Makam berkeramik putih dengan dedaunan hijau di atasnya itu, memancarkan aura yang kharismatik. Menandakan itu bukan makam sembarangan. Ada saja orang yang menziarahinya. Bahkan, pada waktu-waktu tertentu, ada yang datang berjamaah dengan menggunakan bus. Tak hanya dari Banyuwangi. Namun, juga dari daerah lain.
Ya, itulah makam KH. Abdullah Faqih bin Umar di Dusun Cemoro, Desa Balak, Kecamatan Songgon, Banyuwangi. Makam itu terletak di sisi kanan masjid Cemoro yang berada di dalam komplek lembaga pendidikan Yayasan Al-Khaf.
Selama ini, dalam cerita tutur yang berkembang di tengah masyarakat, Kiai Faqih tidak hanya dikenal sebagai seorang tokoh yang sakti mandraguna (saat melawan kompeni), tapi juga memiliki penguasaan ilmu agama yang luas.
Ia pernah berguru ke sejumlah kiai di Jawa, Madura hingga ke Mekkah. Reputasi intelektualnya tersebut, terekam dari murid-muridnya yang juga menjadi kiai besar. Sebut saja KH. Harun Abdullah yang mendirikan Pesantren Darunnajah Tukangkayu, Banyuwangi dan KH. Dimyati Syafi’i yang merintis Pesantren Nahdlatul Thullab di Kepundungan, Srono.
Lebih dari nama-nama muridnya itu, jejak Intelektual Kiai Faqih tak banyak terjejak. Pernah, saya dari Komunitas Pegon, menelusuri kitab-kitab peninggalannya. Sungguh luar biasa koleksinya. Pertanda akan luasnya bahan bacaan Kiai Faqih. Sayangnya, hal tersebut belum kami lakukan secara optimal sehingga tak banyak informasi personal yang bisa disusun untuk mengungkap reputasi intelektual personal Kiai Faqih.
Akan tetapi, jejak intelektual Kiai Faqih yang masih remang-remang di kampungnya sendiri ini, ternyata memiliki sinar tersendiri di daerah nun jauh di Kaliwungu, Kabupaten Kendal Jawa Tengah. Ada sejumlah santrinya di sana yang masih melestarikan jejak-jejak intelektual kiai yang berdarah Banten-Banyuwangi itu.
Saat kemarin (25/11/2021) saya menghadiri pertemuan penggiat filologi pesantren di Bangkalan, bertemu dengan Gus M. Syafiq Ainurridlo. Ia adalah seorang penggiat karya tulis kiai-kiai di Kaliwungu dan sekitarnya. Dari perjumpaan itulah, jejak Kiai Faqih sedikit terkuak.
Mula-mula adalah sanad Tarekat Syatariyah yang dimiliki oleh KH. Abu Chaer bin Abdul Manan Kaliwungu (w. 1977). Dalam otobiografinya, Kiai Chaer mengungkapkan tentang sanad Tarekat Syatariyah-nya. Salah satu sanadnya, terutama dalam mengamalkan Hizib Nawawi, mengambil dari jalur Kiai Humaidullah bin Irfan Kaliwungu. Kiai Humaid yang masih saudara Kiai Abu Chaer itu, menerimanya dari gurunya (murabbir ruhi), KH. Abdullah Faqih. Dalam teks kitabnya tertulis KH. Abdullah Faqih bin Haji Umar alias Mangunrono (Cemoro), Kecamatan Singonjuruh [sebelum dilakukan pemekaran dan ikut Songgon] (Banyuwangi).
Kiai Faqih sendiri mendapatkan sanadnya tersebut dari Kiai Jamil Cirebon. Kiai Jamil yang tak lain adalah ayahanda dari Kiai Abbas, Buntet, Cirebon yang tersohor tersebut, mendapatkan sanadnya dari sang bapak; Kiai Raden Sholeh Bendokerep, Cirebon.
Tak sebatas sanad tarekat saja yang terjejak dari Kiai Faqih di Kaliwungu. Ternyata, adapula kitab karya beliau di sana. Kitab tersebut berjudul Nadzam Aqidah fi Ilmi Tauhid. Karya ini berupa syair berbahasa Arab berisi tentang sifat 50, dasar akidah Asy’ariyah. Kitab ini diterbitkan dan masih digunakan dalam pengajaran di Pesantren Raudlatul Falah, Pongkoran, Kaliwungu, Kendal. Bahkan, kitab ini disyarahi oleh Kiai Abu Chaer dengan judul Durorun Nadhidah Syarah Nadzam Khomsina Aqidah.
Waba’du, penemuan ini, seolah menjadi pertanda, bahwa proses penelusuran kiprah dari Kiai Faqih dan juga kiai-kiai Banyuwangi lainnya tak cukup hanya di tempatnya saja. Jika ingin lebih mendalam, tentu saja harus melakukan proses penelusuran yang lebih luas. Meniti jalur-jalur guru-murid yang telah terbangun semasa hidupnya. Sungguh, suatu pekerjaan yang berat, tapi bukan tak mungkin. Bismillah.
Baca tulisan menarik lainnya tentang ulama Nusantara di sini.
Penggerak di Komunitas Pegon untuk mendokumentasi, meneliti, dan mempublikasi khazanah pesantren di Banyuwangi.