Wacana tentang pemikiran keislaman selalu menarik untuk diperbincangkan. Pasalnya, Islam sebagai ajaran tersimpan nilai-nilai yang multi-kompleks. Islam tidak hanya berbicara persoalan teologi an sich, tetapi juga berkaitan dengan antroposentris, aspek kemanusian, dan alam kosmos. Secara etimologis, Islam berasal dari kata salima–yaslamu yang berarti selamat, aman dan utuh. Itulah Islam humanis.
Sedangkan secara terminologis, Islam berarti ajaran yang dapat mengantarkan manusia sampai pada Tuhan, atau juga sebagai agama yang dapat memberi pencerahan kepada manusia secara utuh.
Istilah “Islam” tidak bisa lepas dari Nabi Muhammad saw.; bagaikan dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan. Islam diyakini sebagai risalah kenabian paripurna dengan kebenaran absolut, berdasarkan ayat Al-Quran yang artinya “agama yang (diridhai) di sisi Allah adalah Islam” (QS. Ali Imran [3]: 19).
Tetapi perlu diingat esensi Islam tidak sesederhana sebagaimana disebutkan dalam ayat di atas. Islam sebagai ajaran universal adalah kelanjutan dari risalah-risalah kenabian sebelumnya; millah Ibrahim AS, Yahudi dan Nasrani. Sehingga kalau merujuk pada Al-Qur’an, maka akan didapatkan kesimpulan tentang Islam dengan berbagai ragam varian dan corak. Cara pandang itu penting kiranya diketahui, agar tidak terjadi ambiguitas.
Secara garis besar, ada dua tipologi pemikiran yang santer digunakan dewasa ini, yaitu metode berpikir eksklusif dan inklusif. Metode berpikir eksklusif, dalam istilah lain populis dengan sebutan Islam kanan. Di mana metode berpikir aliran tersebut lumrahnya menggunakan metode berpikir dialektis-dikotomis; hitam dan putih; kebenaran dan kebatilan.
Cara pandang pemikiran eksklusif meyakini Islam sebagai jalan kesalamatan paling benar. Tidak ada jalan keselamatan di luar Islam. Sehingga mazhab pemikiran eksklusif cenderung tektualis, dan Islam tampak melulu pada persoalan klaim halal-haram, benar-salah, surga-neraka, iman-kafir.
Islam menjadi stagnan. Islam menjelma sebagai ajaran yang sempit, kaku, sentimental dan hanya milik satu golongan tertentu. Aliran ini mengajak seluruh pengikutnya pada puritanisasi pemikiran keislaman dengan mengabaikan nilai-nilai sosiologis-antropologis dan epistimologis-filosofis keislaman.
Mazhab pemikiran ini lupa akan nilai dan ajaran universal Islam yang diperuntukkan pada seluruh umat manusia di muka bumi. Aliran ini seringkali memotivasi umat Islam agar bersedia memerangi mereka yang non-Islam, melalui ayat-ayat Al-Qur’an yang mewajibkan mereka untuk berjihad di jalan Allah. Juga ayat-ayat yang menyebut mereka sebagai mati syahid yang dijanjikan masuk surga ilahi.
Doktrin pemikiran model seperti ini kerap kali melahirkan pradigma ekstrem-primordial di tubuh umat Islam sendiri. Terkadang mereka tak tanggung-tanggung rela mengorbankan jiwa raganya, demi memenuhi hasrat dan ambisinya memperjuangkan Islam kafah yang mereka yakini dan dianggap sebagai Islam yang paling absah.
Lumrahnya aliran ini berafiliasi dengan gerakan Islam transnasional, seperti Wahabi dan Ikhwanul al-muslimin, Hizbut Tahrir dan gerakan Islam lainnya.
Tipologi selanjutnya yaitu metode berpikir inklusif, model pemikiran inklusif lazimnya bersifat terbuka, menggunakan pendekatan apresiatif-dikotomis, dan berusaha menghargai setiap perbedaan.
