Korea Selatan telah sukses secara global melalui industri hiburan dan teknologi. Gelombang Korea (Hallyu) telah meningkatkan citra negara ini di dunia. Kekuatan āSoft Powerā dari popularitas K-pop, drama Korea, dan film memperluas pengaruh Korea Selatan dan menciptakan peluang baru. Namun, tantangan muncul ketika negara ini beralih menuju āSamudera Biruā industri halal.
Kata āSamudera Biruā merujuk pada pernyataan Lee Yong Jik, kepala divisi ekspor makanan di Kementerian Pertanian, Pangan, dan Urusan Pedesaan (MAFRA) kepada Al Jazeera.Ā The halal food market is a blue ocean with great potential for growth, bahwa pasar makanan halal adalah samudera biru dengan potensi pertumbuhan yang besar.
Keterlibatan Korea Selatan dalam industri halal dimulai pada era Presiden Park Geun-hye. Pada Maret 2015, MAFRA mendirikan Divisi Halal (yang kini sudah tidak ada) untuk mengembangkan Nota Kesepahaman dengan pemerintah UAE. Divisi ini bertugas mempromosikan kebijakan halal lokal dan mengekspor makanan bersertifikat halal produk Korea ke negara-negara Islam.
Pemerintah mengalokasikan KRW 9,5 miliar (setara dengan USD 8,4 juta) sebagai modal mendirikan rumah potong hewan untuk memproses daging halal, mengembangkan standar halal, mendanai perusahaan makanan Korea Selatan yang memproduksi dan mengekspor ke pasar Islam, dan melakukan pengembangan penelitian (Research and Development) yang menargetkan pasar halal global.
Keputusan Korea Selatan untuk mengembangkan industri halal sebagai strategi diversifikasi ekonomi dan peningkatan ekspor didorong oleh dua hal utama. Pertama, memburuknya hubungan politik dengan Tiongkok akibat krisis THAAD (Terminal High Altitude Area Defense). Sistem pertahanan misil ini digunakan pemerintah Korea Selatan sebagai pertahanan terhadap provokasi militer Korea Utara pada tahun 2016.
Namun Tiongkok yang menganggapnya bisa mengancam stabilitas regional dan menangggapinya dengan kebijakan yang menghambat perdagangan Korea. Pers Korea Selatan lalu mendesak adanya pergeseran paradigma dari Pasar Tiongkok ke pasar Muslim sebagai tujuan ekspor baru, dengan menggunakan retorika pasar Muslim sebagaiĀ āAlternative Post-Chinese Marketā (Pasar Alternatif Pasca-Tiongkok).
Kedua, peningkatan populasi Muslim dan munculnya konsumerisme yang berorientasi nilai pada kalangan pekerja dan pelajar Muslim migran di Korea Selatan, telah menciptakan segmen konsumen baru. Segmen konsumen baru ini cenderung mengekspresikan religiusitas mereka melalui pola konsumsi.
Konsumerisme Islam ini menunjukkan adanya kompatibilitas antara dogma agama dan konsumerisme modern di berbagai sektor, termasuk makanan, kosmetik, fesyen, farmasi, keuangan, media, wisata, hingga logistik. Munculnya konsumen Muslim sebagai segmen kuat menciptakan ceruk pasar baru. Setidaknya ada tiga klaster halal yang saat ini dirintis oleh Korea Selatan; makanan, kosmetik, dan wisata.
Upaya yang tidak kenal lelah dilakukan oleh pemerintah Korea Selatan bersama dengan para pemangku kepentingan, mulai terlihat hasilnya. Jumlah masjid, restoran/ halal food court, dan ecommerse halal terus mengalami peningkatan. Beberapa lembaga sertifikasi halal Korea juga telah mendapatkan pengakuan oleh BPJPH Indonesia dan JAKIM Malaysia.
