Sebagai upaya untuk memperkuat perlawanan terhadap Belanda, pada Juni 1948, Presiden Soekarno melakukan muhibah ke Aceh. Kedatangan Soekarno ke Tanah Rencong disambut gempita oleh rakyat Aceh dan didapuk sebagai pemimpin oleh para tokoh setempat.
Dalam sebuah pertemuan dengan Tengku Daud Beureu’eh, Sukarno berharap agar tokoh terkemuka Aceh itu mengajak rakyatnya dalam perjuangan melawan Belanda. Daud Beureu’eh menyambut ajakan Sukarno dengan senang hati. Dia menyatakan sanggup memenuhi permintaan tersebut asal perang dikobarkan adalah perang sabil, perang untuk menegakkan agama Allah.
“Sehingga kalau ada di antara kami yang terbunuh dalam perang itu, maka kami berarti mati syahid,” ujar Daud Beureu’eh. Pernyataan itu terdapat dalam Kisah Kembalinya Tengku Muhammad Daud Beureu’eh ke Pangkuan Republik Indonesia karya M. Nur El Ibrahimy. Sukarno mengiyakan permintaan Daud Beureu’eh.
Dia mengajukan permohonan kedua bahwa apabila perang telah selesai, Aceh diberikan kebebasan menjalankan syariat Islam. Permintaan ini juga dikabulkan oleh Sukarno. “Hal itu tak usah Kakak (panggilan akrab Sukarno kepada Daud Beureu’eh) khawatir, sebab 90% rakyat Indonesia beragama Islam,” kata Sukarno.
“Tapi maafkan saya Saudara Presiden, kalau saya terpaksa mengatakan bahwa hal itu tidak menjadi jaminan bagi kami. Kami menginginkan suatu kata ketentuan dari saudara Presiden,” ujar Daud Beureu’eh. “Baiklah kalau demikian, saya setujui permintaan Kakak itu.”
“Alhamdulillah. Atas nama rakyat Aceh, saya mengucapkan terimakasih banyak atas kebaikan Saudara Presiden. Kami mohon, sudilah kiranya Saudara Presiden menulis sedikit di atas kertas ini,” kata Daud Beureu’eh seraya menyodorkan selembar kertas kepada Sukarno.
Alih-alih menyambut kertas itu, Sukarno malah terisak-isak dan lantas berkata pelan: “Kakak, kalau begitu tidak ada gunanya aku menjadi presiden kalau tidak dipercaya.”
“Bukan kami tidak percaya Saudara Presiden. Akan tetapi hanya sekadar menjadi tanda yang akan kami perlihatkan kepada rakyat Aceh yang akan kami ajak berperang,” jawab Daud Beureu’eh.
Seraya menyeka air matanya, Sukarno berkata: “Wallah (Berjanji atas nama ALLAH), Billah, kepada rakyat Aceh nanti akan diberi hak untuk menyusun rumah tangganya sendiri sesuai dengan syariat Islam. Dan Wallah, saya akan mempergunakan pengaruh saya agar rakyat Aceh benar-benar nanti dapat melaksanakan syariat Islam di daerahnya. Nah, apakah Kakak masih ragu-ragu juga?”
“Saya tidak ragu lagi Saudara Presiden. Sekali lagi, atas nama rakyat Aceh saya mengucapkan banyak terimakasih atas kebaikan hati Saudara Presiden,” ujar Daud Beureuh.
Mendengar janji tersebut, tokoh-tokoh Aceh semakin mempercayai Sukarno. Sukarno dipersilakan menyebutkan kebutuhan urgen dari pemerintah. “Alangkah baiknya jika Indonesia mempunyai kapal udara untuk membuat pertahanan negara dan mempererat hubungan antara pulau dan pulau…” kata Sukarno.
Rakyat Aceh merogoh saku dan mencopot perhiasan yang ada di tubuh mereka. Begitu tingginya semangat untuk berkorban, hingga konon antrian para donatur, baik orang kaya maupun rakyat biasa, di beberapa masjid dan pusat pemerintahan Kotaradja (sekarang Banda Aceh) panjangnya sampai ratusan meter. Beberapa jam kemudian terkumpulah dana sebesar 120.000 straits dollar ditambah 20 kg emas. Dengan modal tersebut, Indonesia berhasil membeli RI-001 Seulawah (Gunung Emas), pesawat kepresidenan pertama dalam sejarah Indonesia.
“Beureuh, setelah berhasil menghimpun dana untuk perjuangan RI, memohon kepada Sukarno agar mengizinkan diberlakukannya syariat Islam di Aceh. Bung Karno setuju, tetapi tidak bersedia menandatangani surat persetujuan yang disodorkan Beureu’eh,” tulis Taufik Adnan Amal dan Samsu Rizal Panggabean dalam Politik Syariat Islam Dari Indonesia sampai Nigeria.
Sayangnya, Sukarno kemudian tidak menepati janjinya. Demi alasan persatuan, dia menolak pemberlakuan syariat Islam di wilayah manapun di Indonesia. Dia menegaskan dalam pidatonya di hadapan rakyat Amuntai, Kalimantan Selatan pada 27 Januari 1953: “Indonesia adalah sebuah negara nasional yang berideologi Pancasila, dan bukan sebuah negara teokrasi dengan haluan agama tertentu,” demikian dikutip Mimbar Penerangan, Tahun IV, No.2, Februari 1953.
Akibatnya, Aceh mengalami resistensi dan sebagai bentuk pertanggungjawaban politik, pada September 1953, Daud Beureu’eh memutuskan masuk hutan dan bergabung dengan DI/TII SM Kartosoewirjo. Kekecewaan terhadap Sukarno tetap digenggamnya hingga akhir ajalnya.
Selengkapnya baca di sini