Sejak berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), isu hubungan antara Islam dan negara telah menjadi perdebatan yang tak kunjung usai. Di satu sisi, Islam memainkan peran signifikan sebagai kekuatan moral dan kultural dalam perjuangan kemerdekaan. Namun, di sisi lain, muncul kelompok Islamisme yang berupaya mendesakkan agenda politik tertentu, seperti penerapan syariat Islam secara menyeluruh, yang sering kali berbenturan dengan prinsip kebhinekaan dan dasar negara Pancasila.
Islamisme radikal—yang mengacu pada ideologi yang mempolitisasi Islam untuk meraih kekuasaan dan mendominasi tata kelola negara—menjadi duri dalam perjalanan NKRI. Ideologi ini tidak hanya mengancam stabilitas politik, tetapi juga merongrong fondasi keberagaman yang menjadi ciri khas Indonesia.
Darul Islam dan Pemberontakan DI/TII
Salah satu tonggak awal Islamisme radikal di Indonesia adalah pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) yang dipimpin oleh Kartosuwiryo pada 1949. Gerakan ini bertujuan mendirikan negara Islam Indonesia, menolak konsep NKRI yang dianggap sekuler. DI/TII tidak hanya menjadi ancaman militer, tetapi juga menciptakan preseden bahwa kelompok tertentu dapat memaksakan visinya atas nama agama dengan cara-cara kekerasan.
Meski pemberontakan DI/TII berhasil dipadamkan pada 1962, jejak ideologi Darul Islam tetap hidup, diwarisi oleh kelompok-kelompok ekstremis berikutnya seperti Jamaah Islamiyah (JI) dan Jamaah Ansharut Tauhid (JAT). Mereka terus mengusung visi negara Islam, bahkan dengan cara-cara yang lebih brutal seperti aksi terorisme.
Khilafah dan Propaganda HTI
Pada era Reformasi, Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) menjadi salah satu pengusung utama ideologi khilafah. Organisasi ini menggunakan kebebasan demokrasi untuk menyebarkan narasi bahwa sistem pemerintahan Islam global (khilafah) adalah solusi tunggal untuk menyelesaikan masalah umat. HTI berusaha menghapus batas-batas nasionalisme yang dianggap bertentangan dengan prinsip Islam universal.
Meski telah resmi dibubarkan pada 2017, ideologi HTI tetap hidup melalui media sosial dan jaringan informal. Propaganda khilafah yang mereka sebarkan menciptakan polarisasi di masyarakat, memanfaatkan ketidakpuasan terhadap pemerintah untuk menyusupkan gagasan radikal.
Mengapa Islamisme Radikal Bertahan?
- Krisis Identitas dan Kesenjangan Sosial
Islamisme sering kali tumbuh subur di tengah krisis identitas dan ketimpangan sosial. Bagi sebagian individu, ideologi ini menawarkan jawaban atas persoalan hidup mereka, seperti ketidakadilan ekonomi, korupsi, dan lemahnya penegakan hukum. - Eksploitasi Agama untuk Kepentingan Politik
Kelompok Islamisme radikal mahir memanfaatkan agama sebagai alat mobilisasi massa. Dengan membingkai narasi “kembali ke syariat,” mereka mampu menggalang dukungan, bahkan dari mereka yang sebenarnya tidak memahami implikasi politik dari ideologi tersebut. - Kemajuan Teknologi Informasi
Di era digital, Islamisme radikal menemukan ruang baru untuk berkembang. Media sosial menjadi ladang subur bagi penyebaran ideologi ini, dengan narasi yang disusun secara emosional untuk meraih simpati generasi muda.
Islamisme radikal tidak hanya menciptakan ancaman keamanan melalui aksi-aksi terorisme, tetapi juga merusak sendi-sendi kehidupan berbangsa. Di antaranya:
- Polarisasi Sosial: Narasi “kafir” dan “murtad” yang disebarkan oleh kelompok radikal memecah belah masyarakat, menciptakan segregasi sosial yang mendalam.
- Erosi Kepercayaan terhadap Negara: Propaganda anti-Pancasila dan anti-demokrasi melemahkan legitimasi pemerintah, membuka jalan bagi ketidakstabilan politik.
- Distorsi Citra Islam: Kekerasan yang dilakukan atas nama Islam mencoreng wajah agama yang sejatinya mengajarkan kedamaian dan kasih sayang.
Untuk menangkal ancaman Islamisme radikal, diperlukan pendekatan yang komprehensif, meliputi:
- Penguatan Ideologi Pancasila
Pendidikan kewarganegaraan harus diperkuat untuk menanamkan nilai-nilai Pancasila sejak dini. Program ini harus relevan dengan tantangan zaman, termasuk menjawab narasi-narasi radikal yang tersebar di media sosial. - Deradikalisasi dan Dialog Inklusif
Program deradikalisasi yang dilakukan oleh BNPT dan lembaga lainnya harus lebih adaptif, melibatkan pendekatan berbasis komunitas untuk menjangkau individu yang rentan terhadap pengaruh radikal. - Kolaborasi Ulama dan Pemerintah
Ulama memiliki peran strategis dalam meluruskan pemahaman agama yang diselewengkan oleh kelompok radikal. Pemerintah perlu menggandeng ulama moderat untuk menyampaikan narasi Islam yang ramah dan mendukung NKRI.
Islamisme radikal adalah tantangan yang terus berkembang seiring dinamika zaman. Meski ideologinya bertentangan dengan semangat kebhinekaan dan nilai-nilai Pancasila, upaya untuk menghadapinya harus dilakukan tanpa menimbulkan generalisasi atau diskriminasi terhadap umat Islam secara keseluruhan.
NKRI dibangun di atas fondasi keberagaman dan persatuan. Untuk menjaga keberlangsungan negara ini, setiap elemen masyarakat—baik pemerintah, tokoh agama, maupun warga biasa—harus bekerja sama dalam merawat nilai-nilai kebangsaan. Hanya dengan cara ini, NKRI dapat tetap kokoh di tengah tantangan ideologis yang ada.