Featured

KDRT: Dosa Warisan Penceramah Agama Misoginis

3 Mins read

Kabar duka datang dari saudari kita, Nihayatus Sa’adah, perempuan asal Lenteng Timur, Kecamatan Lenteng, Sumenep Jawa Timur, meninggal setelah mengalami Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Barangkali berita duka semacam ini bisa kita lihat dari influencer, yang beberapa waktu lalu speak-up di media sosial dengan bukti CCTV atas perilaku suaminya. Namun, hari ini kita menyaksikan bahwa bukti nyata bukan lagi sebuah video perilaku bejat tersebut.

Bukti yang terpampang nyata adalah korban itu sendiri. Kematian korban adalah bukti bahwa, masih banyak laki-laki yang hanya siap menikah tapi tidak siap menjadi suami/bapak. Nahasnya, meskipun laporan KDRT sudah dilayangkan ke Polres Sumenep, belum ada tindak lanjut dari pihak aparat terkait pelaporan tersebut.

Apa yang bisa kita ambil dari potret di atas? Kita melihat bahwa, kejahatan dimulai dari dalam rumah, yang pelakunya orang terdekat. Kesalnya kita juga ditambah dengan berbagai narasi yang disampaikan oleh media yang menyorot bahwa, KDRT terjadi akibat korban tidak berkenan untuk tidur bersama.

Tagline berita semacam itu, semakin memperkuat anggapan bahwa, hubungan ranjang menjadi penyebab dari aksi bejat yang dilakukan seseorang. Padahal, apabila ditelisik lebih jauh tentang informasi yang beredar, kompleksitas persoalan yang dialami oleh korban, seperti masalah ekonomi, judi online, dan emosi yang tidak stabil dari pelaku adalah buntut panjang dari persoalan yang terjadi.

Tidak hanya sampai di situ, di media sosial, ketika informasi tersebut dibagikan, masih ada orang yang menyalahkan korban lantaran tidak mau tidur dengan suaminya. Padahal sudah jelas-jelas, nyawa korban menjadi taruhan dari aksi bejat tersebut. Persoalan ini bukan hanya sekedar masalah kriminalitas semata. Bagi sebagian orang yang masih menyalahkan korban, setidaknya kita mengetahui bahwa, anggapan bahwa perintah suami adalah perintah Tuhan, masih melekat dalam ingatan dan menjadi mindset manusia-manusia yang tidak berpikir jernih.

Kita tentu masih ingat betul tentang ceramah-ceramah dalam pernikahan, yang menyerukan perempuan untuk berbakti kepada suami. Tafsir-tafsir misgonis yang menarasikan penghambaan istri kepada sang suami, masih sering kita temukan. Perintah tentang tidur bersama suami, apa pun keadaaanya jika suami menginginkan, kerapkali kita dengar.

Tanpa berpikir bagaimana kondisi psikologis dan kesehatan sang istri, seorang istri harus benar-benar mendudukkan diri dalam posisi terendah kepada sang suami. Kacaunya justru, ketika ceramah semacam ini hanya dijadikan sebuah pembenaran untuk melakukan kekerasan kepada istri, maka yang terjadi siklus kekerasan dalam rumah tangga, semakin mengakar dengan alasan istri adalah hak milik suami yang bisa diperlakukan buruk.

Padahal, ketakwaan dan ketundukan, hanyalah dilakukan oleh manusia kepada Tuhan-Nya. Selebihnya hubungan manusia dengan sesama manusia, adalah saling menghargai dan menghormati kemanusiaan antara yang satu dengan lainnya.

Agama Memanusiakan Manusia

Seiring berjalannya waktu, kita akan menyadari bahwa persoalan hubungan kemanusiaan, baik laki-laki dengan laki-laki, laki-laki dengan perempuan, maupun perempuan dengan perempuan, membutuhkan relasi yang sehat. Relasi sehat yang dimaksud, adalah hubungan yang tidak merugikan orang lain. Dan ini sejalan dengan sebuah kalimat bahwa, berlomba-lombalah dalam berbuat kebaikan. Perbuatan baik adalah cerminan bagaimana kita menjalankan perintah agama. Sebab kata Gus Dur, “Tidak penting apa pun agama atau sukumu. Kalau kamu melakukan sesuatu yang baik untuk semua orang, orang tidak akan tanya apa agamamu”.

Dalam konteks KDRT yang kerapkali menyita perhatian publik, kita selalu diingatkan bahwa, pernikahan bukan hanya milik orang yang paham agama saja. Kematangan emosional, berpikir dan bertindak, sangat diperlukan dalam persoalan hiruk-pikuk rumah tangga. Aksi kriminalitas dalam hubungan rumah tangga, sama sekali tidak bisa dibenarkan, sekalipun dalam kacamata agama. Bagi sebagian orang yang masih menganggap bahwa KDRT memiliki celah kebenaran, ini tidak lain adalah salah satu bagian warisan dosa yang dimiliki oleh penceramah misoginis.

Oleh karena itu, penting sekali bagi pemangku kebijakan, utamanya para kiai, penceramah agama, pemilik pesantren, untuk menyelenggarakan sekolah pra-nikah sebagai bagian dari pemberian ruang kepada calon pengantin untuk mempersiapkan diri secara utuh menghadapi dunia pernikahan yang dijalankan sepanjang hidup.

Materi-materi pernikahan yang diajarkan di pesantren, sudah saatnya merekonstruksi kurikulum dengan memberikan penekanan relasi saling menghargai dan menghormati kemanusiaan masing-masing pihak (laki-laki/perempuan). Jika ini dimulai dari kesadaran para penceramah agama, kiai, ustaz, yang notabenenya menjadi influencer di masyarakat, maka edukasi tentang ilmu pernikahan bisa menyeluruh.

KDRT bisa dicegah melalui berbagai macam pendidikan, pelatihan atau melalui ceramah agama yang tidak misoginis. Kita membutuhkan kesadaran dari semua pihak untuk melakukan pencegahan. Jangan sampai, kita lengah dan terdapat korban baru akibat aksi bejat yang dilakukan oleh laki-laki, yang hanya siap menikah tapi tidak siap menjadi suami/bapak. Wallahu A’lam.

Muallifah

Aktivis perempuan.
1672 posts

About author
Pilarkebangsaan.com adalah media yang menfokuskan diri pada topik kebangsaan, keadilan, kesetaraan, kebebasan dan kemanusiaan.
Articles
Related posts
Featured

Perjuangan Perempuan di Tengah Stigma dan Radikalisme

2 Mins read
Dalam bayang-bayang stigma terorisme yang menakutkan, ada satu sosok perempuan yang berani menembus kegelapan itu dengan tindakan nyata. Ia adalah seorang istri…
Featured

Potensi dalam Tradisi Kopi Nusantara

3 Mins read
Keunikan kopi Nusantara terletak pada keragaman cita rasa dan karakteristik setiap daerah. Kopi Gayo menawarkan aroma bunga yang lembut, Toraja menghadirkan sentuhan…
Featured

Integritas Publik: Perpaduan Hukuman dan Insentif Anti-Korupsi

3 Mins read
Gillian Brock menyatakan korupsi sebagai penyalahgunaan kekuasaan yang merusak keadilan dan sistem pemerintahan. Menurutnya, korupsi muncul dalam berbagai bentuk, seperti nepotisme—memberikan keuntungan…
Power your team with InHype
[mc4wp_form id="17"]

Add some text to explain benefits of subscripton on your services.