Meskipun aliran ini mengakui adanya istilah Muslim dan non-Muslim, tetapi tidak sampai mereduksi keyakinan kelompok satu dan lainya. Cara berpikir aliran inklusif menitikberatkan pada nilai-nilai filosofis dengan menangkap esensi Islam secara holistis.
Dari berpikir inklusif inilah kemudian lahir pemikiran pluralis dalam wacana keislaman selanjutnya. Kedua tipologi pemikiran di atas berusaha menghadirkan Islam rahmatan lil alamin, Islam yang santun, Islam humanis dan menyimpan nilai-nilai universal. Sebagaimana Nurcholis Madjid mendifinisikan Islam, yaitu sebagai sikap kepasrahan secara totalitas terhadap Tuhan-Nya dengan mengajak manusia untuk kembali pada kalimatun sawa’.
Hemat penulis, keberadaan pemikiran keisalaman di Indonesia, jika ditilik dari persepektif historis-antropologis, tampak lebih cenderung pada tipologi pemikiran inklusif. Karena Islam besar dan berdiaspora di Nusantara, melalui pendekatan sufistik yang bertumpu pada nilai-nilai sosial-religius. Sebagaimana hal tersebut tercatat dalam rekam jejak sejarah Walisongo, yang berdakwah melalui konsep diplomasi dan akulturasi budaya.
Dalam perkembangan terkini metode berpikir inklusif dapat dijumpai di Indonesia bagi mereka yang menganut paham Islam tradisionalis, Islam asli Indonesia warisan para leluhur perintis Islam di Nusantara.
Dewasa ini, seiring dengan perkembangan pergulatan pemikiran keagamaan yang semakin kompleks, agama sering kali diseret pada satu kepentingan tertentu, agama pada perkembangan selanjutnya. Sebagaimana Geertz mengatakan sebagai “simbol” dan simpul kekuatan yang cukup potensial dalam menggalang masa dan dukungan.
Isu dan doktrin atas nama agama seringkali dimainkan oleh para pemangku kebijakan untuk memuluskan satu kepentingan tertentu. Sehingga betul apa yang dikatakan oleh Emanuel Kant “terkadang Ilmu dan agama, adalah sesuatu yang tidak bebas nilai”.
Terlebih lagi bila kita melihat fenomena politik yang bergullir di Indonesia desawarsa ini. Mengguritanya paham radikalisme, ekstremisme keagamaan dengan justifikasi kebenaran absolut adalah momok menakutkan bagi kesatuan dan persatuan Indonesia. Klaim akan kebenaran tunggal, paling sahih, paling otentik adalah fanomena politik identitas yang cukup menyeret perhatian publik dewasa ini.
Sehingga penting kiranya, sebagai antitesis dari itu semua, membaca ulang dan merevitalisasi ajaran Islam pada nilai-nilai humanis-etis, nilai-nilai kesetaraan antara satu person dengan person-person yang lain.
Paradigma berpikir yang penuh toleransi dan menghargai setiap perbedaan, sebagaimana Allah mengisyarahkan langsung dalam surah al-Baqarah [2]: 26. Kemudian dari pada itu, Islam saatnya kembali pada konsep dasarnya, yaitu sebagai ajaran universal, penuh kepasrahan (al-istislam), ketundukan (al-inqiyad), dan ketulusan (al-ikhlash), yang sanantiasa menjaga lima prinsip ajaran Islam yang termaktub dalam maqashid as-syari’ah.
Islam humanis-etis inilah, hemat penulis, selaras dengan cita-cita luhur bangsa Indonesia dengan semboyan “Bineka Tungga Ika”. Prinsipnya, mengedepankan persatuan tanpa menegasikan perbedaan. Penting kiranya dicatat, bersatu itu bukan berarti seragam, tetapi mengamini perbedaan sebagai rahmat dan keunikan yang terbingkai dalam satu negara-bangsa, Indonesia. Wallahu a’lam.