. Pasalnya Buya Hamka menyatakan seandainya kelak (setelah zaman beliau) Pancasila akan dirubah lagi entah dengan mengeliminasi beberapa pasalnya atau mungkin ditambah sila-silanya maka tetap satu jua yang akan tetap tinggal yakni Ketuhanan Yang Maha Esa yang sudah berakar urat pada adat istiadat dan kebudayaan masyarakat Indonesia.
Kalimat Buya Hamka yang menyatakan, “Dan mana tahu, entah datang lagi beberapa pertjobaan ke dalam Negara kita ini, karena angin2nja telah tampak. Ada Sila jang gugur, ada Sila jang tergontjang, ada urat jang tertjabut. Pada waktu itu hanja satu sila sadja jang akan tetap, tidak akan dapat ditjabut;
“Ketuhanan Jang Maha Esa” adalah firasat seorang ulama yang mampu “mengendus angin jahat” yang coba membelokkan Pancasila dari jalurnya. Jika dii zaman Buya Hamka ada “fitnah” pada umat Islam berupa NASAKOM maka di zaman ini ada percobaan memeras Pancasila menjadi satu sila saja yakni Ekasila yang konon memiliki nilai utama berupa gotong-royong.
Belum lagi ditambah fitnahan para pendengung bayaran yang selalu membuat narasi untuk membenturkan antara Pancasila dan Islam.
Di kalangan warga Nahdliyyin ada kisah masyhur mengenai Pancasila. Diriwayatkan bahwa ada proses dialog yang intens di kalangan ulama dan tokoh NU sebelum menerima Pancasila sebagai azas tunggal dalam berbangsa dan bernegara.
Dialog tidak hanya dilakukan di forum-forum formal ilmiah akademik yang mengeksplorasi argumen dan gagasan rasional, tetapi juga di forum non formal seperti silaturrahim dan anjangsana serta forum mujahadah dan riyadhoh yang mengeksplorasi aspek batiniah spiritual.
Salah satu forum tabayyun dan dialog informal mengenai kajian terhadap azas tunggal Pancasila pernah diceritakan oleh Gus Amin Hamid Kajoran, putra Kyai Hamid Kajoran (alm) yang menjadi saksi sejarah atas peristiwa tersebut.
Diceritakan bahwa pada suatu hari ada beberapa kyai yang sowan kepada Kyai Hamid Kajoran yakni adalah Kyai Ali Maksum Krapyak Yogyakarta; Kyai Mujib Ridwan Surabaya dan Kyai Imron Hamzah Surabaya.
Ada juga Kyai Fauzi Bandung yang disopiri oleh Kyai Saeful Mujab, Yogyakarta. Kyai Ali Maksum adalah salah satu anggota tim bentukan PBNU yang ditugasi untuk melakukan kajian mengenai azas tunggal Pancasila. Tim ini diketuai Kyai Ahmad Shiddiq dengan anggota Kyai Mahrus Aly Lirboyo, Kyai As’ad Syamsul Arifin Situbondo, Kyai Masykur Malang dan Kyai Ali Maksum Krapyak.
Para ulama tersebut menyampaikan kepada Kyai Hamid Kajoran bahwa ada upaya pemaksaan dari pemerintahan Soeharto untuk menerapkan Pancasila sebagai asas tunggal. Mendengar pernyataan ini Kyai Khamid langsung menjawab, “Lho, kok pemaksaan? Pancasila itu kan milik kita, hasil ijtihad-nya para ulama dan kyai kita, terutama Hadratusyeikh Kyai Hasyim Asy’ari. Lha, kalo sekarang mau dijadikan azas tunggal ya Alhamdulillah. Itu artinya dikembalikan ke kita, kok malah kita merasa dipaksa.”
Mendengar jawaban kyai Hamid ini semua tertegun. Kemudian Kyai Ali bertanya, “Ini tafsirnya bagaimana?”
Atas pertanyaan ini kemudian Kyai Hamid menjelaskan mengenai sejarah dan tafsir Pancasila menurut ulama NU. Dijelaskan bahwa Pancasila merupakan penjelmaan (Sublimasi) ajaran Islam yang menggabungkan Syariat, Aqidah dan Tasawuf.
“Oleh karenanya kita bisa menjalankan dua sila saja dari Pancasila secara konsisten dan benar Insya Allah kita bisa menjadi Wali,” demikian Kyai Hamid menjelaskan. Dua sila tersebut adalah sila Ketuhanan dan Kemanusiaan. Mengamalkan sila Ketuhanan artinya kita memahami dan mengerti Tuhan dengan segala kekuasaan-Nya, perintah dan laranganNya. Sedangkan mengamalkan sila kemanusiaan artinya kita harus “mengerti manusia”, “memanusiakan manusia” dan “merasa sebagai manusia”.
Dari penggalan kisah ini terlihat bahwa Pancasila merupakan produk pemikiran (ijtihad) dari para ulama Nusantara sebagai manifestasi atas ajaran dan nilai-nilai Islam. Maka sudah sepatutnya bagi umat Islam menyadari itu semua dan berupaya sekuat tenaga untuk mendudukkan Pancasila pada tempat semestinya yang merupakan ideologi negara yang berurat tunjang pada sila pertama dan utama yakni Ketuhanan Yang Maha Esa.
Umat Islam harus melawan semua narasi negatif dari para musuh Islam yang hendak membenturkan Islam dan Pancasila dengan cara melakukan kontra narasi baik melalui tulisan, unggahan di sosial media, ceramah dan khotbah di podium dan mimbar.
Intinya semua media yang bisa menyampaikan pesan kebenaran kepada khalayak harus dimanfaatkan. Sebab inilah zaman perang opini dan pemikiran (Ghazwul Fikri). Tidak ada waktu untuk bermalas-malasan dan berpecah-belah dalam peperangan pemikiran ini. Jadi mari bersama kita kembalikan Pancasila kepada nafas utamanya yaitu Islam. Wallahu A’lam Bis Showab.*
Murid Kulliyah Dirosah Islamiyah Pandaan Pasuruan
Selengkapnya baca di sini I