Namun, Korea Selatan menghadapi berbagai tantangan dalam upayanya menjadi pemain penting di industri halal global. Selain keterbatasan pemahaman (literasi) halal dan persaingan ketat pasar internasional, hambatan terberat sesungguhnya terjadi karena resistensi lokal akibat Islamofobia. Berikut beberapa resistensi masyarakat lokal yang dihadapi pemerintah Korea:
Pembangunan Halal Center di Kota Iksan
Pada tahun 2015, semasa pemerintahan Presiden Park Geun-hye, pemerintah mengusulkan pembangunan Halal Center atau pusat halal di kota Iksan, Provinsi Jeolla Utara, dengan tujuan untuk mempromosikan industri makanan halal dan menarik wisatawan Muslim. Namun rencana ini gagal.
Proyek ini mendapat penolakan yang signifikan dari masyarakat lokal. Mereka khawatir bahwa keberadaan pusat halal akan mengubah dinamika sosial dan karakter lokal, serta menyebabkan ketidaknyamanan bagi penduduk setempat yang mayoritas non-Muslim. Beberapa warga bahkan mengadakan protes untuk menolak proyek tersebut.
Dua Peristiwa Gangwon
Pada tahun 2017, setidaknya ada dua peristiwa yang berkaitan dengan Islam dan Industri Halal di Propinsi Gangwon. Peristiwa pertama adalah rencana pemerintah Propinsi Gangwon untuk membangun Zona Halal, sebagai tempat bagi produsen daging dan restoran bersertifikat halal. Namun pemerintah propinsi tersebut akhirnya menyerah pada penolakan keras dari kelompok anti-Muslim (Kim Se-jeong, 2014).
Peristiwa kedua adalah perselisihan pemerintah Propinsi Gangwon dengan beberapa warga Kristen dalam upaya mereka menjadi tuan rumah pagelaran Forum Ekonomi Islam Dunia (WIEF) pada 2018. Upaya yang dilakukan Propinsi Ganwon bertahun-tahun untuk menjadi tuan rumah pertemuan tahunan para pebisnis dari negara-negara Islam ini pun gagal.
Pembangunan Mushala pada Olimpiade Winter 2018
Rencana pembangunan mushala (prayer room) bagi pengunjung Muslim di Olimpiade Musim Dingin PyeongChang di Gangneung dibatalkan usai menghadapi kritik keras dari kelompok anti-Muslim. Kelompok ini mengumpulkan lebih dari 56.000 tanda tangan di situs web mereka untuk menentang proyek tersebut. Menurut mereka keberpihakan pemerintah pada satu agama akan memecah belah warga dan khawatir akan pengaruh āMuslim fundamentalisā yang berdampak pada keamanan nasional (Ko Dong-hwan, 2018).
Korea Times melaporkan bahwa kelompok tersebut menghubungkan keputusan Pemerintah Provinsi Gangwon dan panitia penyelenggara Olimpiade yang sebelumnya berupaya merealisasikan sistem keuangan Syariah, kota halal, dan tempat pemotongan hewan halal di wilayah tersebut. Mereka juga menyatakan kekhawatiran bahwa peningkatan investasi dari negara-negara Timur Tengah dapat membawa perubahan budaya lokal Korea.
Pembangunan Masjid di Daegu
Protes paling mencolok terjadi di Daegu pada tahun 2020, ketika warga setempat menentang pembangunan masjid yang diinisiasi oleh mahasiswa Muslim Universitas Nasional Kyungpok. Meski telah mendapatkan izin dari kantor distrik, warga memprotes dengan memajang kepala babi di jalan menuju lokasi masjid. Insiden ini menyoroti sentimen anti-Muslim yang kuat dan resistensi terhadap simbol-simbol Islam di komunitas lokal. Pertikaian ini berlangsung selama tiga tahun.
Kesimpulan
Dua hal kontradiktif mewarnai pengembangan Industri Halal diĀ Korea Selatan. Di satu sisi, pemerintah melihat Industri Halal sebagai samudera biru dengan pertumbuhan besar dan sebagai solusi ekonomi nasional, sementara sebagian masyarakatnya memandang bahwa Islam dan Industri halal sebagai ancaman yang akan mengubah dinamika sosial, karakter, dan budaya lokal.
Menghadapi tantangan ini, pemerintah Korea Selatan perlu mengadopsi pendekatan yang holistik dan inklusif. Melibatkan langkah-langkah strategis untuk memastikan bahwa manfaat ekonomi dari industri halal dapat diraih tanpa menimbulkan ketegangan sosial dan budaya yang signifikan.