Berkaca pada sejarah bahwa setiap momen perubahan sosial dan politik di Indonesia dalam setiap masa selalu dihentakan dengan gerakan-gerakan politik imajiner anak muda.
Jauh-jauh hari bahkan sebelum negeri ini merdeka, anak-anak muda imajiner itu berkumpul untuk merumuskan sebuah konsep dan gagasan besar tentang ke Indonesiaan. Yang kemudian kita kenal dengan “Sumpah Pemuda” pada tahun 1928.
Fase berikutnya rumusan imajiner itu tidak hanya tertahan pada sebuah gagasan ke Indonesiaan yang tertulis dalam setiap bait dan baris puisi imajiner “Sumpah Pemuda”. Soekarno dan Moh Hatta yang merepresentasikan perwakilan dan anak-anak muda terpelajar pada saat itu berani untuk memproklamasikan kemerdekaan atas terbentuknya sebuah negara bangsa yang bernama “Indonesia”.
20 Tahun masa pemerintahan Soekarno itu dilalui hingga terjadinya huru hara politik tahun 1965-1966 yang menumbangkan rezim orde lama kepada orde baru. Peristiwa Gestapu yang menjadi sumber malapetaka pemerintahan Soekarno yang hingga hari ini masih banyak misteri dan banyak versi sejarah tentang apa sebenarnya terjadi pada saat itu.
Orde lama tumbang digantikan dengan orde baru. Soeharto keluar sebagai Jendral pemenang atas huru hara politik Gestapu 1965-1966 yang mengantarkan dirinya menjadi Presiden kedua setelah Soekarno dengan masa jabatan Presiden paling lama selama 32 tahun.
Awal-awal kepemimpinan Soeharto dikenal cukup demokratis dan dianggap bisa membawa sebuah harapan bagi gerakan anak-anak muda dan mahasiswa pada saat itu. Para aktifis mahasiswa berkoalisi dengan militer untuk melawan dan menumbangkan politik PKI dan para loyalis Soekarno. Namun seiring berjalanya waktu bukan kekuasaan namanya kalau tidak menjerat setiap pelakunya pada kenikmatan yang meninabobokan pada tahta kekuasaan itu sendiri.
Kebijakan-kebijakan Soeharto kemudian dianggap kontroversial, seperti petrus yang dianggap sebagai sebuah pelanggaran HAM, sikap kerasnya terhadap tahanan politik (tapol) terutama orang-orang yang di anggap komunis dan para keluarganya, penangkapan para aktifis yang kritis terhadap kebijakanya, membuat lahirnya oposisi gerakan bawah tanah sejak dekade 80 hingga lahir gerakan reformasi 1998 yang menumbangkan kekuasaanya.
Kesuksesan reformasi 1998 tak bisa lepas dari sebuah gerakan politik anak-anak muda yang dimulai dari dekade 80 an dengan membentuk oposisi gerakan bawah tanah, yang hal seperti ini sulit untuk bisa dipahami oleh para generasi tua pada saat itu.
Apa sih sebenarnya yang oleh para generasi tua itu sulit untuk bisa dipahami, sulit dan tidak bisa membaca peta politik gerakan anak-anak muda ini, apakah ini hanya sebuah peristiwa kebetulan saja? pertanda apakah? atau mungkin mereka hanya sekumpulan gerombolan anak nakal yang hanya ingin ikut-ikutan saja. Hal ini yang seringkali dilupakan.
Lalu harus seperti apa kita membaca Indonesia, terutama untuk anak-anak muda. Dalam perjalanan sejarahnya politik Indonesia selalu mengalami kegalauan dalam setiap fase 20 tahun sekali. Baik dari ketika masih dalam pendudukan belanda, masa-masa revolusi hingga kemerdekaan, terhitung sejak “Sumpah Pemuda” hingga proklamasi kemerdekaan. Fase pemerintahan orde lama hingga huru hara politik 1965, era orde baru hingga dekade pertengahan 80 an sampai lahirnya reformasi.
Dan apa yang terjadi dan kita lihat sekarang apakah mengikuti siklus kegalauan 20 tahun politik Indonesia. Karena setiap masa ini siapapun penguasa atau rezim politik yang tidak mampu beradaptasi dan mengakomodir kegalauan politik anak-anak muda Indonesia tentang identitas mereka akan terlindas oleh masa dan zaman itu sendiri. terlebih generasi hari ini sebuah generasi yang berbeda dari generasi-generasi politik anak muda sebelumnya.
Pada pemilu 2014 kemudian pemilihan Presiden 2019, Jokowi yang mencitrakan dirinya sebagai gerakan politik kekuatan rakyat mampu mengambil besar suara politik anak-anak muda. dengan segala program yang sudah dan akan dibuatnya lagi.
Namun hal itu tidak berlanjut lama, setelah memenangkan pemilu Presiden 2019, dimasa awal pemerintahan yang kedua kalinya terutama sejak DPR membuat RUU KPK yang di anggap melemahkan KPK kemudian UU Omnibus Low dan Cipta Kerja, dua peristiwa ini telah membuat Jokowi semakin jauh dari gerakan kesadaran politik anak-anak muda, yang sebelumnya berharap banyak bahwa pemerintahan Jokowi bisa memahami kegalauan politik mereka.
Gerakan politik anak-anak muda, mahasiswa, tim Avangers (yang dianggap sebagai gerakan aksi pelajar atau anak-anak STM) dan gerakan buruh hari ini seperti menjadi sebuah gerakan oposisi baru yang sebelumnya tidak pernah terpikirkan kemunculanya, karena sebelumnya Jokowi mampu menggandeng lawan politiknya Prabowo di pemilu Presiden 2019 ke dalam kabinetnya.
Sejak reformasi 1998 kita selalu mencari penyegaran format politik baru ke Indonesiaan karena hampir tiga dekade lebih kita berada dalam cengkraman kekuasaan otoriter orde baru, pikiran dikontrol, kebebasan dibatasi, aktifis politik yang kritis di kerangkeng pada waktu itu. Kita punya pengalaman dan masa-masa sulit seperti itu, yang seharusnya menjadi cerminan politik hari ini agar kita tidak salah melangkah kedua kalinya untuk melihat Indonesia ke depan.
Kita adalah sebuah negeri yang kaya, kita punya dan budaya kultur ke Indonesiaan yang luar biasa yang tidak dimiliki oleh bangsa-bangsa lain. Dulu kita dikenal sebagai sebuah bangsa dan masyarakat yang gotong royong, masyarakat yang ramah dengan kearifan lokal dan budaya, masyarakat yang selalu bermusyawarah untuk mencapai mufakat dalam memecahkan segala urusan yang menyangkut hajat hidup orang banyak, masyarakat yang menjunjung norma-norma kepatuhan untuk saling menghormati dan menghargai sesama sekalipun kita hidup dalam perbedaan dan keragaman. Inilah kita lalu kemana itu semua hari ini?
Yaya Suryana
Penulis adalah Pemuda Subang Tinggal di Binong